Perilaku Menteri LH Hanif Faisol Nurofiq terhadap sampah, dengan menggunakan skema persepsi dari Paul A. Bell dan kawan-kawan.
Arina Millataka, Mahasiswi Psikologi SP UP45 Yogyakarta |
Perilaku
Menteri Lingkungan Hidup Hanif Faisol Nurofiq pada 18 November 2024 terhadap
situasi pengelolaan sampah di Yogyakarta jika dianalisa menggunakan skema
persepsi dari Paul A. Bell dan kawan-kawan:
1. Stimulus Lingkungan
a. Kondisi pengelolaan sampah di Yogyakarta yang dianggap tidak optimal, terlihat dari buruknya manajemen sampah di TPA Piyungan.
b. Laporan
dan observasi langsung yang menunjukkan ketidakmampuan Pemda DIY dalam
menangani sampah dengan efektif, seperti keterbatasan alat, dana, dan perilaku
masyarakat yang tidak memilah sampah.
c. Adanya
UU RI No. 18/2008 yang mengatur pengelolaan sampah, namun implementasinya belum
berjalan dengan baik.
2. Proses
Psikologis
a. Menteri
memfokuskan perhatian pada ketidakberesan sistem pengelolaan sampah oleh
pemerintah daerah, bukan perilaku masyarakat.
b. Menteri
menafsirkan masalah ini sebagai bentuk kelalaian atau kegagalan pemerintah
daerah dalam memenuhi kewajiban melayani masyarakat, tanpa mempertimbangkan
aspek kompleks seperti keterbatasan sumber daya dan peran masyarakat.
c. Emosi
marah muncul karena harapan terhadap pengelolaan sampah yang baik tidak sesuai
dengan kenyataan. Perasaan tanggung jawab besar sebagai pejabat publik
memperkuat intensitas emosinya.
3. Respons
Perilaku
a. Menteri
mengungkapkan kritik secara langsung dan tegas kepada pemerintah daerah, bahkan
terkesan emosional di depan publik.
b. Ekspresi
murka dapat terlihat dari intonasi suara, gestur tubuh, dan cara menyampaikan
kritik.
c. Menteri
melakukan inspeksi mendadak (sidak) untuk menunjukkan ketidakpuasan secara
langsung terhadap situasi yang ada.
Dari
analisa tersebut menunjukkan jika persepsi Menteri LH terhadap kondisi
pengelolaan sampah di Yogyakarta dipengaruhi oleh informasi yang ia terima,
fokus perhatian pada tanggung jawab pemerintah daerah, dan emosinya terhadap
kondisi yang tidak ideal. Sebagai pejabat publik, Menteri berada di bawah
tekanan untuk menunjukkan hasil nyata dalam pengelolaan sampah. Situasi
pengelolaan sampah di Yogyakarta yang buruk, seperti tumpukan sampah di TPA
Piyungan dan pengelolaan yang dianggap tidak efisien. Sebagai Menteri LH, Hanif
Faisol Nurofiq merasa bertanggung jawab untuk memastikan pengelolaan sampah
sesuai dengan UU No. 18/2008, yang menuntut peran pemerintah dalam melayani
masyarakat. Ketidaksesuaian antara harapan (idealnya pengelolaan sampah
berjalan lancar) dan realita (sistem yang dianggap gagal) memicu respons
emosional berupa kemarahan. Dalam kasus ini, Menteri memusatkan persepsinya pada
kegagalan Pemda DIY tanpa mempertimbangkan akar masalah yang lebih luas,
seperti perilaku masyarakat yang tidak memilah sampah dan keterbatasan
infrastruktur.
Menurut
Bell dan kawan-kawan, persepsi tidak hanya dipengaruhi oleh stimulus
lingkungan, tetapi juga oleh pengalaman pribadi, harapan, dan bias. Dalam hal
ini, Menteri tampaknya memiliki bias terhadap peran pemerintah daerah sebagai
aktor utama dalam menyelesaikan masalah, sementara peran masyarakat diabaikan. Menteri
cenderung menempatkan tanggung jawab pada pihak eksternal (Pemda DIY), tanpa
mempertimbangkan faktor-faktor internal, seperti keterbatasan sumber daya.
Kasus
ini mencerminkan perlunya pendekatan kolaboratif dalam pengelolaan sampah.
Persepsi Menteri LH yang terlalu fokus pada kegagalan pemerintah daerah
menunjukkan pentingnya komunikasi yang lebih baik antara semua pihak.
0 komentar:
Posting Komentar