29.12.24

Esai 6 (Hakas) : TPST Randu Alas

 Tugas Esai 6 : Belajar Kelola Sampah di TPST Randu Alas

Mata Kuliah : Psikologi Lingkungan

Dosen Pengampu : Dr. Dra. Arundati Shinta, MA


Hakas Pebriyanto (24310420057)

Fakultas Psikologi

Universitas Proklamasi 45 Yogyakarta


Pembelajaran dari TPST Randu Alas dalam Pengelolaan Sampah

TPST Randu Alas menjadi bukti nyata bagaimana pengelolaan sampah dapat dilakukan secara mandiri oleh komunitas untuk menciptakan lingkungan yang lebih sehat dan bersih. Tempat ini dipimpin oleh Pak Joko, yang bekerja bersama tiga rekannya, yaitu Pak Tujono, Pak Heru, dan Pak Waris. Dengan tarif layanan sebesar Rp50.000 per bulan, warga mendapatkan fasilitas pengangkutan dan pengolahan sampah. Meskipun tarif ini terbilang terjangkau, rencana kenaikan biaya sempat menjadi polemik. Beberapa warga menolak kebijakan tersebut karena dianggap memberatkan, sehingga keputusan tersebut akhirnya dibatalkan.  

Dalam operasional sehari-hari, petugas TPST Randu Alas menghadapi tantangan besar, terutama dalam memilah sampah yang terus berdatangan. Sampah organik yang terkumpul diolah menjadi pupuk kompos, baik dalam bentuk cair maupun padat. Langkah ini tidak hanya mengurangi jumlah limbah, tetapi juga menghasilkan produk bernilai guna. Prinsip 3R (Reduce, Reuse, Recycle) menjadi pedoman utama dalam setiap proses yang dilakukan. Petugas berupaya meminimalkan sampah yang dibuang, memanfaatkan barang yang masih bisa digunakan, dan mendaur ulang material yang memungkinkan. Namun, volume sampah yang tinggi sering kali menjadi kendala. Dalam beberapa kasus, petugas harus membakar sampah yang sulit dikelola. Walaupun tindakan ini kurang ideal karena dapat mencemari udara, langkah tersebut diambil sebagai solusi sementara untuk mengurangi penumpukan sampah.  

Selain menghasilkan pupuk kompos, TPST Randu Alas sebelumnya juga mencoba budidaya larva maggot untuk mengurai sampah organik. Maggot dikenal sebagai solusi inovatif dalam pengelolaan limbah organik. Namun, program ini tidak dapat dilanjutkan karena kurangnya dukungan dari pihak lain. Pedagang buah yang menjadi sumber utama sampah organik enggan membantu pembiayaan operasional. Akibatnya, budidaya maggot harus dihentikan meskipun potensinya cukup menjanjikan.  

Kisah TPST Randu Alas memberikan pelajaran penting mengenai pengelolaan sampah berbasis komunitas. Pertama, partisipasi masyarakat menjadi faktor kunci dalam keberlanjutan program. Ketika warga merasa keberatan dengan biaya operasional, peningkatan layanan menjadi sulit dilakukan. Kedua, kerjasama dengan mitra eksternal perlu dirancang agar saling menguntungkan, sehingga program tidak terkendala aspek finansial.  

Untuk mengatasi tantangan yang ada, beberapa langkah dapat diambil untuk memperbaiki kinerja TPST Randu Alas. Edukasi kepada warga mengenai pentingnya layanan pengelolaan sampah perlu digalakkan. Warga perlu memahami bahwa kenaikan biaya dapat berdampak pada peningkatan kualitas layanan dan pengurangan dampak negatif, seperti pembakaran sampah. Selain itu, inovasi baru dalam pengolahan sampah organik perlu dieksplorasi, misalnya dengan mencari mitra lain untuk mendukung program budidaya maggot atau pendekatan lain yang lebih berkelanjutan.  

Secara keseluruhan, pengalaman TPST Randu Alas menunjukkan bahwa pengelolaan sampah yang efektif memerlukan kombinasi inovasi, dukungan masyarakat, dan keberlanjutan finansial. Dengan komitmen semua pihak, tantangan yang ada dapat diselesaikan, menciptakan lingkungan yang lebih bersih dan sehat bagi generasi mendatang.



0 komentar:

Posting Komentar