29.12.24

Esai 10 (Liyana) : UAS PSIKOLOGI LINGKUNGAN

 Tugas Esai 10 : Ujian Akhir Semester

Mata Kuliah : Psikologi Lingkungan

Dosen Pengampu : Dr. Dra. Arundati Shinta, MA



Liyana Nofiasari (23310410049)

Fakultas Psikologi

Universitas Proklamasi 45 Yogyakarta


Analisis Perilaku Menteri Lingkungan Hidup dalam Kasus Sidak di Yogyakarta Berdasarkan Skema Persepsi Paul A. Bell 

Hanif Faisol Nurofiq, Menteri Lingkungan Hidup yang melakukan sidak di depo sampah Mandala Krida dan TPA Piyungan pada Senin, 18 November 2024 dapat dianalisis menggunakan skema persepsi lingkungan Paul A. Bell, dkk. pada persepsi dan perilakunya. Persepsi terbentuk melalui proses yang melibatkan stimulus lingkungan, sistem sensor manusia, dan proses kognitif yang menghasilkan respons perilaku tertentu (Bell et al. 2001; Sarwono, 1995). Dalam kasus ini, stimulus lingkungan yang diterima oleh Menteri Lingkungan Hidup adalah kondisi persampahan di Yogyakarta yang tidak tertangani dengan baik. Tumpukan sampah yang menggunung dan sistem pengelolaan yang tidak optimal menjadi stimulus visual yang kuat. Sistem sensornya, terutama penglihatan dan penciuman, menangkap stimulus ini secara langsung saat melakukan sidak. Kondisi ini memicu respons sensorik, mengingat sampah merupakan stimulus yang dapat menimbulkan ketidaknyamanan.

Proses kognitif yang terjadi selanjutnya adalah evaluasi negatif terhadap situasi tersebut. Menteri Lingkungan Hidup melakukan atribusi kesalahan sepenuhnya kepada pemerintah daerah, tanpa mempertimbangkan kerumitan masalah sampah yang melibatkan berbagai aspek seperti yang dijelaskan dalam penelitian Hendra (2016). Lima aspek pengelolaan sampah yaitu peraturan, kelembagaan, pendanaan, sosial budaya, dan teknologi seharusnya dilihat sebagai satu kesatuan yang saling berkaitan. Hasil dari proses kognitif ini menghasilkan respons perilaku berupa kemarahan dan kritik keras terhadap Pemda Daerah Istimewa Yogyakarta. Perilaku ini bertentangan dengan aspek peraturan yang ada, khususnya dalam UU No. 18 tahun 2008 yang menekankan tanggung jawab individu dalam pengelolaan sampah. Hal ini menjadi permasalahan karena terdapat kesenjangan antara regulasi yang ada dengan implementasi di lapangan. Patimah et al. (2024) menegaskan bahwa persepsi terhadap lingkungan sangat memengaruhi bagaimana seseorang merespons permasalahan lingkungan, dan dalam kasus ini, persepsi yang terbentuk cenderung bersifat parsial dan reaktif.

Persepsi Menteri Lingkungan Hidup yang terfokus pada peran pemerintah sebagai penanggung jawab persoalan sampah menghasilkan perilaku yang tidak menguntungkan. Alih-alih membangun dialog yang positif untuk mencari solusi bersama, perilaku yang ditunjukkan justru menciptakan ketidaknyamanan yang dirasakan oleh Sri Sultan Hamengkubuwono X dan tontonan beradu argumentasi yang tersebar di media sosial (Kompas.com, 2024). Hal ini menjadi permasalahan karena koordinasi antara pemerintah pusat dan daerah dalam pengelolaan sampah masih lemah. Persepsi yang terbentuk mengabaikan aspek sosial budaya, khususnya pada pentingnya perubahan perilaku masyarakat dalam pemilahan sampah. Padahal menurut Hendra (2016), aspek sosial budaya merupakan salah satu kunci keberhasilan pengelolaan sampah. Persepsi ini menghasilkan respons perilaku yang tidak efektif dalam menyelesaikan permasalahan sampah secara menyeluruh. Skema persepsi Bell et al. (2001) menunjukkan bagaimana stimulus lingkungan dapat memengaruhi proses kognitif dan menghasilkan perilaku tertentu. Dalam hal ini, stimulus berupa tumpukan sampah yang tidak terkelola dengan baik telah memicu proses kognitif yang didominasi oleh evaluasi negatif dan atribusi kesalahan sepihak. Proses ini kemudian menghasilkan perilaku yang menimbulkan konfrontasi dan tidak adanya titik temu dalam penyelesaian masalah.

Maka dari itu, dapat diambil kesimpulan bahwa perilaku Menteri Lingkungan Hidup yang ditunjukkan melalui kemarahan dan kritik keras merupakan hasil dari persepsi yang terbentuk secara tidak utuh terhadap permasalahan sampah. Skema persepsi Bell et al. (2001) membantu menjelaskan bagaimana stimulus lingkungan yang diterima, diproses melalui sistem sensor dan kognitif, menghasilkan perilaku yang justru tidak menemukan titik temu terhadap penyelesaian masalah persampahan di Yogyakarta. Pendekatan yang mempertimbangkan kelima aspek pengelolaan sampah secara seimbang sangat diperlukan untuk mencapai solusi. Mengacu pada penelitian Hendra (2016), solusi yang dapat dilakukan yaitu penguatan implementasi UU No. 18 tahun 2008 melalui pengawasan yang lebih ketat dan pemberian sanksi tegas bagi pelanggar, penguatan koordinasi antar lembaga pengelola sampah mulai dari tingkat RT/RW hingga tingkat provinsi, tingkatkan alokasi APBD yang lebih besar untuk pengelolaan sampah, lakukan program edukasi dan sosialisasi pemilahan sampah secara intensif, serta peningkatan investasi pada infrastruktur pengolahan sampah. Penerapan solusi ini memerlukan pendekatan yang lebih kolaboratif dan komunikatif antar berbagai pihak, dan kita sebagai masyarakat memiliki peran penting untuk tercapainya solusi dari permasalahan sampah. 


Daftar Pustaka

Bell, P. A., Greene, T. C., Fisher, J. D., & Baum, A. (2001). Environmental Psychology. 5th Edition. New York: Harcourt College Publishers.

Hendra, Y. (2016). The comparison between waste management system in Indonesia and South Korea: 5 aspects of waste management analysed. Aspirasi, 7(1), 77-91.

Kompas.com (2024). Menteri LHK sidak depo sampah, Sri Sultan tak nyaman dengar hasilnya. https://www.youtube.com/watch?v=utRismbeZ5o

Patimah, A. S., Shinta, A., & Al-Adib, A. (2024). Persepsi terhadap lingkungan. Jurnal Psikologi, 20(1), 23-29.

Sarwono, S. W. (1995). Psikologi Lingkungan. Jakarta: Grasindo & Program Pascasarjana Prodi Psikologi UI.

Undang-Undang RI. No. 18 tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah.



0 komentar:

Posting Komentar