RESENSI ARTIKEL:
GAGAL PAHAM
NAMA:
I R W A N T O
NIM.
163104101125
TUGAS
MATA KULIAH: PSIKOLOGI INDUSTRI DAN ORGANISASI
PROGRAM
STUDI PSIKOLOGI UMUM
UNIVERSITAS
PROKLAMASI 45 YOGYAKARTA
Belakangan ini, terutama di
media sosial, kita banyak menemukan kata-kata yang sudah lama tidak menjadi
default dalam percakapan. Kata-kata kasar seperti dungu, pander, bodoh terasa
sudah kuno, dan sudah kurang sesuai dengan budaya yang canggih dan global saat
ini. Namun, entah karena hati yang panas ataupun memang kegeraman menghadapi
logika atau common sense banyak orang yang tiba-tiba jadi membingungkan,
kata-kata itu kemudian muncul ke permukaan.
Ini adalah realitas yang
cukup mengejutkan. Dengan tingkat pendidikan yang cukup tinggi dan kesempatan
belajar yang semakin meluas, fenomena ini kemudian memunculkan
pertanyaan-pertanyaan baru. Fakta dalam kehidupan nyata, saya sendiri pun
sering terjebak pada kesalahan pola piker, yang hamper-hampir masuk kea lam
bawah sadar. Tidak terasa lagi. Katakanlah dari pengalaman-pengalaman buruk
dengan suku bangsa tertentu, kita sering membuat rangka stereotip, yang semakin
hari semakin kita perkuat. Ini membentuk sikap mental kita penuh bias sehingga
terkadang kita menjadi tidak obyektif lagi.
Dengan demikian, untuk memperbaikinya,
kita perlu bekerja keras, apalagi bila ingin memerangi kebiasaan berpikir yang
sudah menahun ini. Repotnya, banyak individu yang tidak mempunyai niat untuk
memperbaiki cara pikirnya, dan berkilah bahwa pendapatnya benar adanya. Orang
yang demikian, alih-alih bisa menjadi ilmuan andal, bahkan kehidupan social di
masyarakatnya pun tidaklah simpatik.
POLA PIKIR DESTRUKTIF: banyak orang yang sulit tersenyum, mereka
beranggapan bahwa hal-hal yang terburuk memang terjadi pada dirinya. Mereka
mempunyai kebiasaan melihat kepada orang-orang yang lebih beruntung dan lupa
melihat ke bawah. Orang-orang seperti ini kemudian terbiasa memfokuskan
perhatiannya pada hal-hal yang buruk semata. Begitu berita negative dating,
rangkaian pemikiran bernada suram terpicu untuk bergerak. Hal-hal yang mengalir
keluar bisa berbentuk gossip politik, kebencian, juga caci maki terhadap
golongan tertentu. Dampaknya adalah hidup terasa pahit, berwarna abu-abu dan
tak pernah merah muda.
Orang-orang ini pun cepat
sekali mengambil kesimpulan. Pria yang sedikit melambai sudah dicap LGBT. Orang
yang tiba-tiba sedikit boros, langsung dicap koruptor. Namun, penilaian dan
segala dalil yang dibuat biasanya mengandung satu pengecualian, yaitu dirinya
sendiri. Tanpa disadari orang-orang ini cenderung mempunyai cirri “the
negative psychic”. Hanya karena kemasan, pangkat, atau pun profesinya
gejala ini ini tidak begitu terlihat. Contoh Menteri Susi pernah mengatakan
bahwa dalam rapat-rapat kita perlu mengurangi kata-kata seharusnya karena hal
ini akan menjauhkan kita dari realitas, dan terdorong hanya kepada
pendapat-pendapat.
POLA PIKIR MAJU: pada zaman sekarang, kita para generasi yang lebih
muda semakin cepat berpikir, berinovasi, dan berkreasi, kita perlu memperbaiki
pola pikir yang tidak produktif. Zaman keemasan, di mana kita bisa menikmati
hasil pendidikan tanpa berdisiplin menjaga kesehatan pola pikir, sudah berlalu.
Pola pikir kita sekarang harus tetapi fit. Kita harus selalu mampu mencerna
informasi, baik itu data maupun fakta baru dengan tepat. Untuk mencapai
kebugaran ini, kita perlu mengenali kesalahan-kesalahan maupun
hambatan-hambatan berpikir kita.
Mawas diri adalah langkah
pertama yang sangat baik untuk ditempuh. Langkah selanjutnya adalah sedikit
mundur ke belakang dan berupaya keras mempertanyakan kesimpulan, penilaian,
maupun asumsi yang kita buat secara kilat. Apakah kesimpulan saya sudah benar?
Atau salah.
Hal-hal yang
negatif dalam penulisan opini yang berjudul Gagal Paham yaitu dalam opini masih
kurang pembahasan mengenai alam bawah sadar dan alam tidak sadar.
Hal-hal yang
positif dalam penulisan opini yang berjudul Gagal Paham yaitu adalah: dalam opini
sangat menarik sekali karena tulisannya memberikan suatu gambaran mengenai pola
pikir secara detail sekali.
Sumber:
Experd. (2017). Gagal
Paham. Kompas, 18 Maret, Halaman 11.
0 komentar:
Posting Komentar