MEMAKNAI PENDIDIKAN
NASIONALISME DI INDONESIA
Jati Pramono
Fakultas Psikologi Universitas proklamasi 45
Yogyakarta
Pendidikan nasional adalah pendidikan yang berdasarkan garis-garis
bangsanya (national-culture) dan ditujukan untuk keperluan perikehidupan yang
dapat mengangkat derajat negeri dan rakyatnya, sehingga mempunyai kedudukan dan
pantas bekerja sama dengan negeri lain, demi tercapainya kemuliaan manusia
diseluruh dunia.
Pendidikan di sekolah/kampus merupakan salah
satu upaya menanamkan jiwa merdeka , disamping pendidikan pendidikan keluarga
dan pendidikan dalam lingkungan pergaulan (masyarakat). Untuk mampu menanamkan
jiwa merdeka, maka aspek-aspek kemanusiaan peserta didik hendaknyalah digarap
sedemikian rupa, sehingga pada akhirnya mencapai keserasian, keseimbangan dan
keselarasan (harmoni) antara pengembangan aspek jasmani dan rohani, dimana
dalam aspek rohani terkandung didalamnya kemampuan cipta, rasa dan karsa.Dengan
demikian, maka intelektualisme akademik yang semata-mata memacu kemampuan
kognitif adalah mengingkari tujuan terbentuknya jiwa merdeka.
Menurut Sudarto (2008;71) dengan trilogi
pendidikan yang menjadi prinsip dasar dalam pendidikan Tamansiswa yang berbunyi “ Ing Ngarsa Sung Tuladha, Ing
Madya Mangun Karsa, Tut Wuri Handayani”.
Dalam trilogi pendidikan tersebut, seorang
guru harus mempunyai perilaku konsisten dan konsekuen, jujur , adil, bertanggung
jawab, bersatunya kata dan perbuatan (menjadi teladan), bersedia berada paling
depan pada saat menghadapi kesulitan dan berada paling belakang (menikmati
paling akhir) ketika menghadapi kesenangan sehingga dapat memberi pengaruh baik
kepada anak didiknya. Guru harus mampu membangkitkan motivasi
(memberdayakan) sekaligus pandai “mengemong”,serta memberikan ketentraman lahir
dan batin bagi anak didiknya.
Nilai-nilai budaya luhur Indonesia yang telah
ditarapkan di Tamansiswa haruslah (menasional) menjadi ciri khas pendidikan
Indonesia bukan sebatas komersialisasi pendidikan yang terjadi selama ini yang
banyak di pengaruhi oleh politik kekuasaan.Kalau pendidikan sudah masuk dalam
dunia politik kekuasaan maka tunggulah masa kehancuran pendidikan.Dalam hal pendidikan
kebudayaan ditamansiswa ada Trikon (kontinuita, konvergensi dan konsentrisita)
yang seharusnya lebih menasional sehingga hasil didikan di sekolah/kampus
menghasil intelektual yang punya jiwa merdeka dan nasionalis serta berdaya dan
berbudaya.
Pendidikan harus diperbaharui (Charles Handy
dikutib dari Nicholl;16- 2002)
Melalui sistem among, Tamansiswa
meletakkan pendidikan sebagai alat dan syarat untuk anak-anak hidup sendiri dan
berguna bagi masyarakat dimana pengajaran bagi Tamansiswa berarti mendidik
anak agar menjadi manusia yang merdeka batinnya, merdeka pikirannya dan merdeka
tenaganya. Guru/ pamong jangan hanya memberi pengetahuan yang perlu dan baik
saja, akan tetapi harus juga mendidik anak/murid agar dapat mencari sendiri
pengetahuan itu dan memakainya guna amal keperluan umum. Pengetahuan yang baik
dan perlu itu yang bermanfaat untuk keperluan lahir dan batin dalam hidup
bersama. Seperti yang pernah di ungkapkan oleh Ki Hajar “Manusia jangan kalah
sama cecak, walaupun cecak tak pernah sekolah, toh tidak pernah jadi
penganggur”
Hal ini berarti bahwa setiap orang perlu
mengembangkan keterampilan yang menjadikan dirinya benar-benar siap dan dapat
bekerja menjadi orang-orang ‘MERDEKA’ (yang tidak tergantung pada orang lain)
secara ekonomi. Menjadi ‘PENGUASA’ keadaan dan lingkungan, bukannya menjadi
korban keadaan dan lingkungan.Menguasai perubahan ketimbang melawannya.
Abad prestasi berada dalam genggaman
kita-tetapi tergantung pada ETIKA Pendidikan (Mantan PM. Tony Blair, dikutib
dari Nicholl;325- 2002)
Sistem pendidikan sekarang yang dipengaruhi
oleh kekuasan politik membuat pendidikan Indonesia amburadul dan keluar dari
national-cultur dan faham trilogi pendidikan yang menjadi prinsip dasar
pendidikan Tamansiswa dan nasional.Sehingga Ketika sebuah negara sepertiIndonesia
sedang terpuruk, hampir semua sepakat untuk menyoroti pendidikan sebagai salah satu biang keladi utama.
Tapi, apakah semua sudah sepakat dan sepaham tentang apa itu Pendidikan? Apakah
Pendidikan itu sama seperti ketrampilan atau keahlian di sebuah bidang
tertentu? Apakah Pendidikan itu berarti paham pemikiran logika dan sistematis,
yang hanya mengandalkan fungsi otak kiri saja?Apakah pendidikan hanyalah sebuah
sarana untuk mendapatkan Ijazah formal dan pekerjaan agar dapat membiayai diri
sendiri (dan keluarga) untuk hidup layak?
Di Indonesia, masalah pendidikan sudah sangat
pelik. Memang, komitmen politik pemerintah untuk memenuhi anggaran pendidikan
minimal 20% dari total anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) sesuai
amanat Undang-Undang Dasar, tapi sampainya di daerah tidak demikian (masih
banyak pemotongan), sampai ditudingnya Departemen Pendidikan sebagai salah satu
sarang utama korupsi. Dari mewah fasilitas sekolah dan mahalnya biaya
pendidikan sampai begitu banyaknya bangunan sekolah yang hampir roboh dimakan
usia atau korupsi. Adanya dana BOS tidak menjamin semua anak Indonesia bisa
mengenyam pendidikan, hal ini bisa dilihat di desa dan di sudut sudut kota
masih banyak putra-putri Indonesia yang tidak bersekolah. Dari sistem
perekrutan tenaga pengajar (CPNS) yang disisipi sogok menyogok, bukan pada
profesionalitas pengajar dan pengabdian dalam mendidik. Pendidikan yang
disisipi indoktrinasi pemahaman tertentu sampai pendidikan disamakan dengan
sekedar transfer ilmu pengetahuan semata. Hal ini, terjadi hampir di seluruh
Indonesia. Jadi apakah pendidikan itu?Sistem pendidikan seperti apakah
yang cocok diterapkan di Indonesia ini?
Pendidikan bukanlah (hanya) transfer of knowledge, ada sebuah penelitian di Amerika
Serikat yang melaporkan bahwa, peran otak kiri, yang berkaitan dengan logika
dan intelektual, pada keberhasilan seseorang dalam mencapai kesuksesan hanya
4%.Porsi terbesar untuk mencapai kesuksesan yakni 96% didominasi peran otak
kanan yang berkaitan dengan kreativitas dan inovasi.Dan itu telah diterapkan
dalam pendidikan Tamansiswa dengan sistem amongnya dan menjadi prinsip dasar
pendidikan di Indonesia.
Seorang manusia yang berpikir dan mengetahui
cara berpikir selalu dapat mengalahkan sepuluh orang yang tidak berpikir dan
tidak mengetahui cara berpikir, (George Bernard Shaw dikutib dari Nicholl; 53-
2002)
Sayangnya, pola pendidikan yang dapat
membantu perkembangan otak kanan kurang diperhatikan di Indonesia akibat dari
pendidikan yang dipolitisir oleh para penguasa.Oleh karena itu, pengembangan
emosi dan kepribadian yang dapat menuntun seseorang menjadi manusia arif dan
bijaksana menjadi terlalaikan.Padahal, untuk bisa membangun suatu bangsa yang
kuat diperlukan orang yang tidak hanya berintelektual tinggi, tetapi juga peka
terhadap kondisi yang terjadi.Selain itu, bangsa Indonesia pun memerlukan orang
yang punya kebijaksanaan tinggi untuk dapat menghadapi segala persoalan dengan
tepat.Keseimbangan antara fungsi otak kiri dan otak kanan sangat ditentukan
oleh pola pendidikan jenis apakah yang diterima seorang murid.
Pendidikan adalah sesuatu yang tersisa
setelah melupakan semua yang telah dipelajari di sekolah. (Albert Einstien)
Tapi pola pendidikan ideal seperti ini sangat
langka di Indonesia yang cenderung lebih mengarah pada transfer of knowledge daripada pendidikan dalam arti
membimbing seorang anak didik menjadi manusia yang mengenal dirinya sendiri dan
peka terhadap apa yang terjadi dengan lingkungan sekitar dirinya.
Pendidikan bukanlah indoktrinisasi pemahaman,
Di Indonesia banyak sekali lembaga pendidikan yang didirikan oleh
lembaga-lembaga agama dengan tujuan secara langsung maupun tidak langsung untuk
menanamkan doktrin-doktrin agama dalam benak anak didik dari usia muda. Hal ini
patut disesalkan karena dikhawatirkan kelak anak-anak tersebut tidak mampu
mengapresiasi keberagaman yang diciptakan oleh Tuhan di dunia ini.Diperparah
pula oleh timbulnya perda-perda syariat yang seakan melegalisir pemisahan bagi
para siswa di sekolah.Dan, hasilnya adalah konflik antar agama, konflik
horisontal antar kelompok masyarakat hanya karena berbeda dengan
dirinya.Perbedaan yang semestinya menjadi rahmat keberagaman bagi umat manusia,
malah menjadi kutukan dan penyebab perang di antara umat manusia.
Pendidikan bukanlah hanya untuk orang kaya
saja, Sekolah favorit selalu menjadi incaran orangtua murid untuk menyekolahkan
anaknya di sana. Kenapa? Karena dengan bersekolah di sekolah favorit maka
kemungkinan besar, sang murid akan mudah mendapatkan pekerjaan yang layak di
masyarakat dan menjadi kaya. Jadi apakah kita berpendidikan hanya untuk
mendapatkan pekerjaan yang layak?Bila jawabannya tidak, tapi kenyataannya bahwa
banyak sekolah-sekolah yang menawarkan fasilitas dan kelas ketrampilan tambahan
menjadi sekolah-sekolah favorit walaupun bertarif sangat mahal. Dan, hanya
orang-orang kaya saja yang mampu menyekolahkan anak-anaknya di sana karena
banyak juga perusahaan yang hanya mau mempekerjakan para lulusan dari
sekolah-sekolah favorit saja. Pola pikiran seperti ini hanya menimbulkan
ekses-ekses bahwa hanya orang kaya saja yang mampu mendapatkan pendidikan.Jelas
ini bertentangan dengan Kemanusiaan
Yang Adil dan Beradab, sila ke-2 dari Pancasila.
Pendidikan yang diterapkan disekolah maupun
di kampus telah menimbulkan ketidakadilan bagi pelajar itu sendiri karena
kemerdekaannya dalam berpikir dan berkarya selalu di kekang oleh sistem yang
hanya melihat prestasi dari dari satu sisi sedangkan sisi lain diabaikan,
contohnya dalam hal UAN pemerintah hanya mengukur tingkat kelulusan para siswa
dari nilai ujian akhir padahal yang lebih tahu para siswa lulus atau tidak
lulus hanya guru disekolah tersebut yang bersama selama beberapa tahun. Belum
lagi dari sarana dan prasarana harus dilihat, harus membedakan tingkat
daya serap informasi & teknologi serta pergaulan di kota dan pedalaman.
.Sebaiknya UAN itu hanya untuk mengukur tingkat prestasi para siswa secara
nasional bukan mengukur kelulusan.
Sekolah kini tidak lagi menjadi tempat yang
aman bagi anak-anak. Guru menjadi agen pengawas, penindas, merendahkan martabat
siswa. Sekolah menjadikan lembaga yang mematikan bakat dan gairah anak untuk
belajar. (Prof. Kurt Siregar)
Dikampus banyak terjadi permasalahan yang
nota bene mahasiswa adalah tingkat advanced dimana para siswa bisa menalaah
atau menafsirkan dan mengembangkan pemahamannya tentang suatu teori. Mereka
seharusnya lebih ditekankan bagaimana cara mereka belajar bukan pada apa yang
mereka pelajari.
Para pelajar boleh jadi belajar dalam
berbagai cara yang berbeda-tetapi satu hal yang sama-sama mereka miliki adalah
pendekatan aktif terhadap pembelajaran. Mereka tidak pernah duduk dengan pasif
mendengarkan atau membaca. Mereka senantiasa bertanya kepada diri sendiri,
serta selalu melakukan sesuatu untuk meyakinkan diri bahwa mereka telah mendapatkan
fakta-fakta dalam cara yang sesuai dengan pilihan-pilihannya. Terserah
bagaimana cara mereka memastikan diri bahwa mereka sudah memperoleh informasi
dengan cara mereka sendiri yang paling mudah dalam memperoleh dan mengingatnya.
Melalui tindakan anda menciptakan pendidikan
anda sendiri. (David B. Ellis dikutib dari Nicholl;126- 2002)
Jangan bikin aku berjalan ketika aku ingin
terbang.(Galena Dolva dikutib dari Nicholl;128- 2002)
Sebuah contoh, Sistem pengajaran dan
penilaian para dosen di sebuah universitas dimana banyak penyimpangan dari
prinsip dasar pendidikan. Kepuasan mahasiswa dalam belajar di univesitas
berkurang karena beberapa sebab, antara lain mayoritas cara pengajaran yang
membosankan sehingga hasilnya mahasiswa tidak bisa menjawab soal waktu ujian,
begitu juga dalam penilaian kadangkala menggunakan sistem random sehingga
membuat sebagian mahasiswa menanyakan bagaimanakah cara penilaian dosen itu?
“Kok, seperti ini nilaiku padahal aku yakin jawabanku benar, ada juga kasus dimana sejumlah mahasiswa
sampai mengulang mata kuliah tertentu samapi 2-3 kali tapi nilainya sama bahkan
tambah buruk, padahal mereka mengulang hanya untuk memperbaiki nilai, bukankah
mengulang salah satu bentuk usaha? Dimana cara dosen menghargai usaha
mahasiswanya? Ada kasus lain dimana sejumlah mahasiswa mengumpulkan tugas mata
kuliah tertentu, tapi nilainya juga tidak memuaskan. Terus mahasiswa tersebut
berkata “Kok seperti ini cara menghargai karya mahasiswa? Padahal aku telah
berusaha dengan sebaik mungkin tapi nilainya??? Bukankah ini juga menyangkut
nama baik univesitas tersebut didunia kerja nasional, kalau nilainya
tidak meyakinkan untuk masuk dan diseleksi, bagaimana bisa di terima jadi PNS
atau pegawai lainnya? Dan pada akhir lulusan universitas tersebut menjadi
kerdil dan minder dalam menghadapi dunia kerja. Padahal lulus dan segera
mendapatkan kerja merupakan tujuan kami kuliah, kami datang dari daerah yang
jauh untuk memperbaiki daerah dan masa depan kami. Itu semua merupakan sebuah
pertanyaan besar bagi para calon pemimpin ini.
Lebih-lebih pada zaman sekarang ada pengaruh
negatif yang diakibatkan oleh ProgramTelevisi (TV) yang tidak mendidik.Apabila
acara TV telah menyedot perhatian anak pada jam-jam efektif belajar. Berdasarkan
survey bahwa anak-anak usia sekolah dasar perkotaan menghabiskan waktunya 43%
untuk menonton acara TV pada jam-jam belajar. Mereka menjadi sasaran produser
film dan iklan-iklan consumer good. Celakanya, program-program TV negara
ini dipenuhi hal-hal berbau klenik, perdukunan, kekerasan, budaya instan, pola
hidup konsumtif, dll. Sehingga tidak mengherankan bila masyarakat kita mudah
sekali ditipu oleh sms-sms berhadiah karena ingin cepat kaya (budaya instan),
oleh iklan-iklan yang menimbulkan keinginan berbelanja barang-barang yang tidak
diperlukan (konsumtif), bertikai dengan kekerasan karena berbeda, dan mudah
dibodohkan oleh cerita-cerita gaib ilmu perdukunan maupun ramalan.
Maka dari itu perlunya solusi yaitu
mengembalikan sistem pendidikan Indonesia ke aslinya yang berbasis budaya
Indonesia.dimana pendidikan yang bertujuan memberi kebebasan anak didik untuk
mengembangkan diri tidak saja secara intelektual, tapi juga memfasilitasi
perkembangan jiwa dan raga secara keseluruhan sehingga tercipta manusia Indonesia
yang berkarakter kuat yang mampu mengangkat harkat bangsa. Mewujudkan manusia
merdeka seperti ungkapan Ki Hadjar Dewantara, Bapak Pendidikan Nasional, “Manusia merdeka yaitu manusia yang
hidupnya lahir atau batin tidak tergantung kepada orang lain, akan tetapi
bersandar atas kekuatan sendiri.”
Pendidikan itu bukan suatu pemaksaan.Inilah yang paling menyentuh dan paling
relevan dari pandangan Ki Hajar Dewantara dalam alam demokrasi.Artinya jangan
memaksakan dan mematikan perkembangan alamiah anak didik.Akan tetapi,
pendidikan harus bisa mengembangkan kemampuan dan potensi yang ada pada anak
didik.Oleh sebab itu, pendidikan dengan pemaksaan harus diganti dengan
pendidikan yang bersifat Among Sistem.Yakni sistem yang memerdekakan pikiran,
semangat, dan kreativitas anak didik.Pada zaman dulu kita melihat guru datang
kepada murid untuk mengindoktrinasi. Jika anak itu tidak menguasai pelajaran,
ia mendapat hukuman. Kalau anak itu bisa menjawab, ia memperoleh hadiah. Sistem
seperti ini harus diganti, karena dinilai tidak mendidik, tidak memerdekakan
pikiran, semangat dan kreativitas serta karya anak didiknya.
Guru wajib mengasuh anak didiknya, mengasah
kodrati secara alamiah. Guru juga wajib mendorong anak didiknya dengan metode
Ki Hajar Dewantara, yakni ing
ngarsa sung tuladha, maksudnya
bila seseorang berada di depan diharapkan mampu menjadi teladan atau contoh
yang baik bagi anak didik/ anak buah atau pengikutnya, ing madya mangun karsa,maksudnya
seseorang level menengah diharapkan mampu menuangkan gagasan dan ide-ide yang
baru untuk mendukung program yang sudah diterapkan, tut wuri handayani, maksudnya jika posisi kita berada
dibelakang, diharapkan ikut mendukung program-program yang sudah ditetapkan,
tidak justru menjegal agar gagal.
Ada beberapa ajaran dari bapak pendidikan
kita Ki Hajar Dewantara tentang pendidikan diantaranya beliau mengibaratkan
bahwa pendidikan laksana sebuah taman (system) dimana ditaman itu tempat tumbuh
kembangnya bunga-bunga (siswa), kita sebagai pendidik hanyalah tukang kebun. Apabila
kita melihat bunga mawar janganlah lihat tangkai dan durinya tapi lihatlah
bunganya, jika kita hanya melihat tangkai dan durinya maka yang ada hanya
“sampah” tapi kalau lihat bunganya maka kita akan merasakan keindahan dan
keharumannya. Ditaman pasti ada bunga yang kurang subur, tugas kita sebagai
tukang kebun hanya merawat, memupuk dan menyiramnya.Tingkat kesuburan
tergantung pada kualitas bibit dan tanahnya, sehingga kita sebagai tukang kebun
merawat agar bunga bunga itu tidak mati, dalam hal ini kesuburan tanaman
menjadi pusat perhatian guru.
Tukang kebun hanya bisa memperbaiki dan
memperindah jenis tanaman dengan usaha-usaha yang mendorong perbaikan
perkembangan jenisnya.Tukang kebun juga tidak bisa memaksa tanaman mempercepat
bunganya agar segera bisa dipanen demi kepentingan mendesak, tapi semua itu
harus diikuti dengan kesabaran.Oleh sebab itu, tukang kebun/taman harus tahu
sifat dan watak serta jenis-jenis tanamannya, sehingga bisa membedakan antara
bunga mawar dan melati. Disamping itu, tukang kebun juga harus paham akan ilmu
mengasuh tanaman agar bisa bercocok tanaman dengan baik, agar yang dihasilkan
adalah tanaman dari tanah yang subur dan bunga yang baik.
Menurut Ki Hajar Dewantara, tukang kebun tidak boleh membedakan dari
mana asal; tanaman, pupuk, alat kelengkapan dan asal ilmu pengetahuan itu.Namun
yang harus dimanfaatkan segala yang menyuburkan tanaman menurut kodrat alamnya
(potensinya).
Seperti yang telah di ungkapkan oleh Luis
Alberto, Ph. D bahwa tujuan pendidikan adalahbelajar
bagaimana belajar karena
ketika seseorang mempelajari cara belajar, kepercyaan dan keyakinan dirinya
meningkat. Ketika seseorang mempelajari cara belajar, mereka tidak hanya bisa
menghadapi teknologi baru dan perubahan, bahkan mereka menyambut baik
kedatangannya. Dia memperoleh kemampuan dasar untuk menjadi pelajar yang mampu
mengatur diri, dan kemampuan dasar untuk meningkatkan pengembangan
pribadi.Mereka memiliki kekuatan untuk berubah dari konsumen pendidikan yang
pasif menjadi pengelola pembelajaran dan kehidupan yang aktif bagi diri
sendiri.
Bila sekarang Pendidikan Barat memperkenalkan
istilah PQ, IQ, EQ, SQ, tapi Budaya Nusantara mengenal istilah Sembah Raga,
Sembah Rasa dan Sembah Cipta dari karya agung Kitab Wedhatama karya KGPA
Mangkunegara IV sejak abad ke-19, Pendidikan yang baik akan menempa seorang
siswa agar mampu hidup mandiri tanpa tergantung orang lain dan sebenarnya,
negara Indonesia tidak perlu mengadopsi kurikulum pendidikan bangsa lain, yang
belum tentu cocok diterapkan di Indonesia, tapi cukup mengembangkan sistem
pendidikan nasional yang mampu membentuk karakter manusia Indonesia seutuhnya.
Salah satunya adalah Pelajaran Budi Pekerti seperti yang pernah diterapkan
dalam kurikulum nasional oleh Bapak Ki Hajar Dewantara, pendiri Perguruan Taman
Siswa.
Daftar Pustaka :
Al Hakim, S. Dkk. 2012.
Pendidikan Kewarganegaraan: Dalam Konteks Indonesia. Malang: Penerbit
Universitas Negeri Malang.
Hardi. 1988.
Meningkatkan Kesadaran Nasional. Jakarta: PT.Mufti Harun.
Madjid, N. 2004.
Indonesia Kita. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Umum.
Taniredja, T. Dkk. 2011.
Pendidikan Kewarganegaraan Untuk Perguruan Tinggi. Bandung: Penerbit Alfabeta
Bandung
0 komentar:
Posting Komentar