6.11.25

 

TUGAS ESAI 2 WAWANCARA DISONANSI KOGNITIF
MATA KULIAH PSIKOLOGI INOVASI

Dosen : Dr. Dra. Arundati Shinta, M.A.

 Disusun oleh:
Nama   : Yesa Apriliana
NIM    : 23310410039

 FAKULTAS PSIKOLOGI
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI
UNIVERSITAS PROKLAMASI 45 YOGYAKARTA
TAHUN 2025

Disonansi Kognitif pada AII, Seorang Barista di Fordo Espresso and Bar

Identitas Subjek:
Nama (Inisial) : AII
Usia                 : 24 Tahun
Jenis Kelamin  : Laki-laki
Agama             : Islam
Pendidikan      : Sarjana
Anak ke-         : 5
Suku                : Jawa


Disonansi kognitif merupakan kondisi psikologis ketika seseorang mengalami ketidaksesuaian atnara pengetahuan, keyankina, dan nilai yang dimiliki dengan perilaku yang ditunjukkan. Ketidaksesuaian ini dapat menimbulkan ketegangan internal yang mendorong seseorang untuk mencari cara menguranginya, baik dengan mengubah perilaku atau dengan menyesuaikan cara berpikir. Fenomena ini dapat ditemukan dalam berbagai konteks kehidupan sehari-hari, termasuk di lingkungan kerja.

Menurut teori awal dari Leon Festinger (1957) mengenai disonansi kognitif, apabila terjadi ketidaksesuaian antara dua kognisi (misalnya, pengetahuan dan perilaku) maka individu akan merasakan ketidaknyamanan psikologis yang memotivasi mereka untuk mengurangi disonansi tersebut dengan salah satu cara: mengubah perilaku, mengubah kognisi, atau menurunkan pentingnya salah satu kognisi.

Selain itu, dalam konteks mekanisme pertahanan diri, para peneliti psikodinamik menyebutkan bahwa ketika individu menghadapi konflik internal (misalnya antara “saya tahu merokok berbahaya” dengan “saya tetap merokok”), maka mekanisme seperti rasionalisasi (justifikasi diri) bisa muncul sebagai cara mempertahankan konsistensi internal dan mengurangi ketegangan.

Berdasarkan hasil wawancara dengan subjek berinisial AII, seorang pria berusia 24 tahun yang bekerja sebagai barista di Fordo Espresso and Bar, terlihat bahwa ia merupakan individu yang memiliki kemampuan pemecahan masalah yang baik. AII mampu mengenali dan menganalisis persoalan di tempat kerja secara cepat, serta mempertimbangkan alternatif solusi sebelum bertindak. Ia juga adaptif terhadap perubahan dan mampu mengelola emosi dengan baik, terutama dalam situasi kerja yang penuh tekanan.

Namun, di sisi lain, AII menunjukkan bentuk disonansi kognitif dalam kebiasaan merokoknya. Ia menyadari bahwa merokok merupakan perilaku yang merugikan kesehatan, tetapi tetap melakukannya karena merasa kebiasaan tersebut dapat membuatnya lebih relaks di tengah tekanan pekerjaan. Dalam hal ini, terdapat pertentangan antara pengetahuan (bahwa merokok berbahaya) dan perilaku nyata (tetap merokok untuk mengatasi stres).

Untuk mengurangi ketegangan akibat disonansi ini, AII tampaknya menggunakan mekanisme pertahanan diri berupa rasionalisasi. Ia meyakinkan dirinya bahwa merokok hanya dilakukan dalam batas wajar dan tidak sampai mengganggu kinerja. Ia juga berpendapat bahwa merokok merupakan cara yang efektif untuk menjaga fokus saat bekerja, terutama ketika beban kerja meningkat. Bentuk pembenaran ini membuatnya merasa lebih nyaman dan mampu menerima ketidaksesuaian antara perilaku dan keyakinannya.

Dalam konteks psikologi inovasi, kebiasaan AII dapat menjadi tantangan yang menarik. Di satu sisi, ia memiliki potensi besar sebagai individu yang reflektif, adaptif, dan berorientasi pada solusi. Namun di sisi lain, disonansi kognitif yang tidak disadari dapat menghambat upaya perubahan perilaku positif, seperti menjaga gaya hidup sehat. Kesadaran terhadap adanya disonansi ini dapat menjadi langkah awal bagi AII untuk mengelola stres dengan cara yang lebih sehat dan produktif.

Dengan demikian, kasus AII menunjukkan bahwa disonansi kognitif bukan hanya persoalan antara tahu dan bertindak, tetapi juga menyangkut bagaimana seseorang menyeimbangkan kenyamanan emosional dengan nilai-nilai rasional yang ia yakini.

Cuplikan Hasil Wawancara

Y: Oke. Jadi aku mau tanya-tanya sedikit soal keseharian kamu di tempat kerja. Bisa ceritain nggak, gimana biasanya situasi kerja kamu disini?

A: Ya, kalau di kafe tuh suasananya lumayan sibuk, apalagi pas jam-jam ramai kayak sore atau malam. Kadang banyak pesanan numpuk, jadi harus sigap dan fokus. Tapi aku udah lumayan terbiasa, sih.

Y: Berarti kamu udah terbiasa kerja di bawah tekanan, ya. Biasanya gimana cara kamu ngatasin stres atau capeknya?

A: Aku biasanya ngobrol sama teman kerja, denger musik waktu istirahat, atau sekadar tarik napas panjang biar tenang dulu. Pokoknya sebisa mungkin nggak panik kalau lagi rame.

Y: Nah, aku sempat lihat kamu juga punya kebiasaan merokok. Boleh ceritain dikit, nggak, tentang itu?

A: Hehe, iya, aku memang ngerokok. Biasanya pas lagi istirahat atau setelah shift selesai. Aku ngerasa itu bantu buat nenangin diri aja setelah kerja seharian.

Y: Jadi, bisa dibilang rokok itu jadi salah satu cara kamu buat ngurangin stres, ya?

A: Iya, bisa dibilang gitu. Soalnya kadang kerjaan di kafe itu melelahkan banget, dan ngerokok bikin aku ngerasa lebih relaks dan fokus lagi.

Y: Tapi kamu sadar kan kalau rokok itu sebenarnya nggak baik buat kesehatan?

A: Iya. Dari dulu juga sering denger soal bahayanya. Tapi asal nggak sering-sering juga nggak papa.

Y: Itu menarik banget, karena dalam psikologi, hal kayak gitu disebut disonansi kognitif—waktu seseorang tahu sesuatu itu nggak baik tapi tetap dilakukan karena ada alasan tertentu.

A: Wah, iya, masuk akal juga. Jadi kayak ada pertentangan antara pikiran sama tindakan, ya.

Y: Betul. Tapi di luar kebiasaan itu, aku lihat kamu orangnya reflektif dan bisa ngatur diri dengan baik. Misalnya di kerjaan, kamu bisa cepat mikir solusi dan tetap tenang di situasi rame.

A: Iya, aku berusaha tetap tenang dan mikir dulu sebelum bertindak. Kalau ada masalah di tempat kerja, aku coba lihat dari beberapa sisi dulu biar nggak asal.

Y: Bagus banget. Jadi bisa dibilang kamu cukup adaptif dan cepat belajar, ya?

A: Iya, aku suka belajar hal baru, apalagi yang bisa bantu kerjaan jadi lebih gampang aja.

Y: Nah, kalau kamu tahu soal disonansi kognitif tadi, menurut kamu kamu pengin berubah nggak? Maksudnya, nyari cara lain buat ngatur stres selain merokok?

A: Iya, pengin banget sih. Cuma memang butuh waktu aja. Aku juga pengin mulai coba cara lain yang lebih sehat, kayak olahraga ringan atau ngopi tanpa rokok.


DAFTAR PUSTAKA

Pangesti, I., Setiawan, N. A. S., & Wahyuni, C. (2023). Pengaruh disonansi kognitif terhadap perilaku plagiarisme pada mahasiswa. Jurnal Consulenza: Jurnal Bimbingan Konseling Dan Psikologi, 6(1), 141-151.

Dewanti, I. N., & Irwansyah, I. (2021). Disonansi Kognitif Dalam Perilaku Konsumen Masyarakat Indonesia Terhadap Pembelian Produk Tanpa Logo Halal. Jurnal Lensa Mutiara Komunikasi, 5(1), 99-109.

0 komentar:

Posting Komentar