TUGAS
ESAI 2 WAWANCARA DISONANSI KOGNITIF
MATA KULIAH PSIKOLOGI INOVASI
Dosen
: Dr. Dra. Arundati Shinta, M.A.
Nama : Yesa Apriliana
NIM :
23310410039
PROGRAM
STUDI PSIKOLOGI
UNIVERSITAS
PROKLAMASI 45 YOGYAKARTA
TAHUN
2025
Disonansi
Kognitif pada AII, Seorang Barista di Fordo Espresso and Bar
Identitas
Subjek:
Nama (Inisial) : AII
Usia : 24 Tahun
Jenis
Kelamin : Laki-laki
Agama : Islam
Pendidikan : Sarjana
Anak ke- : 5
Suku : Jawa
Disonansi kognitif merupakan kondisi psikologis ketika seseorang mengalami ketidaksesuaian atnara pengetahuan, keyankina, dan nilai yang dimiliki dengan perilaku yang ditunjukkan. Ketidaksesuaian ini dapat menimbulkan ketegangan internal yang mendorong seseorang untuk mencari cara menguranginya, baik dengan mengubah perilaku atau dengan menyesuaikan cara berpikir. Fenomena ini dapat ditemukan dalam berbagai konteks kehidupan sehari-hari, termasuk di lingkungan kerja.
Menurut teori awal dari Leon Festinger (1957)
mengenai disonansi kognitif, apabila terjadi ketidaksesuaian antara dua kognisi
(misalnya, pengetahuan dan perilaku) maka individu akan merasakan
ketidaknyamanan psikologis yang memotivasi mereka untuk mengurangi disonansi
tersebut dengan salah satu cara: mengubah perilaku, mengubah kognisi, atau
menurunkan pentingnya salah satu kognisi.
Selain itu, dalam konteks mekanisme pertahanan
diri, para peneliti psikodinamik menyebutkan bahwa ketika individu menghadapi
konflik internal (misalnya antara “saya tahu merokok berbahaya” dengan “saya
tetap merokok”), maka mekanisme seperti rasionalisasi (justifikasi diri) bisa
muncul sebagai cara mempertahankan konsistensi internal dan mengurangi
ketegangan.
Berdasarkan hasil wawancara dengan subjek
berinisial AII, seorang pria berusia 24 tahun yang bekerja sebagai barista di
Fordo Espresso and Bar, terlihat bahwa ia merupakan individu yang memiliki
kemampuan pemecahan masalah yang baik. AII mampu mengenali dan menganalisis
persoalan di tempat kerja secara cepat, serta mempertimbangkan alternatif
solusi sebelum bertindak. Ia juga adaptif terhadap perubahan dan mampu
mengelola emosi dengan baik, terutama dalam situasi kerja yang penuh tekanan.
Namun, di sisi lain, AII menunjukkan bentuk
disonansi kognitif dalam kebiasaan merokoknya. Ia menyadari bahwa merokok
merupakan perilaku yang merugikan kesehatan, tetapi tetap melakukannya karena
merasa kebiasaan tersebut dapat membuatnya lebih relaks di tengah tekanan
pekerjaan. Dalam hal ini, terdapat pertentangan antara pengetahuan (bahwa
merokok berbahaya) dan perilaku nyata (tetap merokok untuk mengatasi stres).
Untuk mengurangi ketegangan akibat disonansi ini,
AII tampaknya menggunakan mekanisme pertahanan diri berupa rasionalisasi. Ia
meyakinkan dirinya bahwa merokok hanya dilakukan dalam batas wajar dan tidak
sampai mengganggu kinerja. Ia juga berpendapat bahwa merokok merupakan cara
yang efektif untuk menjaga fokus saat bekerja, terutama ketika beban kerja
meningkat. Bentuk pembenaran ini membuatnya merasa lebih nyaman dan mampu
menerima ketidaksesuaian antara perilaku dan keyakinannya.
Dalam konteks psikologi inovasi, kebiasaan AII
dapat menjadi tantangan yang menarik. Di satu sisi, ia memiliki potensi besar
sebagai individu yang reflektif, adaptif, dan berorientasi pada solusi. Namun
di sisi lain, disonansi kognitif yang tidak disadari dapat menghambat upaya
perubahan perilaku positif, seperti menjaga gaya hidup sehat. Kesadaran
terhadap adanya disonansi ini dapat menjadi langkah awal bagi AII untuk
mengelola stres dengan cara yang lebih sehat dan produktif.
Dengan demikian, kasus AII menunjukkan bahwa
disonansi kognitif bukan hanya persoalan antara tahu dan bertindak, tetapi juga
menyangkut bagaimana seseorang menyeimbangkan kenyamanan emosional dengan
nilai-nilai rasional yang ia yakini.
Cuplikan Hasil Wawancara
Y: Oke. Jadi aku mau tanya-tanya sedikit soal keseharian kamu di tempat kerja. Bisa ceritain nggak, gimana biasanya situasi kerja kamu disini?
A: Ya,
kalau di kafe tuh suasananya lumayan sibuk, apalagi pas jam-jam ramai kayak
sore atau malam. Kadang banyak pesanan numpuk, jadi harus sigap dan fokus. Tapi
aku udah lumayan terbiasa, sih.
Y: Berarti
kamu udah terbiasa kerja di bawah tekanan, ya. Biasanya gimana cara kamu
ngatasin stres atau capeknya?
A: Aku
biasanya ngobrol sama teman kerja, denger musik waktu istirahat, atau sekadar
tarik napas panjang biar tenang dulu. Pokoknya sebisa mungkin nggak panik kalau
lagi rame.
Y: Nah, aku
sempat lihat kamu juga punya kebiasaan merokok. Boleh ceritain dikit, nggak,
tentang itu?
A: Hehe,
iya, aku memang ngerokok. Biasanya pas lagi istirahat atau setelah shift
selesai. Aku ngerasa itu bantu buat nenangin diri aja setelah kerja seharian.
Y: Jadi,
bisa dibilang rokok itu jadi salah satu cara kamu buat ngurangin stres, ya?
A: Iya,
bisa dibilang gitu. Soalnya kadang kerjaan di kafe itu melelahkan banget, dan
ngerokok bikin aku ngerasa lebih relaks dan fokus lagi.
Y: Tapi
kamu sadar kan kalau rokok itu sebenarnya nggak baik buat kesehatan?
A: Iya.
Dari dulu juga sering denger soal bahayanya. Tapi asal nggak sering-sering juga
nggak papa.
Y: Itu
menarik banget, karena dalam psikologi, hal kayak gitu disebut disonansi
kognitif—waktu seseorang tahu sesuatu itu nggak baik tapi tetap dilakukan
karena ada alasan tertentu.
A: Wah,
iya, masuk akal juga. Jadi kayak ada pertentangan antara pikiran sama tindakan,
ya.
Y: Betul.
Tapi di luar kebiasaan itu, aku lihat kamu orangnya reflektif dan bisa ngatur
diri dengan baik. Misalnya di kerjaan, kamu bisa cepat mikir solusi dan tetap
tenang di situasi rame.
A: Iya, aku
berusaha tetap tenang dan mikir dulu sebelum bertindak. Kalau ada masalah di
tempat kerja, aku coba lihat dari beberapa sisi dulu biar nggak asal.
Y: Bagus
banget. Jadi bisa dibilang kamu cukup adaptif dan cepat belajar, ya?
A: Iya, aku
suka belajar hal baru, apalagi yang bisa bantu kerjaan jadi lebih gampang aja.
Y: Nah,
kalau kamu tahu soal disonansi kognitif tadi, menurut kamu kamu pengin
berubah nggak? Maksudnya, nyari cara lain buat ngatur stres selain merokok?
A: Iya,
pengin banget sih. Cuma memang butuh waktu aja. Aku juga pengin mulai coba cara
lain yang lebih sehat, kayak olahraga ringan atau ngopi tanpa rokok.
DAFTAR
PUSTAKA
Pangesti, I., Setiawan,
N. A. S., & Wahyuni, C. (2023). Pengaruh disonansi kognitif terhadap
perilaku plagiarisme pada mahasiswa. Jurnal Consulenza: Jurnal Bimbingan
Konseling Dan Psikologi, 6(1), 141-151.
Dewanti, I. N., &
Irwansyah, I. (2021). Disonansi Kognitif Dalam Perilaku Konsumen Masyarakat
Indonesia Terhadap Pembelian Produk Tanpa Logo Halal. Jurnal Lensa Mutiara
Komunikasi, 5(1), 99-109.

0 komentar:
Posting Komentar