UJIAN TENGAH SEMESTER
MATA KULIAH PSIKOLOGI INOVASI
Dosen Pengampu : Dr., Dra. ARUNDATI SHINTA, MA
Yogyakarta
Dalam dunia yang serba cepat berubah, banyak orang percaya bahwa fasilitas, uang, dan
kesempatan bisa jadi kunci utama perubahan. Tapi kenyataannya, seperti yang terjadi pada Ayu
Aryanti, nggak selalu semudah itu. Kisah Ayu dan Kang Dedi Mulyadi (KDM) ini bukan cuma soal
bantuan sosial, tapi tentang seberapa dalam perubahan itu bisa benar-benar masuk ke hati dan
pikiran seseorang.
Menurutku, intervensi yang dilakukan KDM ke Ayu terlalu fokus pada hal-hal eksternal. Ayu diajak
tinggal di rumah KDM, diberi fasilitas, didorong untuk punya cita-cita besar, dan diperbaiki
penampilannya. Tapi, perubahan sejati nggak cuma tentang apa yang terlihat dari luar. KDM
mungkin lupa bahwa Ayu sudah punya nilai-nilai yang kuat dari kecil cinta keluarga,
kesederhanaan, dan rasa tanggung jawab yang besar. Jadi, meskipun Ayu di upgrade secara
penampilan dan fasilitas, jiwanya belum tentu berubah sesuai harapan KDM. Di sini, pendekatan
psikologis yang menyentuh nilai dan makna hidup Ayu kurang terlihat.
Kalau aku jadi asistennya KDM, pendekatanku bakal beda. Aku akan lebih banyak ngobrol personal
sama Ayu. Cari tahu apa yang dia pikirin, rasain, dan inginkan. Nggak maksa dia harus jadi polisi
atau masuk kampus top, tapi bantu dia nemuin potensi dan mimpi yang mungkin belum sempat dia
sadari. Pendekatannya harus dari dua arah. Kita harus ngerti Ayu dari kacamata dia sendiri, bukan
cuma dari kacamata anak yang harus diselamatkan.
Kalau aku ada di posisi Ayu, jujur pasti bingung. Tapi setelah dikasih kesempatan dan fasilitas
selama dua tahun, aku bakal manfaatin itu. Aku bakal coba kuliah atau pelatihan kerja, supaya bisa
bantu keluarga dalam jangka panjang. Jualan makaroni tetap bisa jalan, tapi bisa sambil kuliah juga.
Aku bakal terbuka sama KDM, cerita kenapa aku sempat ragu, supaya beliau juga ngerti bahwa aku
butuh ruang untuk menemukan arah hidupku sendiri.
Sebaliknya, kalau aku jadi orangtua Ayu, aku bakal tetap support dia dengan kasih sayang, tapi
juga ngasih pengertian bahwa kesempatan besar nggak datang dua kali. Aku bakal ngajak Ayu
ngobrol, buka pikiran dia, dan bantu dia lihat masa depan dengan cara yang lebih luas. Tapi tetap,
semua dengan pendekatan yang lembut, bukan paksaan.
Nah, bicara soal motivasi, Ellerman (2024) bilang bahwa motivasi internal itu penting banget. Ia
datang dari dalam diri nilai, mimpi, dan tujuan hidup. Tapi nggak bisa dimungkiri, motivasi internal
juga bisa turun kalau kita lelah atau hilang arah. Di situlah motivasi eksternal (dukungan, fasilitas,
dorongan orang lain) bisa jadi penolong. Tapi dua motivasi ini harus sinkron. Kalau nggak
nyambung, hasilnya bisa kayak kasus Ayu-ada dorongan dari luar, tapi dalam dirinya nggak ikut
bergerak.
Akhirnya, perubahan diri itu bukan cuma soal siapa yang bantu atau seberapa besar bantuan itu.
Tapi juga tentang bagaimana kita memahami seseorang sebagai manusia utuh dengan mimpi,
ketakutan, dan nilai hidupnya sendiri. Semoga dari kisah Ayu, kita bisa belajar bahwa jadi agen
perubahan itu nggak cukup cuma ngasih uang atau fasilitas-tapi juga perlu empati, komunikasi, dan
rasa hormat terhadap pilihan hidup orang lain.
Daftar Pustaka:
Ellerman, D. (2024). Intrinsic versus extrinsic motivation: Applications across the social sciences. International Journal of Education and Social Science Research (IJESSR). 7(5): 107-125. Article No. 977, Sub Id 1535.

0 komentar:
Posting Komentar