UJIAN TENGAH SEMESTER PSIKOLOGI INOVASI
Motivasi, Perubahan Diri, dan Kegagalan Intervensi:
Refleksi atas Kasus Ayu Aryanti dan KDM
Oleh :
Nama : AJENG WINDA ADHITA
NIM : 23310410061
Kelas : SJ
Dosen Pengampu:
Dr. Dra. Arundati Shinta MA
Fakultas Psikologi
Universitas Proklamasi 45 Yogyakarta
Yogyakarta
2025
Motivasi, Perubahan Diri, dan Kegagalan Intervensi: Refleksi atas Kasus Ayu Aryanti dan KDM
Di tengah pujian atas pendekatan fenomenal Gubernur Jawa Barat, Kang Dedi Mulyadi (KDM), dalam menginspirasi perubahan masyarakat lewat pendekatan personal dan materi, kasus Ayu Aryanti menjadi catatan penting tentang keterbatasan intervensi eksternal. Meski KDM telah menyediakan fasilitas, perhatian, kasih sayang, dan peluang pendidikan, Ayu justru memilih kembali ke kehidupan lamanya yang sederhana—berjualan makaroni dengan pendapatan yang sangat minim. Kisah ini menimbulkan pertanyaan besar: apa yang kurang dari intervensi yang dilakukan KDM?
Pertama, intervensi KDM tampaknya terlalu berfokus pada aspek perubahan fisik, sosial, dan fasilitas eksternal. Ayu memang diajak berdandan, diasuh dalam lingkungan yang disiplin dan berkecukupan, namun tidak ada indikasi bahwa kebutuhan psikologis terdalam Ayu—seperti rasa aman, otonomi, dan aktualisasi diri—benar-benar dipahami dan dipenuhi. Dalam teori self-determination, manusia berubah ketika mereka merasa bahwa perubahan itu berasal dari dorongan dirinya sendiri, bukan karena ditekan atau diarahkan pihak luar. KDM mungkin gagal membangun ruang dialog yang cukup agar Ayu merasa memiliki kontrol atas jalan hidupnya.
Jika saya adalah asisten KDM, saya akan mengarahkan pendekatan yang lebih reflektif dan berbasis konseling. Ayu perlu diposisikan bukan sebagai “proyek sosial,” tetapi sebagai subjek aktif dalam perubahan dirinya. Alih-alih menjejalkan pilihan, saya akan membantu Ayu mengenali potensi, ketakutan, dan nilai-nilai hidupnya. Saya akan membuat program pendampingan psikologis yang membantu Ayu merancang masa depan versinya sendiri dengan pemahaman bahwa semua pilihan punya konsekuensi.
Jika saya adalah Ayu, saya akan mempertimbangkan ulang keputusan untuk kembali ke pola lama. Meskipun keinginan membantu orangtua adalah hal mulia, saya harus sadar bahwa pendidikan tinggi adalah investasi jangka panjang yang kelak bisa memberdayakan saya dan keluarga secara lebih luas. Saya akan cari jalan tengah: melanjutkan kuliah sambil tetap berkontribusi pada usaha keluarga secara fleksibel.
Sebagai orangtua Ayu, saya akan mendorong putri saya agar tidak menolak kesempatan emas. Saya akan berdiskusi dari hati ke hati, tidak memaksa, namun meyakinkan bahwa jalan pendidikan tidak berarti meninggalkan keluarga—melainkan memperkuat masa depan keluarga. Saya akan mencari cara agar usaha makaroni tetap berjalan meski Ayu tidak sepenuhnya terlibat.
Kasus Ayu dan KDM secara nyata menggambarkan kompleksitas motivasi internal vs eksternal. Seperti dijelaskan Ellerman (2024), motivasi eksternal memang bisa menjadi pemicu awal perubahan, namun tidak cukup kuat untuk mempertahankan perubahan jangka panjang jika tidak ditopang motivasi internal. Ayu, meskipun menerima limpahan bantuan, tetap merasa tidak siap atau tidak cocok dengan kehidupan yang diarahkan padanya. Di sinilah pertarungan batin terjadi—antara kenyamanan dalam familiaritas dan tantangan dalam pertumbuhan.
Perubahan sejati lahir dari dalam. Motivasi internal adalah bahan bakar utama. Saat bahan bakar ini lemah, motivasi eksternal bisa membantu, tetapi hanya jika digunakan dengan hati-hati dan disesuaikan dengan kebutuhan emosional individu. Kegagalan dalam memahami hal ini bisa menyebabkan bantuan yang justru ditolak, sebagaimana yang terjadi pada Ayu.

0 komentar:
Posting Komentar