FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS PROKLAMASI 45
Dosen Pengampu : Dr. Arundati Shinta, MA
Penulis : Rifan Adi Nugraha
NIM : 23310410029
Permasalahan yang Terjadi
Cerita tentang Ayu Aryanti dan Kang Dedi Mulyadi (KDM) benar-benar buat saya mikir. Bagaimana bisa seorang anak yang pintar, rajin, dan dapat banyak fasilitas hidup malah memilih “balik lagi” ke kehidupan lamanya? Padahal, banyak orang pasti iri kalau bisa tinggal bareng orang seperti KDM dan dapat semua hal yang biasanya susah diraih. Tapi Ayu beda. Setelah dua tahun didampingi, dirawat, bahkan diberi semua hal yang dia butuhkan, ternyata Ayu tetap memilih hidup sederhana dan balik ke orang tua dan bantu jualan makaroni.
Cerita ini menurut saya nggak cuma soal keputusan Ayu, tapi tentang betapa rumitnya perubahan seseorang, terutama kalau perubahan itu datang dari luar, bukan dari dalam dirinya.
1. Kurangnya Intervensi KDM
Kalau dilihat sekilas, apa yang dilakukan KDM itu luar biasa. Tapi justru itu masalahnya. KDM terlalu fokus pada hal-hal yang kelihatan: kasih uang, kasih rumah, kasih makanan enak, pakaian bagus, sekolah bagus. Tapi dia nggak cukup menggali apa sebenarnya yang Ayu mau, apa yang dia yakini, dan apa arti sukses menurut Ayu sendiri. Menurut Ellerman (2024), perubahan sejati itu datang dari dalam diri seseorang. Kalau seseorang belum merasa bahwa perubahan itu penting buat hidupnya, ya sebesar apa pun bantuan dari luar, hasilnya bisa nggak maksimal. Ayu bisa jadi merasa nyaman secara materi, tapi secara batin dia belum “klik” sama arah yang dibawa KDM.
2. Kalau Saya Jadi Asisten KDM
Saya akan coba ajak Ayu ngobrol lebih dalam. Bukan soal kamu mau jadi apa, tapi lebih ke “kenapa kamu pengin jadi itu?” atau “apa yang kamu takutkan dari masa depan?” Saya bakal bantu Ayu ngerti bahwa memilih masa depan itu bukan soal meninggalkan orang tua, tapi soal membangun sesuatu yang lebih baik untuk mereka juga. Saya juga bakal ajak Ayu ikut program yang bisa bantu dia percaya diri, punya tujuan hidup, dan ngerti caranya mewujudkan mimpi. Bantuan fisik itu penting, tapi tanpa dorongan dari dalam, semua itu nggak akan bertahan lama.
3. Kalau Saya Jadi Ayu
Kalau saya ada di posisi Ayu, jujur pasti bingung juga. Tapi setelah dua tahun dikasih kesempatan belajar dan berkembang, saya akan coba manfaatkan sebaik mungkin. Saya akan lanjut kuliah, bukan karena mengejar gelar, tapi karena saya sadar kalau pengetahuan itu bisa bantu saya dan keluarga keluar dari kesulitan ekonomi. Jualan makaroni boleh-boleh aja, tapi kalau saya punya ilmu bisnis, saya bisa bikin usahanya lebih besar. Jadi niat bantu orang tua tetap bisa jalan, tapi dengan cara yang lebih berdampak.
4. Kalau Saya Jadi Orangtua Ayu
Sebagai orang tua, saya akan terus support Ayu buat jadi lebih baik. Tapi saya juga nggak akan membatasi keinginannya berkembang. Saya akan bilang, “Pergilah, belajar yang tinggi, nanti pulang bawa perubahan buat keluarga kita.” Cinta orang tua itu bukan cuma soal menjaga, tapi juga soal merelakan anak untuk berkembang lebih jauh.
5. Motivasi Internal vs Eksternal
Menurut saya, pertarungan antara motivasi internal dan eksternal itu kayak tarik tambang. Kalau motivasi dari dalam (seperti nilai, tujuan, dan keyakinan pribadi) kuat, maka hadiah atau tekanan dari luar bisa kalah. Tapi kalau motivasi internal sedang lemah, seharusnya motivasi eksternal bisa bantu mendorong.
Masalahnya, kalau motivasi eksternal nggak nyambung sama nilai-nilai yang dianut seseorang, maka dorongan itu malah jadi beban. Kasus Ayu contohnya: dia punya nilai hidup sederhana dan dekat sama keluarga. Ketika KDM datang dengan “paket sukses versi orang lain,” Ayu mungkin merasa itu bukan dirinya. Akhirnya, dia kembali ke zona nyaman karena belum siap berubah.

0 komentar:
Posting Komentar