Nama: Silau Ildabella Septama
NIM: 24310420065
Dosen Pengampu: Dr. Arundanti Shinta, M.A
Psikologi Inovasi
Esai 2
Wawancara tentang disonansi kognitif
Mei 2025
Festinger (1957) menyebutkan disonansi kognitif sebagai perasaan tidak nyaman yang dirasakan seseorang ketika ia melakukan sesuatu yang tidak sesuai dengan apa yang ia yakini.
Saya mewawancarai seorang barista perempuan berusia 36 tahun dengan inisial O di salah satu coffee shop yang terletak di Jalan Kaliurang Bawah. O merupakan seorang perokok aktif yang mulai merokok sejak dirinya duduk di bangku kelas 6 SD. O mengatakan awal mula dirinya coba-coba untuk merokok dikarenakan rasa penasaran melihat sang Ayah, lalu kemudian ia pun ketagihan. Selain Ayahnya, saudara laki-lakinya juga merokok, namun mereka melakukannya di luar rumah dikarenakan sang Kakek yang tidak kuat dengan asap rokok.
O mengaku rumahnya bebas asap rokok meskipun ada anggota keluarga yang melakukannya. Saat ditanya motivasi O merokok, dirinya menceritakan bahwa rokok adalah sarana pengalihan diri saat sedang merasa sangat tertekan dan stres berat, ada sugesti bahwa merokok membuat dirinya merasa tenang.
Beberapa tahun yang lalu, O dapat menghabiskan 24 sampai 30 batang perhari, saat itu pekerjaannya tergolong santai dan bebas untuk merokok. Saat ini, O mengakui sudah mengurangi jumlah rokok yang dihisap menjadi 5 sampai 10 batang saja.
Dirinya mengatakan kegiatan merokok dilakukannya kapan saja, setiap ada kesempatan, terutama saat akan tidur di malam hari, sehabis makan dan saat buang air besar. Saya bertanya apa yang dirasakan saat sedang merokok, O menjawab merokok membuat dirinya merasa tenang saat sedang overthinking.
Saya menemukan hal menarik dari kebiasaan merokok O, yaitu rokok membuat berat badannya menjadi stabil karena mengurangi keinginan untuk makan. Saya pun bertanya, pernahkah mencoba untuk berhenti merokok, dan O menjawab, “Ya.”
Ia mengaku pernah berhenti merokok selama dua tahun di bawah pengaruh lingkungan komunitas positif yang tidak merokok. Namun kemudian O kembali merokok saat ada masalah cukup berat yang menimpanya. O mengatakan ia memiliki keinginan untuk berhenti merokok lagi, ia pernah mencoba melakukannya namun hanya bertahan selama enam bulan saja. Alasannya karena berat badannya bertambah drastis akibat keinginan untuk makan terus-menerus. Selain itu, tidak merokok membuat O merasa gabut dan hampa.
Oleh karena itu, meskipun ada keinginan dari dirinya untuk berhenti merokok, O mengaku belum memiliki alasan yang masuk akal untuk berhenti. Ditanya mengenai dampak positif, hanya ada satu yang disebutkan oleh O, yakni merokok mampu menurunkan berat badannya menjadi lebih ideal dan mengurangi keinginan untuk ngemil, sehingga O bisa bergerak lebih bebas. Sementara dampak negatifnya lebih banyak, seperti gigi dan kuku kuning, nafas berbau tidak sedap, mulut kering, kamar menjadi tidak segar dan dindingnya menguning, pengeluaran yang besar, tidak lega bernafas dan kekhawatiran akan kematian.
Sebagai seorang perokok aktif, O tampak cukup paham mengenai bahaya merokok bahkan menyaksikan sendiri teman-temannya yang sudah terdampak oleh rokok secara fisik. Saya pun bertanya, dengan pengetahuannya akan bahaya merokok, mengapa tetap dilakukan? Di sinilah mekanisme pertahanan diri O nampak dalam bentuk denial, ia mengatakan:
“Emang sebenarnya sebahaya itu. Tapi, gimana, ya… Itu masih menjadi kebutuhan juga, nggak, sih? Di luar kita yang perokok, produsen rokok juga mengingatkan bahaya merokok, tapi mereka tetap menjual [rokok]. Itu, kan, pendapatan terbesar negara.
…Buat paru-paru nggak bagus, buat pernapasan nggak bagus, tapi balik lagi, sih, ke kesehatan dan daya tahan tubuh masing-masing orang. Kalau imunnya bagus tetap saja sehat-sehat, untuk jangka pendek, sih, ya. Kalau jangka panjangnya aku nggak tahu. Bisa bikin bolong paru-paru.
Aku juga bingung, hanya saja aku masih butuh. Karena kalau aku nggak merokok, aku mau ngapain, ya? Karena aku masih sering bengong…
…Jadi karena aku sudah lumayan stres, ya sudahlah, ya [merokok saja].”
Disonansi yang dialami O ditemukan pada pengakuannya bahwa dirinya merasa mampu untuk tidak merokok, namun kemudian mengatakan bahwa merokok baginya merupakan hal yang positif karena membuat berat badannya stabil dan mengendalikan nafsu makannya, meskipun secara sadar mengetahui bahwa merokok merupakan hal yang negatif.
Dari wawancara di atas, saya menemukan permasalahan yang dialami oleh perokok aktif, yakni keinginan untuk berubah namun tidak ada dasar motivasi yang jelas dan kuat. Hal ini sejalan dengan teori keengganan untuk berubah dalam pertemuan lima yang dikemukakan oleh Coch & French (1960), yang mengatakan:
"Belajar kembali butuh waktu lebih lama daripada belajar pertama kali. Keengganan berubah karena kurang motivasi, bukan ketiadaan keterampilan."

0 komentar:
Posting Komentar