22.5.25

AYU WIDI_ESSAY 8 : UTS PSIKOLOGI INOVASI

 

ESSAY 8 : UTS PSIKOLOGI INOVASI


 


Ayu Windi Astuti - 23310420073

 

Dosen Pengampu Dra. Arundati Shinta, M.A

 

Program Studi Psikologi

 

Fakultas Psikologi Universitas Proklamasi 45

 

Tahun 2025

 

 

Kisah Ayu Aryanti adalah sebuah ironi modern yang menyentuh. Seorang gadis belia dengan latar belakang sederhana, bertemu dengan figur inspiratif seperti Kang Dedi Mulyadi (KDM), yang dengan niat tulus ingin mengubah nasibnya. KDM, yang dikenal piawai "memaksa" perubahan positif dengan limpahan materi, seolah menemui tembok pada diri Ayu. Meskipun dibanjiri fasilitas, perhatian, dan kasih sayang selama dua tahun, Ayu memilih kembali ke akar, berjualan makaroni dengan keuntungan yang tak seberapa. Paradoks ini mengundang kita untuk menyelami lebih dalam: mengapa intervensi KDM gagal, dan apa yang bisa kita pelajari tentang kompleksitas motivasi diri.

Mengurai Benang Kusut Intervensi KDM

Intervensi KDM terhadap Ayu, meskipun berlandaskan kepedulian yang besar, agaknya memiliki beberapa celah yang fundamental. Kelemahan utama terletak pada dominasi motivasi eksternal. KDM cenderung menggunakan imbalan material sebagai pendorong perubahan, yang memang efektif untuk banyak orang. Namun, bagi Ayu, yang terbiasa dengan kesederhanaan dan mungkin menemukan ketenangan dalam hal-hal kecil, limpahan materi justru bisa jadi tidak selaras dengan nilai-nilai internalnya. Perubahan sejati tidak bisa dipaksakan dari luar jika tidak ada resonansi dari dalam.

Kedua, kurangnya pemahaman mendalam terhadap esensi diri Ayu. KDM mungkin berasumsi bahwa cita-cita "sukses" Ayu adalah menjadi polisi atau berpendidikan tinggi, sesuai standar umum. Padahal, cita-cita Ayu mungkin hanya sebatas doa "hidup sukses" yang lebih personal, bukan semata-mata ambisi karir. KDM terlalu fokus pada apa yang seharusnya Ayu lakukan, tanpa memberi ruang cukup bagi Ayu untuk menemukan apa yang benar-benar dia inginkan. Ayu yang introvert dan sulit menyampaikan pendapat, kemungkinan besar menyimpan aspirasi personal yang tak terungkap sepenuhnya.

Terakhir, waktu dan pendekatan yang kurang adaptif. Dua tahun adalah durasi yang singkat untuk mengubah pola pikir dan kebiasaan yang telah tertanam belasan tahun. Perubahan yang difasilitasi KDM lebih menyentuh aspek fisik dan perilaku superficial—Ayu menjadi lebih berisi, cantik, dan sedikit terbuka. Namun, perubahan mental, terutama dalam perencanaan masa depan, memerlukan proses internalisasi yang mendalam dan gradual, bukan sekadar arahan atau fasilitas. KDM mungkin luput melihat bahwa 'pintar' secara kognitif tidak selalu berbanding lurus dengan 'bijak' dalam merancang hidup.

Jika Saya Asisten KDM: Mengubah Paradigma

Seandainya saya menjadi asisten KDM, fokus utama saya adalah mengubah paradigma dari 'mengubah' menjadi 'memfasilitasi penemuan diri'. Alih-alih mengarahkan, saya akan mendorong KDM untuk menjadi pendengar yang lebih aktif bagi Ayu. Ini bisa diwujudkan dengan:

1. Sesi coaching personal yang empatik: Bukan hanya sekadar wawancara, tapi dialog mendalam yang membantu Ayu mengeksplorasi kekuatan, minat, dan nilai-nilai sejati dirinya. Tujuannya adalah membantu Ayu menemukan apa yang membuatnya benar-benar bahagia dan termotivasi, bukan hanya apa yang orang lain anggap baik.

 2. Paparan terhadap ragam sukses: Mengajak Ayu bertemu dengan beragam individu yang sukses di berbagai bidang—baik itu profesional dengan pendidikan tinggi maupun wirausahawan kecil yang mandiri. Ini akan membuka wawasan Ayu bahwa "sukses" memiliki banyak definisi, tidak hanya terbatas pada polisi atau gelar universitas.

 3. Pengembangan life skills holistik: Selain pendidikan formal, fokus pada keterampilan pengambilan keputusan, pemecahan masalah, dan keberanian mengambil risiko kecil. Membangun kepercayaan diri Ayu agar ia mampu memvisualisasikan dan merancang masa depannya sendiri, bahkan jika itu adalah jalur yang tidak konvensional.

 4. Mengikat masa lalu dengan masa depan: Membantu Ayu melihat bagaimana kualitas dirinya di masa lalu—ketekunan, hemat, peduli keluarga—bisa menjadi fondasi kuat untuk masa depan yang sukses, apapun jalurnya.

Jika Saya Ayu: Memegang Kendali Penuh

Sebagai Ayu, saya akan menyadari bahwa meskipun KDM adalah figur yang luar biasa, hidup adalah pilihan saya sendiri. Saya akan berupaya lebih berani mengomunikasikan suara hati saya.

 1. Ekspresikan diri dengan cara yang nyaman: Karena introvert, mungkin saya akan menulis surat atau meminta sesi bicara yang lebih privat dengan KDM, menjelaskan apa yang sebenarnya saya inginkan dan rasakan, tanpa rasa takut mengecewakan.

 2. Inisiatif belajar dan berkembang di jalur pilihan: Jika berjualan makaroni adalah pilihan saya, saya tidak akan berhenti di situ. Saya akan mencari tahu cara mengembangkan usaha: belajar pemasaran digital, inovasi rasa, atau bahkan mencari mentor pengusaha mikro. Pendidikan tidak hanya di bangku formal, tapi juga melalui inisiatif dan pengalaman.

 3. Rencana masa depan yang realistis dan adaptif: Saya akan membuat target keuangan yang jelas dari jualan makaroni, menabung, dan mungkin mempertimbangkan pendidikan informal yang relevan untuk mengembangkan usaha. Saya akan tetap membuka diri terhadap kemungkinan perubahan dan pengembangan, namun dengan kendali penuh di tangan saya.

 4. Menjaga hubungan baik dengan KDM sebagai mentor: Saya akan tetap menghargai semua kebaikan dan nasihat mereka, namun memposisikan mereka sebagai pendukung, bukan penentu mutlak arah hidup saya.

Jika Saya Orang Tua Ayu: Dukungan Tanpa Syarat

Sebagai orang tua Ayu, ini adalah dilema antara rasa hormat kepada KDM dan kebahagiaan anak. Prioritas utama saya adalah mendukung kebahagiaan dan kemandirian Ayu.

 1. Mendengarkan dan memahami: Saya akan menjadi pendengar terbaik bagi Ayu, memahami mengapa ia memilih jalurnya, dan memberikan dukungan emosional tanpa menghakimi.

 2. Berkomunikasi terbuka dengan KDM: Saya akan menjelaskan dengan hormat bahwa keputusan Ayu adalah pilihan mandiri yang berasal dari hati, dan kami menghargai semua yang telah KDM berikan. Mungkin kami bisa berbagi wawasan tentang karakter Ayu yang unik, yang bisa jadi luput dari pengamatan KDM.

 3. Bimbingan praktis dan kemandirian: Jika berjualan makaroni adalah pilihannya, saya akan membantunya dengan pengetahuan praktis: mencari bahan baku, mengelola keuangan sederhana, atau membantu proses produksi. Saya akan menekankan nilai kerja keras dan kemandirian dalam pilihan hidupnya.

 4. Mendorong pembelajaran berkelanjutan: Saya akan mengingatkan Ayu bahwa belajar tidak pernah berhenti, dan bahwa ada banyak cara untuk tumbuh dan berkembang di luar jalur formal.

Pertarungan Abadi: Motivasi Internal vs. Eksternal

Kasus Ayu Aryanti adalah ilustrasi gamblang tentang kekuatan dominan motivasi internal dalam membentuk perubahan diri. Seperti yang diungkapkan Ellerman (2024), meskipun motivasi eksternal bisa menjadi pemicu atau "tarikan" awal, motivasi internal adalah bahan bakar utama untuk keberlanjutan, komitmen, dan kebahagiaan sejati.

Pada kasus Ayu, limpahan motivasi eksternal dari KDM—berupa uang, fasilitas, dan arahan—mampu memicu perubahan perilaku superficial. Ia menjadi lebih rapi, terawat, dan lebih terbuka. Namun, ketika tiba saatnya mengambil keputusan krusial tentang masa depan, motivasi internal Ayu untuk kembali pada lingkungan yang dikenalnya dan mencari kebahagiaan dalam kesederhanaan, terbukti jauh lebih kuat.

Pertarungan antara keduanya memang sengit. Motivasi eksternal dapat membuka pintu, memberikan kesempatan, atau bahkan mengikis resistensi awal. Namun, tanpa adanya resonansi dengan nilai-nilai, tujuan, atau keinginan terdalam individu, perubahan yang dihasilkan bisa jadi hanya sementara atau dipaksakan. Ayu mungkin "bodoh" di mata kita karena melewatkan kesempatan emas, tetapi bagi dirinya, ia mungkin justru menemukan kebahagiaan dan keaslian yang sejati di jalan yang dipilihnya. Perubahan sejati terjadi bukan karena imbalan, melainkan karena individu menemukan alasan kuat dari dalam diri mereka untuk melakukannya.

 

 

 

Daftar Pustaka

Ellerman, D. (2024). Intrinsic versus extrinsic motivation: Applications across the social sciences. International Journal of Education and Social Science Research (IJESSR), 7(5), 107-125.

 

 

 

 

0 komentar:

Posting Komentar