29.12.24

 

Sosialisasi dalam Upaya Peningkatan Kesadaran Kesehatan Mental Kelompok Dewasa Madya di Wilayah Rejowimagun, Kota Gede, Yogyakarta

Disusun oleh Kelompok 1: Itsnaini Latifatur Rohmah (24310440001); Kanina Hanifadila Rahmawati  (23310410078); Reno Endien Pinasthy (23310410035); Rizka Latifa (23310410058); Mariyatun (23310410074); Nurul Anisa (23310410060); Hidayat (23310410052).

 

Abstrak:

Secara khusus kesehatan mental merupakan suatu kondisi kesehatan yang merujuk pada keadaan mental atau kejiwaan seseorang. Kesehatan mental dapat mempengaruhi berbagai aspek seperti kognisi, sosioemosional, tingkah laku, bahkan kesehatan fisik, serta lainnya. Urgensi penurunan kesehatan mental perlu digalakkan sebab gangguan kesehatan mental sama halnya dengan kesehatan fisik yang dapat berpengaruh pada kesejahteraan individu. Rendahnya laporan gangguan kesehatan mental pada kelompok dewasa madya atau gen X di Yogyakarta dapat disebabkan oleh beberapa hal, seperti resiliensi yang lebih kuat akibat pengalaman di zaman itu dengan perkembangan IPTEK tidak semaju sekarang; atau dapat disebabkan karena kelompok tersebut kurang aware pada kesehatan mental. Oleh sebab itu, kelompok 1 mengadakan sosialisasi pada kelompok dewasa madya di wilayah RT 19/RW 06, Rejowimagun, Kota Gede, Yogyakarta dalam upaya meningkatkan kesadaran kesehatan mental: baik itu gejala penurunan kesehatan mental maupun upaya pencegahan. Gejala yang disinggung antara lain penurunan motivasi dengan terlihat tidak bersemangat, nafsu makan berkurang atau berlebih, pola terganggu, dan rasa cemas atau khawatir yang berlebihan. Hal tersebut dapat mengganggu aktivitas keseharian dan penurunan kesejahteraan seseorang yang mengalami gangguan kesehatan mental. Sementara itu, upaya penanggulangan adalah menyadari gejala baik diri sendiri maupun orang lain, perhatian dengan orang lain, pemberian support, regulasi emosi, dan jika keadaan semakin memburuk dapat mencari bantuan dari orang yang kompeten di bidangnya, seperti psikolog ataupun jika memerlukan obat ke psikiater.

1.     Pendahuluan

Secara khusus kesehatan mental merupakan suatu kondisi kesehatan yang merujuk pada keadaan mental atau kejiwaan seseorang. Kesehatan mental dapat mempengaruhi berbagai aspek seperti kognisi, sosioemosional, tingkah laku, bahkan kesehatan fisik, serta lainnya. Urgensi penurunan kesehatan mental perlu digalakkan sebab gangguan kesehatan mental sama halnya dengan kesehatan fisik yang dapat berpengaruh pada kesejahteraan individu. Gangguan kesehatan mental bukanlah hal tabu. Hanya saja hampir sebagian besar negara berkembang, masalah kesehatan mental belum diprioritaskan apabila dibandingkan dengan kesehatan fisik.

Adanya stigma negatif yang muncul baik dari individu dan dari masyarakat menyebabkan orang yang memiliki gangguan kesehatan mental masih dianggap tabu dan tidak memerlukan penanganan secara komprehensif seperti ketika seseorang mengalami sakit fisik. Pandangan negatif ini menyebabkan ketika seseorang mengalami gangguan mental, maka penderita akan dipasung (dihalangi kebebasannya) dengan cara diisolasi dari masyarakat sekitar karena rasa malu keluarga (Veda, et al., 2023). Salah satu ciri-ciri stigma dari lingkungan keluarga adalah rasa malu jika anggotanya yang terkena gangguan mental terlihat masyarakat sekitar (Soebiantoro, 2017).

Data meningkatnya gangguan kesehatan mental di Daerah Istimewa Yogyakarta dapat menandakan bahwa terdapat peningkatan kesadaran terhadap terganggunya kesehatan mental. Masyarakat Daerah Istimewa Yogyakarta telah mengalami peningkatan kesadaran akan pentingnya mendukung kesehatan mental masyarakatnya. Hal ini tercermin dari berbagai program pemerintah, LSM, dan inisiatif swasta yang bertujuan untuk meningkatkan kesadaran akan pentingnya kesehatan mental dan memberikan akses lebih luas terhadap layanan kesehatan mental (Sikharini, 2024).

Namun, informasi mengenai pentingnya menjaga kesehatan mental masih belum sepenuhnya merata di semua kalangan. Rendahnya laporan kesehatan mental yang dihadapi oleh gen X dapat terjadi karena perbedaan latar belakang dimana mereka tumbuh. Dimana kala itu, kemajuan teknologi belum secanggih sekarang. Fokus mereka lebih kepada kesejahteraan fisik, sehingga ada kemungkinan mereka memiliki resiliensi yang tinggi. Hanya saja, kemungkinan laporan kasus kesehatan mental gen X yang sedikit dapat disebabkan oleh kesadaran mengenai pentingnya menjaga kesehatan mental, terutama kewaspadaan terhadap pertanda kesehatan mental yang menurun belum sepenuhnya disadari. Hal ini didasarkan pada data 2022 silam, menunjukkan gen Z memang menjadi generasi yang paling banyak merasa memiliki masalah kesehatan mental dibandingkan generasi X, dan generasi Milenial. Dibuktikan, sebanyak 59,1% Gen Z yang merasa memiliki masalah kesehatan mental, sementara generasi milenial hanya sebanyak 39,8% dan Gen X 24,1 persen (Sikharini, 2024). Hal ini melatar belakangi kelompok 1 untuk mengadakan sosialisasi dalam upaya meningkatkan kesadaran pentingnya menjaga kesehatan mental kepada dewasa madya di wilayah RT 19/RW 06, Rejowimagun, Kota Gede, Yogyakarta.

 

2.     Metode

    Metode dalam yang digunakan adalah studi pustaka pada jurnal-jurnal yang diperoleh dari google schoolar sebagai bahan dalam penyampaian materi serta penulisan artikel ilmiah berjudul “Sosialisasi dalam Upaya Peningkatan Kesadaran Kesehatan Mental Kelompok Dewasa Madya di Wilayah Rejowimagun, Kota Gede, Yogyakarta”. Sosialisasi diadakan pada hari Sabtu, 28 Desember 2024 pukul 13.00 di Jalan Kebon Raya, No.322, RT 19/RW 06, Rejowimagun, Kota Gede, Yogyakarta.

 

3.     Pembahasan

Kesehatan mental merupakan suatu hal yang harus dijaga oleh setiap individu dalam hidupnya untuk memperoleh kesejahteraan dan juga kualitas hidup yang baik. Hal ini dikarenakan, mental yang sehat pada suatu individu akan memiliki kecenderungan kondisi dimana seseorang memiliki kesejahteraan yang tampak dari dirinya yang mampu mengatasi tekanan hidup normal pada berbagai situasi dalam kehidupan, mampu bekerja secara produktif dan menghasilkan, serta mampu memberikan kontribusi kepada komunitasnya (Setiawan, N. S. & Setiawan, I., 2022). Kesehatan mental dapat terjadi di berbagai rentang usia. Sosialisasi ini diadakan dan disasarkan pada kelompok dewasa madya di RT 19/RW 06, Rejowimagun, Kota Gede, Yogyakarta.

Kesehatan mental merujuk pada kesehatan seluruh aspek dalam perkembangan seseorang, baik secara fisik maupun psikis yang saling terhubung satu sama lain. Kesehatan mental juga meliputi upaya-upaya dalam mengatasi stress, ketidakmampuan dalam menyesuaikan diri, bagaimana dalam berhubungan dengan orang lain, serta berkaitan juga dengan pengambilan keputusan dalam situasi keadaan tertentu (Setiawan, N. S. & Setiawan, I., 2022). Gejala gangguan kesehatan mental dapat berpengaruh pada kognisi dan sosioemosional; diantaranya: dapat mengubah cara seseorang dalam pemrosesan informasi dan pengambilan keputusan dalam menangani stress dan membuat pilihan, berhubungan dengan orang lain, dan akan memicu hasrat untuk menyakiti diri sendiri. Gejala gangguan kesehatan mental beragam, contognya seperti depresi, kecemasan, dan stress sehingga dapat mempengaruhi produktivitas dan kesejahteraan sehingga berpotensi mengurangi kualitas hidup seseorang. Hal ini dapat terjadi karena seseorang cenderung mengalami kesulitan dalam menyesuaikan dirinya dengan kondisi di sekitarnya. Ketidakmampuan seseorang dalam memecahkan sebuah masalah sehingga menimbulkan stress yang berlebih menjadikan kesehatan mental individu tersebut menjadi lebih rentan dan pada akhirnya dinyatakan terkena gangguan kesehatan mental (Setiawan, N. S. & Setiawan, I., 2022).

Foto 1. Dokumentasi Kegiatan Sosialisasi

Acara sosialisasi kesehatan mental terdiri atas beberapa kelompok dewasa madya di wilayah RT 19/RW 06, Rejowimagun, Kota Gede, Yogyakarta. Hal yang ditekankan adalah kesadaran dewasa madya dalam upaya menjaga stabilitas kesehatan mental. Umumnya dewasa madya memiliki pola sosial dan perilaku yang lebih berbeda daripada orang dewasa muda dikarenakan pengetahuan dan pengalaman yang teah dilewati sepanjang kehidupannya. Kelompok dewasa madya umumnya sudah mampu menjalin interaksi dengan baik dengan banyak orang, selain interaksi yang baik dewasa madya juga mampu membangun hubungan yang intim (Samosir, 2021). Menurut Erikson (1989), menjalin hubungan dekat merupakan tantangan besar bagi orang yang memasuki masa dewasa (Samosir, 2021). Namun, terdapat beberapa tantangan yang dapat menyebabkan distress pada kelompok dewasa madya, yakni: stress dan burnout terhadap tuntutan pekerjaan, kecemasan terhadap masa yang akan datang, kesepian dan isolasi diri, dan midlife crisis atau krisis paruh baya, serta lainnya. Midlife crisis atau krisis paruh baya menurut Jacques digambarkan sebagai krisis dalam transisi identitas dan kepercayaan diri dan juga krisis yang muncul karena menyoroti usia kematian yang tak terelakkan dan kekurangan dalam kehidupan pribadi atau tujuan yang belum tercapai dalam hidup sampai saat itu (Boey & Hatta, 2022). Krisis ini dapat ditandai dengan pertanyaan tentang makna hidup, kecemasan akan penuaan, penyesuaian terhadap perubahan fisik dan psikologis, serta evaluasi ulang terhadap pencapaian dan tujuan hidup (Na’imin & Mafiah, 2024). Banyak faktor yang dapat mempengaruhi krisis paruh baya, termasuk perubahan dalam karier, hubungan, dan kesehatan. Selain itu, rasa kesepian dan isolasi rentan terjadi pada usia dewasa madya, di mana anggota keluarga seperti anak mulai melanjutkan hidup di luar dan berpisah dengan orang tuanya. Hal ini dapat memicu distress dan berpotensi menyebabkan penurunan kesehatan mental pada kelompok dewasa madya.

Selain aware pada kesehatan mental diri sendiri, perlu untuk peduli terhadap sesama manusia di lingkungan sekitar. Kelompok dewasa madya hidup tidak jauh dari remaja; bisa jadi anggota keluarganya maupun kerabat ataupun tetangga. Dimana dua kelompok ini merupakan dua fase transisi dalam kehidupan seseorang (Na’imin & Mafiah, 2024). Kesadaran terhadap lingkungan sekitar merupakan salah satu upaya pencegahan. Remaja berada di fase pencarian jati diri, sehingga perlu adanya pembekalan kebebasan untuk mengeksplore diri di tahapan wajar dengan pengawasan yang cukup, serta perhatian juga. Hal ini untuk mencegah para remaja terjerumus ke dalam lingkungan negatif dan merugikan. Misalnya jika di Yogyakarta terdapat fenomena Klitih yang sebagian besar dilatarbelakangi oleh pencarian jati diri. Fenomena klitih ini termasuk ke dalam Juvenile Delinquency atau dapat dikatakan sebagai fenomena yang tercermin pada kenakalan remaja (Hisyam, et al., 2023). Secara luas, Juvenile Delinquency adalah perilaku jahat atau kenakalan anak-anak muda yang merupakan gejala (patologis) secara sosial pada anak-anak muda atau remaja yang dibentuk oleh suatu pengabaian sehingga mengembangkan bentuk perilaku yang menyimpang (Pamungkas, 2018).

Dari fenomena di atas dapat diketahui bahwa gangguan kesehatan mental dapat dirasakan oleh berbagai usia. Gangguan kesehatan mental dapat disebabkan oleh banyak hal. Salah satu yang paling mendasar adalah disebabkan oleh distress yang berkelanjutan atau tidak dapat dikelola dengan baik. Kesadaran dari gangguan kesehatan mental salah satunya adalah mengenali gejala yang ditimbulkan. Gejala-gejala tersebut antara lain, yakni penurunan motivasi dengan terlihat tidak bersemangat, nafsu makan berkurang atau berlebih, pola terganggu, dan rasa cemas atau khawatir yang berlebihan (Ningrum, et al., 2022). Hal tersebut dapat mengganggu aktivitas keseharian dan penurunan kesejahteraan seseorang yang mengalami gangguan kesehatan mental.

Sebagai upaya penanggulangan: selain sadar akan gejala baik diri sendiri maupun pada orang lain, yakni: jika gejala tersebut ada pada orang lain, maka seseorang perlu memberikan dukungan atau jika gejala semakin parah, maka dapat dikonsultasikan pada orang yang kompeten di bidangnya, seperti psikolog ataupun jika memerlukan obat ke psikiater; jika gejala tersebut ada pada diri sendiri, maka perlu adanya regulasi emosi untuk penganggulangan dari distress dan fokus pada penyelesaian. Regulasi emosi berbeda dengan menahan emosi negatif yang ditimbulkan oleh distress; melainkan memproses emosi negatif tersebut dengan cara menerima keadaan dan emosi, menenangkan pikiran, serta berupaya untuk fokus pada penyelesaian. Regulasi emosi terdiri atas: acceptance (menerima situasi yang terjadi), positive refocusing (berpikir tentang pengalaman yang menyenangkan dibandingkan kesulitan yang dihadapi), refocus on planning (memikirkan solusi terbaik berdasarkan masalah yang dihadapi), positive reappraisal (mempertimbangkan aspek positif dari situasi yang dialami), dan putting into perspective (mengurangi fokus pada kejadian yang dialami dan memilih melihat hal lain). Konsep ini mengacu pada pemikiran langkah-langkah mana yang harus diambil untuk menghadapi peristiwa atau memikirkan rencana untuk mengubah situasi. Pada dasarnya. Refocus on Planning strategi koping kognitif yang positif, dengan ketentuan masalahnya benar-benar ditangani (Husnianita & Jannah, 2021). Namun, jika gejala yang ditimbulkan semakin berat dan sulit dikendalikan, maka perlu adanya bantuan dari orang lain serta jika memungkinkan perlu bantuan dari orang yang kompeten di bidangnya, seperti psikolog ataupun jika memerlukan obat ke psikiater.

4.     Kesimpulan

Kesehatan mental bukanlah hal yang tabu karena keadaan mental seseorang dapat mempengaruhi kualitas hidup seseorang. Kesadaran perlu ditingkatkan dan regulasi emosi perlu dibiasakan sebagai upaya penanggulangan dengan memahami gejala yang timbul, baik itu dalam tahapan ringan hingga berat.

 

5.     Daftar Pustaka

Boey, L. H., & Hatta, Z. A. (2022). The Exploration of Social Neuroscience Midlife Crisis in Malaysia. International Journal of Academic Research in Business and Social Sciences, 12(8), 545–557.

Hisyam, et al. (2023). Analisis Pelaku Kenakalan Remaja “Klitih” dalam Perspektif Teori Asosiasi Diferensial Sutherland. Harmoni: Jurnal Ilmu Komunikasi dan Sosial, 1(4).

Husnianita & Jannah. (2021). Perbedaan Regulasi Emosi Di Tinjau Dari Jenis Kelamin Pada Kelas X Sekolah Menengah Atas Boarding School. Character: Jurnal Penelitian Psikologi, 8(5).

Na’imin & Mafiah. (2024). Midlife Crisis Efek Psikologis Jangka Panjang Akibat Fatherless Perspektif Fikih Hadhanah : Studi Kasus di Temanggung. Jurnal MEDIASAS: Media Ilmu Syari’ah dan Ahwal Al-Syakhsiyyah, 7(1), https://journal.staisar.ac.id/index.php/mediasas

Ningrum, et al. (2022). Meningkatkan Kepedulian Terhadap Gangguan Kesehatan Mental Pada Remaja. Communnity Development Journal, 3(2).

Pamungkas, Z. (2018). Fenomena Klitih Sebagai Bentuk Kenakalan Remaja dalam Perspektif Budaya Hukum di Kota Yogyakarta. Skripsi Universitas Islam Indonesia.

Samosir, 2021). Kesehatan Mental Pada Usia Dewasa dan Lansia (Gambaran Hasil Skrining Kesehatan Mental dengan Kuesioner DASS-42). Unpri Press: Medan.

Setiawan, N. S. & Setiawan, I. (2022). Mengenal Pentingnya Kesehatan Mental: Dampak Bunuh Diri dan Gejala Gangguan Kesehatan Mental. Jurnal Mahasiswa BK An-Nur : Berbeda, Bermakna, Mulia, 10(1), https://ojs.uniska-bjm.ac.id/index.php/AN-NUR

 

 

 

0 komentar:

Posting Komentar