TUGAS UAS PSIKOLOGI LINGKUNGAN
Analisis Perilaku Menteri Lingkungan Hidup terhadap Masalah Sampah di Yogyakarta Berdasarkan Persepsi Paul A. Bell
Masalah pengelolaan sampah di Indonesia terus menerus bergulir menjadi tantangan besar yang menantu perhatian serius. Kota Yogyakarta, yang menjadi salah satu destinasi wisata utama, menghadapi permasalahan akut dalam hal pengelolaan sampah. Pada 18 November 2024, Menteri Lingkungan Hidup Hanif Faisol Nurofiq melakukan inspeksi mendadak (sidak) ke TPA Piyungan di Yogyakarta. Sidak tersebut menunjukkan kondisi pengelolaan sampah yang memprihatinkan, dengan tumpukan sampah menggunung, kurangnya teknologi modern, serta lemahnya manajemen pemerintah daerah. Menteri Hanif Faisol Nurofiq meluapkan kemarahannya di hadapan publik, yang menciptakan perdebatan dengan Sri Sultan Hamengkubuwono X.
Kemarahan Menteri Hanif menunjukkan kontradiksi dalam pengelolaan sampah di Indonesia. Di satu sisi, UU RI No. 18/2008 Pasal 12 Ayat 1 menegaskan bahwa setiap individu bertanggung jawab atas pengelolaan sampah rumah tangga secara berwawasan lingkungan. Namun, di sisi lain, banyak masyarakat masih mengandalkan pemerintah untuk menangani limbah rumah tangga, tanpa memilah sampah organik dan anorganik terlebih dahulu. Hal ini memperlihatkan adanya ketidakselarasan antara tanggung jawab individu dan sistem yang diterapkan pemerintah.
Untuk memahami perilaku Menteri Hanif Faisol Nurofiq, skema persepsi dari Paul A. Bell dapat digunakan. Persepsi adalah proses kompleks yang melibatkan input dari lingkungan, interpretasi internal, dan respons yang dihasilkan. Persepsi Menteri terbentuk melalui tiga tahapan utama.
Pertama, input persepsi berasal dari stimulus eksternal, yaitu kondisi tumpukan sampah yang menggunung di TPA Piyungan, serta laporan tentang kurangnya tindakan dari Pemda DIY. Stimulus ini memicu ketidakpuasan karena Menteri memiliki ekspektasi bahwa pemerintah daerah harus sigap menangani masalah sampah sesuai dengan regulasi yang ada. Stimulus lainnya adalah kinerja masyarakat yang belum bertanggung jawab dalam memilah sampah. Menteri menganggap kondisi ini sebagai indikator kegagalan sistem pengelolaan sampah di Yogyakarta.
Tahap kedua adalah proses persepsi, di mana Menteri memusatkan perhatian pada visualisasi tumpukan sampah yang menjadi simbol ketidakmampuan Pemda DIY. Menteri menginterpretasikan situasi ini melalui emosi dan kognisi. Emosi yang dominan adalah rasa marah dan frustrasi karena harapan terhadap pengelolaan sampah yang baik tidak terpenuhi. Dalam tahap kognisi, Menteri membandingkan kondisi di lapangan dengan standar yang telah ditetapkan dalam undang-undang.
Tahap ketiga adalah output persepsi, yaitu respon perilaku Menteri yang berupa luapan emosi dan kritik terbuka kepada Pemda DIY di hadapan publik. Hal ini menciptakan perdebatan di media antara Menteri Hanif Faisol Nurofiq dan Sri Sultan Hamengkubuwono X. Respons ini menyoroti kegagalan koordinasi antara pemerintah pusat dan daerah, serta kurangnya pendekatan kolaboratif dalam menyelesaikan permasalahan sampah.
Untuk mengatasi permasalahan ini, diperlukan solusi berbasis psikologi lingkungan yang melibatkan berbagai aspek. Pertama, edukasi masyarakat harus ditingkatkan melalui kampanye intensif yang mengajarkan pentingnya memilah sampah. Pemerintah dapat mengadakan pelatihan berbasis komunitas, seperti pengolahan sampah organik menjadi kompos, yang melibatkan partisipasi aktif warga. Pendekatan sosial-budaya, seperti lomba kebersihan antar-kelurahan atau gerakan kolektif, juga dapat mendorong perubahan perilaku masyarakat.
Kedua, teknologi pengelolaan sampah perlu ditingkatkan dengan menyediakan fasilitas modern seperti komposter, mesin pencacah, dan sistem incinerator di tingkat lokal. Pengembangan aplikasi digital untuk memantau dan mengelola distribusi sampah dapat membantu meningkatkan efisiensi pengelolaan.
Ketiga, kerja sama pemerintah dan masyarakat harus diperkuat. Pemerintah harus memberikan insentif kepada warga yang aktif memilah sampah atau menjalankan program daur ulang. Selain itu, pemerintah daerah harus lebih transparan dalam alokasi anggaran untuk pengelolaan sampah, sehingga masyarakat dapat melihat hasil nyata dari partisipasi mereka.
Kesimpulannya, perilaku Menteri Hanif Faisol Nurofiq mencerminkan kekecewaan mendalam terhadap pengelolaan sampah di Yogyakarta. Analisis menggunakan skema persepsi Paul A. Bell menunjukkan bahwa perilaku tersebut muncul dari stimulus visual yang memicu interpretasi emosional dan kognitif, yang akhirnya menghasilkan respons marah. Namun, kemarahan ini tidak cukup untuk menyelesaikan masalah. Sinergi antara pemerintah, masyarakat, dan teknologi diperlukan untuk menciptakan sistem pengelolaan sampah yang berkelanjutan. Kita semua memiliki tanggung jawab untuk berkontribusi dalam menjaga kebersihan lingkungan demi masa depan yang lebih baik.

0 komentar:
Posting Komentar