TEORI
ERIK ERIKSON
I R W A N T O
NIM. 163104101125
Pembimbing: Fx.
Wahyu Widiantoro, S. Psi., MA.
Fakultas Psikologi
Universitas Proklamasi 45Yogyakarta
e-mail:
irwanto.syam1983@gmail.com
Erik
Erikson (1902-1994) adalah salah seorang teoritis ternama di bidang
perkembangan rentang-hidup. la dipandang sebagai tokoh utama dalam teori
psikoanalitik kontemporer. Hal ini cukup beralasan, sebab tidak ada tokoh lain
sejak kematian Sigmund Freud yang telah bekerja dengan begitu teliti untuk
menguraikan dan memperluas struktur psikoanalisis yang dibangun oleh Freud
serta merumuskan kembali prinsip-prinsipnya guna memahami dunia modern. Salah
satu sumbangannya yang terbesar dalam psikologi perkembangan adalah psikososial.
Istilah “psikososial” dalam kaitannya dengan perkembangan manusia berarti bahwa
tahap-tahap kehidupan seseorang dari lahir sampai mati dibentuk oleh
pengaruh-pengaruh sosial yang berinteraksi dengan suatu organisme yang menjadi
matang secara fisik dan psikologis (Boeree, C. G.: 2005).
Meskipun
teori perkembangan kepribadian yang dirumuskan Erikson mempunyai kemiripan
dengan teori Freud, namun dalam beberapa hal keduanya berbeda pendapat. Erikson
misalnya, mengatakan bahwa individu berkembang dalam tahap-tahap psikososial,
yang berbeda dengan tahap-tahap psikoseksual Freud. Erikson menekankan
perubahan perkembangan sepanjang siklus kehidupan manusia,sementara Freud
berpendapat bahwa kepribadian dasar individu dibentuk pada lima tahun pertama
kehidupan. Di samping itu, dalam teori psikososial, Erikson
lebih menekankan faktor ego, sementara dalam teori psikoseksual, Freud lebih
mementingkan id (Boeree, C. G: 2005).
Menurut
teori psikososial Erikson, kepribadian terbentuk ketika seseorang melewati
tahap psikososial sepanjang hidupnya. Masing-masing tahap memiliki tugas
perkembangan yang khas, dan mengharuskan individu menghadapi dan menyelesaikan
krisis. Erikson melihat bahwa krisis tersebut sudah ada sejak lahir, tetapi
pada saat-saat tertentu dalam siklus kehidupan, krisis menjadi dominan. Bagi
Erikson, krisis bukanlah suatu bencana, tetapi suatu titik balik peningkatan uulnerabality
(kerentanan) dan potensi. Untuk setiap krisis, selalu ada pemecahan yang
negatif dan positif. Pemecahan yang positif, akan menghasilkan kesehatan jiwa,
sedangkan pemecahan yang negatif akan membentuk penyesuaian diri yang buruk.
Semakin berhasil seseorang mengatasi krisis, akan semakin sehat perkembangannya
(Boeree, C. G: 1997).
Menurut
teori psikososial Erikson, perkembangan manusia dibedakan berdasarkan kualitas
ego dalam delapan tahap perkembangan. Empat tahap pertama terjadi pada masa
bayi dan masa kanak-kanak, tahap kelima pada masa adolesen, dan tiga tahap
terakhir pada masa dewasa dan masa tua. Dari delapan tahap perkembangan
tersebut, Erikson lebih memberikan penekanan pada masa adolesen, karena masa
tersebut merupakan masa peralihan dari masa kanak-kanak ke masa dewasa. Apa
yang terjadi pada masa ini, sangat penting artinya bagi kehidupan dewasa.
Berikut ini akan diuraikan secara singkat kedelapan tahap perkembangan
psikososial Erikson tersebut(Boeree, C. G: 1997).
Tahap
kepercayaan dan ketidakpercayaan (trust
versus mistrust) yaitu tahap psikososial yang terjadi selama tahun-tahun
pertama kehidupan. Pada masa ini, bayi mengalami konflik antara percaya dan
tidak percaya. Rasa percaya menuntut perasaan nyaman secara fisik dan sejumlah
kecil ketakutan serta kekhawatiran akan masa depan. Pada saat itu, hubungan
bayi dengan
ibu menjadi sangat penting. Kalau ibu memberi bayi makan, membuatnya hangat, memeluk dan
mengajaknya bicara, maka bayi tersebut akan memperoleh kesan bahwa
lingkungannya dapat menerima kehadirannya secara hangat dan bersahabat. Inilah
yang menjadi landasan pertama bagi rasa percaya. Sebaliknya, kalau ibu tidak
dapat memenuhi kebutuhan bayi, maka dalam diri bayi akan timbul rasa
ketidakpercayaaan terhadap lingkungannya (Boeree, C. G: 1997) .
Tahap
otonomi dengan rasa malu dan ragu (autonomi
versus shame and doubt), yaitu tahap kedua perkembangan psikososial yang
berlangsung pada akhir masa bayi dan dan masa baru pandai berjalan. Setelah
memperoleh kepercayaan diri dari pengasuh mereka, bayi mulai menemukan bahwa perilaku
mereka adalah milik mereka sendiri. Mereka mulai menyatakan rasa mandiri atau
otonomi mereka. Mereka menyadari kemauan mereka. Pada tahap ini, bila orang tua
selalu memberikan dorongan kepada anak agar dapat berdiri diatas kedua kaki
mereka sendiri, sambil melatih kemampuan-kemampuan mereka, maka anak akan mampu
mengembangkan pengendalian atas otot, dorongan, lingkungan dan diri sendiri
(otonom). Sebaliknya, jika orang tua cenderung menuntut terlalu banyak atau
terlalu membatasi anak untuk menyelidiki anak akan mengalami rasa malu dan
ragu-ragu (Koeswara, E:1991).
Tahap
prakarsa dan rasa bersalah (iniative
versus guilt), yaitu tahap perkembangan psikososial ketiga yang berlangsung
selama tahun-tahun prasekolah. Pada tahap ini anak terlihat sangat aktif, suka
berlari, berkelahi, memanjat-manjat dan suka menantang lingkungannya. Dengan
menggunakan bahasa, fantasi, dan permainan khayalan, dia memperoleh perasaan
harga diri. Bila orangtua bias memahami, menjawab pertanyaan anak, dan menerima
keaktifan anak dalam bermain, maka anak-anak akan belajar untuk mendekati apa
yang diinginkan, dan perasaan inisiatif menjadi kuat. Sebaliknya, bila orang
tua kurang memahami, kurang sabar, suka memberikan hukuman, dan menganggap
bahwa pengajuan pertanyaan, bermain dan kegiatan-kegiatan yang dilakukan anak
tidak bermanfaat, maka anak akan merasa bersalah dan menjadi enggan untuk
mengambil inisiatif untuk mendekati apa yang diinginkannya (Supratik: 1993).
Tahap
kerajinan dan rasa rendah diri (industry versus inferiority), yaitu
tahap perkembangan psikososial keempat yang berlangsung kira-kira pada
tahun-tahun sekolah dasar. Pada tahun ini, anak mulai memasuki dunia yang baru,
yaitu sekolah dengan segala aturan dan tujuan. Anak mulai mengerahkan energy
mereka menuju penguasaan pengetahuan dan keterampilan intelektual. Alat-alat
permainan dan kegiatan bermain berangsur-angsur digantikan oleh perhatian pada
situasi-situasi produktif serta alat-alat yang dipakai untuk bekerja. Akan
tetapi, apabila anak tidak berhasil menguasai keterampilan dan tugas-tugas yang
dipilihnya atau yang diberikan oleh guru-guru dan orang tuanya, maka anak akan
mengembangkan perasaan rendah diri (Alwisol: 2005).
Tahap
identitas dan kekacauan identitas (identity versus identity confusion), yaitu
tahap perkembangan psikososial yang kelima yang berlangsung selama tahun-tahun
masa remaja. Pada tahap merasakan suatu perasaan tentang identitasnya sendiri,
perasaan bahwa ia adalah individu unik yang siap memasuki suatu peran yang
berarti di tengah masyarakat, baik peran yang bersifat menyesuaikan diri maupun
yang bersifat memperbarui. Tetapi, karena peralihan yang sulit dari masa
kanak-kanak ke masa dewasa di satu pihak dan karena kepekaan terhadap perubahan
sosial dan historis lain, maka anak akan mengalami krisis identitas. Bila
krisis ini tidak segera diatasi, maka anak akan mengalami kebingungan peran
atau kekacauan identitas, yang dapat menyebabkan anak merasa terisolasi, cemas,
hampa, dan bimbang (Alwisol: 2005).
Tahap
keintiman dan isolasi (intimacy versus
isolation), yaitu tahap perkembangan psikososial keenam yang dialami
individu selama tahun-tahun awal masa dewasa. Tugas perkembangan individu pada
masa ini adalah membentuk relasi intim dengan orang lain. Menurut Erikson,
keintiman tersebut biasanya menuntut perkembangan seksual yang mengarah pada
hubungan seksual dengan lawan jenis yang dicintai. Bahaya dari tidak
tercapainya keintiman dari tahap ini adalah isolasi, yakni kecenderungan
menghindari berhubungan secara intim dengan orang lain, kecuali dalam lingkup
yang amat terbatas (Boeree CG: 1997).
Tahap
generativitas dan stagnasi (generativity
versus stagnation), yaitu perkembangan psikososial ketujuh yang dialami
individu selama pertengahan masa dewasa. Ciri utama tahap generativitas adalah
perhatian terhadap apa yang dihasilkan (keturunan, produk-produk, ide-ide, dan
sebagainya) serta pembentukan dan penetapan garis-garis pedoman untuk generasi
mendatang. Kepedulian seseorang terhadap pengembangan generasi muda inilah yang
diistilahkan oleh Erikson dengan “generativitas”. Apabila generativitas ini
lemah atau tidak diungkapkan, maka kepribadian akan mundur, mengalami
pemiskinan dan stagnasi (Boeree CG: 1997).
Tahap
integritas
dan keputusasaan (intregity versus
despair), yaitu tahap perkembangan kedelapan yang dialami individu selama
akhir dewasa. Integritas terjadi ketika seseorang pada tahun-tahun terakhir
kehidupannya menoleh ke belakang dan mengevaluasi apa yang telah dilakukan
dalam hidupnya selama ini, menerima dan menyesuaikan diri dengan keberhasilan
dan kegagalan yang dialaminya, merasa aman dan tenteram, serta menikmati hidup
sebagi yang berharga dan layak. Akan tetapi bagi orang tua yang dihantui oleh
perasaan bahwa hidupnya selama ini sama sekali tidak mempunyai makna ataupun
memberikan kepuasan pada dirinya, maka ia akan merasa putus asa (Malcolm Payne: 2005).
Menurut
Erikson ada delapan tahap perkembangan terbentang ketika kita melalui siklus
kehidupan. Masing-masing tahap terdiri dari tugas perkembangan
yang khas dan mengedepankan individu dengan suatu krisis yang harus di hadapi.
Bagi Erikson
krisis ini bukanlah suatu bencana, tetap suatu titik
balik peningkatan kerentanan dan peningkatan potensi. Semakin berhasil individu
menghadapi krisis, akan semakin sehat perkembangan mereka. Berikut adalah
tahapan krisis perkembangan menurut erik Erikson:
1.
Kepercayaan vs ketidakpercayaan 12-18 bulan
Adalah
suatu tahap psikososial pertama yang di alami dalam tahun pertama kehidupan.
Rasa percaya menuntut perasaan nyaman secara fisik dan sejumlah kecil
kekhawatiran akan masa depan. Kepercayaan pada bayi menentukan harapan bahwa
dunia akan menjadi tempat tinggal yang baik dan menyenangkan.
2.
Autonomi vs rasa malu dan ragu (12-18 bulan
hingga 3 tahun)
Adalah
tahap perkembangan kedua yang berlangsung pada masa bayi dan baru mulai
berjalan (1-3 tahun). Setelah memperoleh rasa percaya kepada pengasuh mereka,
bayi mulai menemukan bahwa prilaku mereka adalah atas kehendaknya.
Mereka menyadari kemauan mereka dengan rasa mandiri dan otonomi mereka. Bila
bayi cenderung di batasi maka mereka akan cenderung mengembangkan rasa malu dan
keragu-raguan.
3.
Inisiatif vs rasa bersalah (3-6 tahun)
Merupakan
tahap ketiga yang berlangsung selama tahun-tahun sekolah. Ketika mereka masuk
dunia sekolah mereka lebih ditantang di banding ketika masih bayi. Anak-anak di
harapkan aktif untuk menghadapi tantangan ini dengan rasa tanggung jawab atas
prilaku mereka, mainan mereka, dan hewan peliharaan mereka. Anak-anak
bertanggung jawab meningkatkan prakarsa. Namun, perasaan bersalah dapat muncul,
bila anak tidak di beri kepercayaan dan di buat mereka sangat cemas.
4.
Indistri vs Inverioritas (6 tahun-pubertas)
Berlangsung
selama
tahun-tahun sekolah dasar. tidak ada masalah lain yang lebih antusias dari
pada akhir periode masa awal anak-anak yang penuh imajinasi. Ketika anak-anak
memasuki tahun sekolah dasar, mereka mengarahkan energi mereka pada penguasaan
pengetahuan dan ketrampilan intelektual. Yang berbahaya pada tahap ini adalah
perasaan tidak kompeten dan tidak produktif.
5.
Identitas vs kekacauan identitas (pubertas
dewasa awal)
Adalah
tahap kelima yang di alami individu selama tahun-tahun masa remaja. Pada tahap
ini mereka dihadapkan oleh pencarian siapa mereka, bagaimana mereka nanti, dan
kemana mereka akan menuju masa depannya. Satu dimensi yang penting adalah
penjajakan pilihan-pilihan alternatif terhadap peran penjajakan karir merupakan
hal penting. Orang tua harus mengizinkan anak remaja menjajaki bayak peran dan
berbagai jalan. Jika anak menjajaki berbagai peran dan menemukan peran positif
maka ia akan mencapai identitas yang positif. Jika orang tua menolak identitas
remaja sedangkan remaja tidak mengetahui banyak peran dan juga tidak di
jelaskan tentang jalan masa depan yang positif maka ia akan mengalami kebingungan
identitas.
6.
Imitasi vs Isolasi (dewasa awal)
Tahap
ke enam yang di alami pada masa-masa dewasa. Pada masa ini individu di hadapi
tugas perkembangan pembentukan relasi intim dengan orang lain, keintiman akan
di capai, kalau tidak, isolasi akan terjadi.
7.
Produksivitas vs Stagnasi (dewasa tengah)
Tahap
ketujuh perkembangan yang di alami pada masa pertengahan dewasa. Persoalan
pertama adalah membantu generasi muda mengembangkan dan mengarahkan kehidupan
yang berguna (generality). Perasaan
belum melakukan sesuatu untuk menolong generasi berikutnya adalah
stagnation.
8.
Integritas evo vs putus asa (dewasa akhir)
Tahap kedelapan yang di alami pada masa
dewasa akhir. Pada tahun terakhir kehidupan lalu maka integritas tercapai.
Sebaliknya, jika ia menganggap selama kehidupan lalu dengan cara negative
maka akan cenderung merasa bersalah dan kecewa.
DAFTAR PUSTAKA
Gabbard, G.O, 2004, Long Term
Psychodynamic Psychotherapy a Basic Text, London, American
University Press.
Sabur, Alex,
2003, Psikologi Umum, Bandung, Pustaka
Setia.
Rahayu, Siti, 2006, Psikologi
Perkembangan dalam Berbagai Bagiannya, Yogyakarta, UGM
Press.
Alwisol, 2005, Psikologi
Kepribadian, Malang, Penerbit
Universitas Muhammadiyah Malang.
Semiun, Yustinus, 2006, Teori Kepribadian & Terapi Psikoanalitik Freud,
Yogyakarta,
Kanisius.
Sumadi
Suryabrata, 2005, Psikologi
Kepribadian,
Jakarta, CV.
Rajawali.
Koeswara, E, 1991, Teori-teori Kepribadian, Bandung, Eresco.
Bischof, Ledford
J,
1970, Interprening
Personality Theories, Harper and Row Publisher, 2nd
Edition, New York.
Jaali, H, 2008, Psikologi
Pendidikan. Bumi Aksara, Jakarta.
Rahayu, Siti, dkk. 2006, Psikologi Perkembangan dalam Berbagai Bagiannya, Yogyakarta, UGM
Press
Koeswara, E, 1991,
Teori-teori Kepribadian, Bandung, PT. Eresco.
Masrun, 1977, Aliran-aliran Psikologi,
Yogyakarta, Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada.
Berry, Ruth, 2001, Freud: Seri
Siapa Dia, Jakarta,
Erlangga.
Boeree,
C.G, 2005, Sejarah
Psikolog, Dari Masa
Kelahiran Sampai Masa Modern (Alih Bahasa: Abdul Qodir
Shaleh), Yogyakarta, Primasophie.
Boeree,
C. G, 1997, Personality
Theories, Melacak
Kepribadian Anda Bersama Psikolog Dunia, (Alih
bahasa, Inyiak Ridwan Muzir), Yogyakarta, Primasonhie.
Koeswara,
E, 1991, Teori-teori Kepribadian, Bandung, Eresco.
Supratik, 1993, Teori-teori Psikodinamik
(Klinis), Yogyakarta, Kanisius.
Alwisol, 2005, Psikologi Kepribadia, Malang, Penerbit Universitas
Muhammadyah Malang.
Payne,
Malcolm, 2005, Modern Social Work Theory, Edisi
Ketiga, New York, Palgrave Macmillan.
Rahayu, Siti,
dkk, 2006, Psikologi
Perkembangan dalam Berbagai Bagiannya, Yogyakarta,
UGM Press.
Bimo Walgito,
2010, pengantar psikologi umum, Andi,
Yogyakarta.
Neil J. Salkin,
2009, Teori-Teori Perkembangan Manusia, Bandung, Nusa
Media.
Calvin s. Hall
dan Garden Lindzey, 1993, Teori-Teori
Psikodinasmika (klinis),Yogyakarta, Kanisius
0 komentar:
Posting Komentar