Sosial Kultural, Psikologi Islam dan Inteligensi
Psikologi
I R W A N T O
NIM. 163104101125
Pembimbing: Fx. Wahyu Widiantoro, S. Psi., MA.
Fakultas Psikologi Universitas Proklamasi 45Yogyakarta
e-mail:
irwanto.syam1983@gmail.com
Latar Belakang
Sejumlah peristiwa penting dalam kehiduan
Psikologi manusia banyak di abaikan bahkan dilupakan. Dimensi moralitas dan
spiritualitas yang seharsnya menadi bagian yang tak terisahkan dari kehidupan
psikologi manusia seakanakan menadi wacana yang asing dalam perkembangan
Psikologi. Fenomena ini membutuhkan alternatif baru guna mengembalikan
eksistensi psikologi yang sebenarnya. Salah satu solusi yang dianggap
signifikan adalah dengan menghadirkan psikologi yang bernuansa agama. Kehadiran
Psikologi Islam di satu sisi merakan reaksi positif bagi serangkaian upaya
pengembangan Psikologi. Dalam rentan sejarah perkembangan psikologi terdapat
beberapa aliran yang memiliki spesifikasi orientasi sendiri-sendiri. Di saat
pengetahuan puncaknya di zaman yunani kuno pengembangan Psikologi lahir di
orientasikan ada aspek ontologis
seperti mempelajari hakikat jiwa dan eksistensinya bagi kehidupan manusia. Psikologi identik dengan manusia, maka dari itu
dalam Psikologi Islam manusia sebagai subjek yang berhubungan dengan alam sebagai
objek dan di antara keduanya ada keterkaitan dengan Yang Maha Subjek dan Yang
Maha Objek yaitu Tuhan, Allah SWT.
Demikian pula Intelegensi merupakan salah
satu konsep yang dipelajari dalam psikologi. Pada hakikatnya, semua orang sudah
merasa memahami makna intelegensi. Sebagian orang berpendapat bahwa intelegensi
merupakan hal yang sangat penting dalam berbagai aspek kehidupan. Intelegensi
erat kaitannya dengan kehidupan manusia. Banyak problem – problem manusia yang
berhubungan dengan intelegensi. Dalam dunia pendidikan pun, intelegensi
merupakan hal yang sangat berkaitan. Seolah – olah intelegensi merupakan
penentu keberhasilan untuk mencapai segala sesuatu yang diinginkan, dan
merupakan suatu penentu keberhasilan dalam semua bidang kehidupan.
Adapun dalam pembahasan psikologi
Sosiokultural ini lahir setelah dipengaruhi oleh pemikiran Edward Alsworth Ross (1908), ia melihat bahwa perilaku sosial itu tidak dilihat dari sudut
individualnya, melainkan lebih mendalam ke dalam kelompok sosial.
Ia menyatakan bahwa seseorang
bertindak selalu dalam social current (kekinian sosial). Oleh karena itu dapat
menyebabkan meluasnya emosi dalam suatu kerumunan (crowd)
ataupun kegilaan (craze) pada seseorang. Ia melihat
"kegilaan" tersebut dari unsur psyche, kelompok sebagai keseluruhan daripada individual
anggota kelompok. Ia memandang kegilaan dan fads
sebagai produk dari jiwa mod (a mob
mind) yang
menyebabkan interes irasional, dan hilangnya perasaan maupun opini individual
yang di akibatkan oleh adanya sugesti dan imitasi.
Untuk memudahkan dalam memahami terkait
tiga pembicaraan di atas (psikologi Islam, Intelegensi psikologi dan
sosiokultural), maka dalam makalah ini akan meninjau dari sudut sejarah
pemikiran, tokoh-tokoh penting, konsep manusia ditinjau dari sudut pandang
psikologi Islam, Intelegensi Psikologi dan sosiokultural serta relevansi ketiga
pembahasan tersebut terhadap Islam.
Rumusan Masalah
1.
Bagaimana
sejarah perkembangan penelitian sosial cultural, psikologi Islam dan
inteligensi psikologi?
2.
Bagaimana
tokoh-tokoh penting dalam pemikiran sosial cultural, psikologi Islam dan
inteligensi psikologi?
3.
Bagaimana
penelitian actual tentang sosial cultural, psikologi Islam dan inteligensi
psikologi?
4.
Bagaimana
konsep manusia dalam sosial cultural, psikologi Islam dan inteligensi
psikologi?
5.
Bagaimana
relevansi dengan konsep Islam tentang sosial cultural, psikologi Islam dan
inteligensi psikologi?
Tujuan
1.
Untuk
mengetahui sejarah perkembangan penelitian sosial cultural, psikologi Islam dan
inteligensi psikologi
2.
Untuk
mengetahui tokoh-tokoh penting dalam pemikiran sosial cultural, psikologi Islam
dan inteligensi psikologi
3.
Untuk
mengetahui penelitian actual tentang sosial cultural, psikologi Islam dan
inteligensi psikologi
4.
Untuk
mengetahui konsep manusia dalam sosial cultural, psikologi Islam dan
inteligensi psikologi
5.
Untuk
mengetahui relevansi dengan konsep Islam tentang sosial cultural, psikologi Islam
dan inteligensi psikologi
PEMBAHASAN
Sejarah
Perkembangan Penelitian
1. Sosial Kultural
Selama beberapa dekade,
para psikologi sosial telah mengasumsikan bahwa semua sikap dipelajari,
diperoleh sari kelompok dimana seseorang berasal, merupakan pelajaran yang
diberikan oleh orang tua dan pengalaman yang dimiliki oleh seseorang, serta
mencerminkan keadaan ekonomi, pengaruh sosial dan lingkungan lainya (Wade & Tavris,
2007).
Berdasarkan hal tersebut dapat di simpulkan bahwa pengaruh lingkungan terhadap
perubahan seseorang sangat berdampak besar.
Penerapan Psikologi
budaya pada penelitian kepribadian secara jelas di ilustrasikan oleh penelitian
tentang konsep diri pada budaya Amerika dan Jepang yang dilakukan oleh Shinobu
Kitayama dan Hazel Markus. Gagasan inti dalam penelitian ini adalah kemungkinan
terdapat variasi dari budaya ke budaya dalam konsep implicit pada diri
seseorang. Kepercayaan orang mengenai apa yang akan menjadi sebuah “diri” atau
suatu pribadi bisa jadi tidak sama pada setiap tempat dalam dunia. perbedaan
budaya bisa menampilkan sebuah kepercayaan mengenai hak, tugas,
kemungkinan-kemungkinan, dan karakteristik inti yang berhubungan dengan
sekelompok orang (Pervin, 2012) .
Penelitian mengemukakan
bahwa individu dalam budaya asia lebih memungkinkan untuk memiliki pandangan
saling tergantung mengenai diri dari pada orang-orang dalam budaya barat yang
menyoroti kesalingtergantungan antara anggota-anggota dari sebuah komunitas,
sama halnya dengan kewajiban individual terhadap keluarga dan masyarakat. Dalam
budaya yang saling terkait , perilaku tidak dijelaskan berkenaan dengan sifat mental yang otonomi yang terletak dalam pikiran orang-orang.
Malahan, orang-orang menjelaskan perilaku berkenaan dengan jaringan dari
kewajiban sosial. missal, Ekspresi orang mengenai perilaku “berhati-hati”
mungkin dapat dijelaskan berkenaan dengan kewajiban sosial yang memaksa orang-orang untuk bertindak
dengan hati-hati, dari pada mengatakan bahwa orang tersebut memiliki sifat
berhati-hati (Pervin, 2012).
2. Psikologi Islam
Sejak pertengahan abad XIX,
yang didakwahkan sebagai abad kelahiran psikologi kontenporer di dunia Barat (Abdul Mujib,
2002). Pada awalnya, kekhususan ilmu ini merupakan
bagian dari kekhususan ilmu filsafat di fakultas sastra. Kurikulumnya disusun
berdasarkan kurikulum yang ada di universitas yang ada di Eropa walaupun masih
miskin dalam pandangan-pandangan yang beredar luas di Barat. Negara Barat
mendirikan tempat pendidikan bilateral dan memusatkan pengajaran keagamaan pada
tempatnya yang khusus (Taufiq, 2006). Dari sini mulailah ada
ketimpangan dari dua bidang keilmuan; yakni ilmu-ilmu Islami yang berlandaskan
pengetahuan agama dan ilmu-ilmu Umum yang berlandaskan pengetahuan umum dan
sosial, termasuk didalamnya ilmu psikologi.
Dr. Fuad Abu Hatab (Taufiq, 2006) menyimpulkan bahwa hubungan
yang ada antara Barat dan dunia ketiga dari segi studi kejiwaan (yang lalu
penulis ringkas lagi) adalah sebagai berikut.
1. Hubungan ekspor impor yang
selalu ada dalam satu sisi.
2. Kepercayaan penuh pa da Barat
(teoretis, model, konsep, perumusan masalah dan juga hipotesisnya).
3. Putusnya hubungan dengan kitab
pendidikan klasik dan menganggap bahwa ilmu-ilmu kuno sangat bergantung kepada
ilmu baru.
4. Menyebar luasnya bid'ah
kebudayaan dalam ilmu pengetahuan (banyak kitab klasik Barat yang diekspor ke
negara Arab tidak sesuai dengan kebutuhan yang ada).
5. Terhentinya pemikiran-pemikiran
baru dan terjadinya perulangan topik penelitian pada tesis magister dan
disertasi doktoral, khususnya dalam penelitian terhadap pernyataan ilmuwan
Barat atas permasalahan umum yang terjadi di negara-negara berkembang, seperti
banyaknya gugatan, pemalsuan dan juga pencurian.
6. Keterasingan dan hilangnya
semangat untuk mengembangkan suatu keilmuan psikologi.
7. Hilangnya semangat berprofesi
(karena harus bergabung dengan ahli psikologi, ahli sosiologi dan juga psikiater),
sedang di lain sisi, ilmu psikologi yang dipelajari mahasiswa tidak mumpuni
untuk bisa diaplikasikan dalam lingkungan sekitar.
Semua faktor di ataslah yang
menjadi penyebab adanya krisis ilmu psikologi di lingkungan Arab dan Islam. Dr
Fu'ad Abu Hatab (Taufiq, 2006) berpendapat, ”Konsep psikologi (di lingkungan Arab dan
Islam) harus dibentuk sendiri oleh para psikolog muslim. Konsep yang ditelurkan
oleh psikolog barat tidak akan sesuai dengan kebutuhan dan tujuan yang ada di
lingkungan Arab dan Islam. Yang bisa menyesuaikannya hanyalah apabila psikolog
muslim berkolaborasi dalam membentuknya".
3. Intelegensi Psikologi
S.C. Utami Munandar , Secara umum, inteligensi dapat
dirumuskan sebagai berikut:
a.
kemampuan
untuk berpikir abstrak;
b.
kemampuan
untuk menangkap hubungan-hubungan dan untu belajar.
c.
kemampuan
untuk menyesuaikan diri terhadap situasi-situasi baru.
Perumusan pertama
melihat inteligensi sebagai kemampuan berpikir; perumusan kedua sebagai
kemampuan untuk belajar; dan perumusan ketiga sebagai kemampuan untuk
menyesuaikan diri. Sekalipun menunjukkan aspek-aspek yang berbeda dari
inteligensi, ketiga aspek tersebut saling berkaitan.
Spearman dan Wynn Jones (Saifuddin
Azwar, 2017) mengemukakan adanya suatu konsepsi lama mengenai
suatu kekuatan (power) yang dapat melengkapi akal fikiran manusia dengan
gagasan abstrak yang universal, untuk dijadikan sumber tunggal pengetahuan
sejati. Kekuatan demikian dalam bahasa Yunani disebut nous, sedangkan penggunaan
kekuatan termaksud disebut noesis. Kemudian kedua istilah tersebut dalam bahasa
Latin dikenal sebagai intellectus dan intelligentia. Pada gilirannya, dalam
bahasa Inggris masing-masing diterjemahkan sebagai intellect dan intelligence.
Ternyata, transisi bahasa tersebut membawa pula perubahan makna.
Kalau kita melihat
kebelakang ke awal perkembangan teori mengenai intelegensi hampir seabad yang
lalu, dapat kita lihat bahwa kemampuan mental umum pernah erat dikaitkan pada
faktor-faktor yang lebih bersifat fisikal. khususnya faktor pengindraan
(sensasi) dan faktor pesepsi. Sebagai contoh James McKeen Cattel, yang
mengebangkan suatu bentuk skala pengukuran intelegensi yang banyak mengukur
kemampuan fisik atau seperti galton yang merupakan faham berciri psikofisik
dalam bidang intelegensi. (Dr. Saifuddin Azwar, 2017).
Tokoh-Tokoh
Penting Dalam Pemikiran
1. Sosial Kutural
a.
Adler
Adler memberi tekanan kepada
pentingnya sifat khas (unik) kepribadian, yaitu indifidualitas, kebulatan serta
sifat-sifat pribadi manusia. Menurut Adler tiap orang adalah suatu konfigurasi,
motif-motif, sifat-sifat, serta nilai-nilaiyang khas; tiap tondakan yang dilakukan
oleh seseorang membawakan corak khas gaya kehidupannya yang bersifat
indifidual. (Suryabrata,
2015). Alder menyebut teorinya psikologi individual
(Individual Psychology) karena ia sangat percaya pada motivasi unik yang
dimiliki oleh tiap individu dan pada individu tempat yang dipersiapkan
masing-masing individu dalam masyarakat. Seperti juga Adler dengan tegas
menyatakan pentingnya aspek teologi berorentasi pada tujuan, pada manusia.
Perbedaan utama lain juga berhubungan dengan filosofinya adalah bahwa Adler,
yang lebih peduli dengan kondisi sosial dibidang sosial dibanding Freud,
melihat pentingnya tindakan preventif untuk mencegahterjadinya gangguan
kepribadian (Schustack,
2008).
b.
Erikson
Bagi Erikson, penting sekali
mengakui perkembangan kepribadian muncul dari sebuah setingan budaya. Erikson
menekankan kesesuaian antara indifidu dan buyayanya. Faktanya ditaraf yang
lebih besar, kerja budaya adalah menyediakan cara-cara yang efektif untuk
memenuhi kebutuhan biologis dan psikologis manusia. Menurut Erikson pengalaman
eksternal dan internal manusia mestinya sama, minimal dibeberapa tarafnya jika
seorang indifidu berkembang dan berfungsi normal di budaya masing-masing.
Erikson (1985) menyatakan “setiap tahap dan krisis yang berurutan ini memiliki
relasi yang kusus dengan salah satu elemen dasar masyarakat, dan karena dengan
alasan yang sederhana inilah siklus hidup manusia seiring komponen-komponen
kepribadiannya mulai berkembang” (Hergenhanh, 2013). Erikson tidak hanya
memfokuskan perhatianya pada rentang hidup, namun ia juga menekankan pentingnya
masyarakat. Ia mempelajari kebudayaan, sejarah dan antropologi (Schustack,
2008).
c.
Karen
Horney
Menurut Horney akar-akar perilaku neurotik
ditemukan di dalam hubungan orang tua dan anak-anak. Jika anak mengalami cinta
dan kehangatan dia akan merasa aman dan berpotensi untuk berkembang normal.
Faktanya, Honey memang yakin jika seorang anak bisa mendapatkan kasih sayang
yang tulus, dia akan bisa bertahan dari berbagai pengalaman negatif tanpa
menimbulkan efek-efek yang negatif. (Hergenhanh, 2013) menurut Horney, setiap manusia
dilahirkan dengan diri rill yang sehat, yang kondusif bagi pertumbuhan
kepribadian secara normal. Jika mansuia hidup sesuai ridi riilnya, ia sedang
berada di jalan menuju realisasi-diri, yang artinya mereka akan mewudkan
potensi sepenuhnya dan hidup harmonis dengan sesama.
2. Psikologi Islam
1) Al-kindi
Menurut al-kindi, jiwa tidak
tersusun, mempunyai arti penting, sempurna, dan mulia. Selain itu jiwa bersifat
spiritual, ilahiah, terpisah dan berbeda dari tubuh. Sedangkan jisim mempunyai
sifat nafsu dan pemarah. Al-kindi memuat perbandingan tentang keadaan jiwa.
Jika kemuliaan jiwa diingkari dan tertarik pada kesenangan (Shaleh, 2009).
2) Ibnu Bajjah
Menurut Ibnu Bajjah, (Shaleh,
2009) memulai pembahasan mengenai jiwa dengan definisi jiwa dan menyatakan
bahwa tubuh, baik yang alamiah maupun tidak, tersusun dari materi dan bentuk.
Bentuk merupakan perolehan permanen adalah kenyataan tubuh. Kenyataan itu
bermacam-mac am ia memiliki segala yang bereksistensi melaksanakan fungsi
mereka tanpa harus digerakkan atau segala yang bergerak adalah aktif bila
mereka diaktifkan. Tubuh jenis kédua ini terdiri atas penggerak dan digerakkan.
Sedangkan tubuh yang tidak alamlah memiliki penggerak luar. Bentuk yang membuat
nyata sebuah tubuh alamiah disebut jiwa. Oleh karena itu, jiwa dianggap sebagai
pernyataan pertama dalam tubuh alamiah yang teratur, yang bersifat nutritif,
sensitif, dan imajinatif. Unsur yang nutritif yang bertindak berdasarkan
makanan akan membuat menjadi bagian dari tubuh. Unsur itu adalah yang mengubah
sesuatu spesies. potensial menjadi suatu spesies aktual kalau diubah oleh
sesuatu yang lain. Oleh karena itu, ia memerlukan sesuatu penggerak untuk
mengubahnya. Penggerak itu adalah yang merasa sedangkan yang digerakkan ialah
organ rasa.
3) Al-Ghazali
Tipologi kualitas-kualitas insani menurut
Al-Ghazali (Sapury, 2017): Pengelolahan dimensi jiwa,
terdiri atas; Dimensi ragawi (memiliki gerak monoton), dimensi nabati (memiliki
gerak variatif), dimensi hewabi (memiliki motif dan persepsi), dimensi insani
(memiliki kesadaran diri). Kemudian pengelompokan nafsu manusia terdiri atas;
(1) nafsu amarah (Al-Nafs ammaraah bial’suu) mengumbar dan tunduk sepenuhnya
terhadap hasrat-hasrat rendah (QS Yusuf:53). (2) Nafsu Lawamah (al-nafs al
lawwaamah), dalam diri telah berkembang keinginan berbuat baik dan menyesal
bilah berbuat kesalahan (QS Al-Qiyamah:21). (3) nafsu mutmainah jiwa yang suci,
lembut, dan tenang yang diundang-Nya dengan penuh keridhaan keddalam surga-Nya
( QS Al-Fajr:27).
3. Intelegensi Psikologi
a.
Howard
Gardner
Gardner merumuskan teori Intelegensi Ganda
(Multiple Intellegence) yang di dorong oleh pendapatnya bahwa pandangan
dari sis psikometri dan kognitif saja terlalu sempit untuk menggambarkan konsep
inteligensi. pendekatan Gardner sangat beorientasi pada struktur intelegensi (Dr. Saifuddin
Azwar, 2017)
Tujuh macam inteligensi yang telah berhasil di
identifikasi oleh gardner yaitu Inteligensi Linguistik, Inteligensi
Matematis-Logis, Inteligensi Spasial, Inteligensi Musik, Inteligensi Kelicahan
Tubuh, Inteligensi Interpersonal dan Inteligensi intrapersonal. (Dr. Saifuddin
Azwar, 2017).
Dari hal tersebut gardner merupaka tokoh yang banyak memilah-milah kecerdasan
yang ada pada diri manusia.
b.
Alfred
Binet
Salah sau tokoh yang menyatakan bahwa
inteligensi bersifat monogenetik, yaitu berkembang dari satu faktor satuan atau
faktor umum. Menurutnya Intelegensi merupakan sisi tunggal dari karakteristik
yang terus berkembang sejalan dengan proes kematangan seseorang. Binet
menggambarkan inteligensi sebagai sesuatu yang fungsional sehingga memungkinkan
orang lain untuk mengamati dan menilai tingkat perkembangan individu berdasar
kriteria tertentu (Dr. Saifuddin Azwar, 2017).
Alfred Binet dikenal sebagai
pelopor dalam menyusun tes inteligensi, mukakan pendapatnya (Effendi dan Praja,
1993) bahwa Inteligensi mempunyai tiga aspek kemampuan, yaitu:
1) Direction, kemampuan untuk
memusatkan pada suatu masalah yang harus di. pecahkan;
2) Adaptation, kemampuan untuk
mengadakan adaptasi terhadap masalah yang dihadapinya atau fleksibel dalam
menghadapi masalah;
3) Criticism, kemampuan untuk
mengadakan kritik, baik terhadap masalah yang dihadapi maupun terhadap dirinya
sendiri.
c.
Edward
Lee Thorndike
Thorndike, bapak psikologi pendidikan yang
juga tokoh aliran yang juga tokoh aliran psikologi fungsianalisme. Pada
dasarnya teori thorndike menyatakan bahwa intelligensi terdiri atas kemampuan
yang spesifik yang ditampakkan dalam wujud perilaku inteligen. Oleh karena itu,
teorinya dikategorikan ke dalam kar=tegori intelegensi faktor ganda (Dr. Saifuddin
Azwar, 2017).
Sebagai seorang tokoh psikologi koneksionisme, Thorndike mengemukakan bahwa:
“Intelligence
is demonstrable in ability of the individual to make good responses from the
stand point of truth or fact” (Inteligensi adalah kemampuan individu untuk
memberikan respons yang tepat (baik) terhadap stimulasi yang diterimanya).
Penelitian
Aktual
1. Sosial Kultural
Dalam sosial cultural
Karen Horney sangat erat denga teori kecemasannya, teori ini melahirkan suatu
penelitian yang berjudul Memadukan
praktek dukungan prilaku positif terbaik dan psikologi klinis untuk anak autis
dan masalah prilaku dalam kecemasan :
sebuah studi klinis. yang mana dalam penelitiaan ini secara efektif membutuhkan
campur tangan berbagai komponen terhadap anak autis dalam masalah perilaku
dalam kecemasan yang mana dukungan keluarga tidak jauh lebih penting dalam
masalah ini. (Vanessa Neufeld, Exposure
Theraphy for anxiety, 2014)
Begitu pula peran orang tua dalam sosial
budaya sangat kuat dan penting, karena seperti yang suudah di jelaskan di atas
bahwa orang tua mempunyai peran penting untuk keluarga khususnya dalam masalah
sosial budaya yang ada di lingkungan sekitar. jika orang tua salah dalam
memperhatikan anak maka akan berdampak buruk terhadap sosial anak, seperti
penelitian yang telah di lakukan tentang “Pengaruh Penggunaan Media Sosial dan Gaya Pengasuhan Orang Tua Terhadap Motivasi Belajar dan Prestasi Belajar Remaja” dalam
penelitian ini menghasilkan Hasil
penelitian menunjukkan penggunaan media sosial remaja di kota lebih tinggi
dibandingkan dengan remaja di desa. Sebagian besar orangtua remaja di kedua
wilayah menerapkan gaya pengasuhan otoritatif. Motivasi akademik instrinsik
dipengaruhi oleh gaya pengasuhan otoritatif dan permisif, serta durasi
penggunaan media sosial. Motivasi akademik ekstrinsik dipengaruhi oleh gaya
pengasuhan otoritatif dan otoritariter, serta durasi penggunaan media sosial.
Remaja di perkotaan mencapai prestasi akademik yang lebih baik dibandingkan remaja
di pedesaan, begitu pula dengan prestasi akademik remaja perempuan lebih baik
dibandingkan remaja laki-laki. Sementara itu, gaya pengasuhan otoriter terbukti
menurunkan prestasi akademik remaja (Yuliati, 2016).
Dalam
sebuah penelitian juga menunjukkan bahwa ada perbedaan antara bi-etnis
dengan demografi seperti pemnelitian yang telah dilakukan yaitu tentang Keragaman
antara siswa Bi-etnis dan perbedaan dalam hasil pendidikan dan fungsi
sosial yang menghasilkan bahwa
siswa bi-etnis berbeda secara demografis, sosial dan budaya dengan cara yang
bergantung pada latar belakang etnis dan jenis kelamin orang tua migran. Kami
juga menemukan bahwa latar belakang etnis dan jenis kelamin orang tua migran
terkait dengan hasil kognitif, fungsi sosial-emosional dan kompetensi
kewarganegaraan. Saat mencoba memahami dan mendukung siswa bi-etnik, kita harus
mempertimbangkan keragaman di antara mereka. (Merlijn, 2017)
2. Psikologi Islam
Penelitian-penelitian tentang psikologi
islam ini juga banyak ditemukan dalam dunia islam itu sendiri, seperti halnya
kasus psikoterapi dalam mengatasi tingkat kecemasan dan depresi yang dialami
orang yang mengalami HIV/AIDS. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui
efktifitas psikoterapi sufistik dalam mengatasi kecemasan dan depresi yang
dialami oleh ODHA. Sebuah gangguan psikologis yang khas dan umumnya hanya
dialami oleh para pasien yang divonis dengan "terminal ill"
seperti ODHA (orang dengan HIV/AIDS) dengan gangguan kecemasan menghadapi
kematian, mudah tersinggung, marah-marah, perasaan bersalah, keinginan untuk
bunuh diri serta pikiran-pikiran negatif terhadap dirinya seprti merasa diri
hina, kotor, tidak berguna dan sebagainya. Psikoterapi sufistik bersumber pada
hasil interpretasi olah pikir dan olah rasa para sufi dalam pengembaraan
spiritualnya menuju kedekatan dengan Sang Khalik, dengan mengembangkan
potensi-potensi keTuhanan (Asma-asmaNya) didalam diri mereka.
Sebagaimana yang telah disebutkan
diatas, bahwa tujuan utamanya adalah penyucian jiwa untuk mengenal diri sebagai
syarat untuk mengetahui Sang Khalilk, dengan pengenalan dan pemahaman tentang
diri inilah, subyek (ODHA) dituntut untuk mengetahui jati diri serta menggali
potensi-potensi ruhaniyah yang sempat terabaikan sebagai upaya untuk menggapai
kehidupan yang bermakna. Sehingga berbagai macam keluhan yang diakibatkan oleh
kecemasan dan depresi yang berhubungan dengan perasaan hampa, perasaan
bersalah, kesedihan maupun kecemasan menghadapi kematian dapat diatasi.
Sehingga dapat memulihkan kembali sistem imunitas dengan menyeimbangkan sistem
hormonal dalam tubuh dengan potensi-potensi positif dalam diri ODHA, berupa
energi laten sebagai antibodi "cadangan"yang dapat membantu mereka untuk
menyembuhkan diri (healing self).
Dari hasil penelitian yang dilakukan
menunjukkan bahwa psikoterapi sufistik sangat efektif dalam mengatasi tingkat
kecemasan dan depresi pada dua orang ODHA yang menjadi sampel, bahkan terbukti
meningkatkan sistem kekebalan tubuh mereka. (Asyar, 2012).
3. Intelegensi Psikologi
Sementara terkait dengan kecerdasan yang mencakup sejumlah kemampuan, seperti kemampuan menalar,
merencanakan, memecahkan masalah, berpikir abstrak, memahami gagasan, menggunakan
bahasa, dan belajar pun tidak luput dari sorotan dunia reasch. Banyak hal yang
menarik untuk diteliti terkait dengan kecerdasan seseorang. Salah satunya
adalah efek berat badan terhadap kinerja atau fungsi otak. Dalam penelitian
yang berjudul “Caloric Restriction in Older Adult – Differential Effect of
Weight Loss and Reduced Weight on Brain Strukture and Function” dengan
subjek wanita obesitas pascamenoupouse mengemukakan bahwa adanya pengaruh kalori yang dikonsumsi pada struktur dan fungsi otak disebabkan oleh penurunan
berat badan dan bukan penurunan berat keseluruhan.
Hasil peningkatan fungsi
kognitif dan kinerja memori yang lebih baik secara langsung setelah CR atau Caloric Restriction (di ranah: kemampuan
belajar, memori pengenalan, dan recall tertunda). Hal ini juga sesuai dengan temuan sebelumnya yang dilakukan oleh Witte pada tahun 2009 bahwa CR dapat meningkatkan
memori pengenal bagi
orang yang mengalami kelebihan berat badan dan obesitas subjek yang lebih
tua. Peningkatan mekanisme kemacetan
potensial glukosemetabolisme, yang ditunjukkan dengan pengurangan konsentrasi
glukosa dalam menanggapi intervensi. Hasil ini konsisten dengan penelitian
sebelumnya oleh Kerti
L, Witte AV, Winkler A, Grittner U, Rujescu D, Floel A. pada tahun 2013 dengan
judul Higher glucose levels associated with lower memory and reduced
hippocampal microstructure yang menunjukkan bahwa kadar glukosa yang meningkat
secara kronis merupakan faktor risiko penurunan kognitif dan demensia.
Selain peningkatan kinerja memori, dalam penelitian ini juga menyebutkan adanya perbaikan dalam kecepatan
pemrosesan dan fungsi eksekutif serta pengurangan skor depresi. Fungsi
eksekutif ditingkatkan berkenaan dengan kontrol kognitif dalam hal kerentanan
yang menurun terhadap gangguan. Hasil ini konsisten dengan sejumlah penelitian
yang menunjukkan bahwa manajemen berat badan dan regulasi perilaku makan yang
sukses dikaitkan dengan peningkatan kontrol kognitif (penelitian Keranen pada tahun 2011, Neve tahun 2012; dan Nurkkala tahun 2015).
Penurunan skor depresi juga merupakan efek samping yang khas dari penurunan
berat badan (penelitian Herpertz
tahun 2015) dan mungkin terkait
dengan peningkatan kontrol kognitif, pengalaman efisiensi diri dan keberhasilan
menurunkan berat badan, atau akibat peningkatan kualitas hidup. (Kristin Prehn, 2017)
Konsep
Manusia
1. Psikologi Sosiokultural
Adler percaya bahwa manusia pada dasarnya mampu menentukan
dirinya sendiri dan bahwa mereka membentuk kepribadian mereka dari makna yang
mereka berikan atas pengalaman mereka. Bahan untuk membangun kepribadian
disediakan oleh faktor keturunan dan lingkungan, tetapi daya kreatiflah yang
membentuk bahan-bahan ini dan menjadikannya berguna. Adler berulang kali
menekankan bahwa kemampuan yang dimanfaatkan lebih penting dari pada jumlah
kemampuan yang dimiliki seseorang.(Alwisol,
2009)
Menurut Horney semua orang mengalami Creatue Anxiety, perasaan
kecemasan yang normal muncul pada masa bayi, ketika bayi yang lahir dalam
keadaan tidak berdaya dan rentan itu dihadapkan dengan kekuatan alam yang keras
dan tidak bisa di kontro. Bimbingan yang penuh kasih sayang dan cinta pada awal
kehidupanmembantu bayi belajar menangani situasi bahaya itu. Sebaliknya, tanpa
bimbingan yang memadai bayi akan mengembangkan basic anxiety, basic
hostility, dan terkadang neurotic distress. (Prawira,
2013). Sedangkan menurut erikson ada 8 tahap
perkembangan manusia yang erikson kemukakan, empat tahap pertama terjadi pada
masa bayi dan masa kanak kanak, tahap kelima pada masa adolesen, dan ketiga
tahp terakhir pada tahun-tahun dewasa dan usia tua (Alwisol,
2009).
Sosiokultural berfokus pada kekuatan sosial dan
budaya sebagai kekuatan yang bekerja diluar individu. Kekuatan sosial dan
budaya inilah yang membentuk setiap aspek perilaku manusia, mulai dari cara
kita mencium sampai apa yang kita makan dan dimana kita makan (Calore Wade,
2007).
Banyak dari kita yang meremehkan pengaruh orang lain, konteks sosial, dan
pengaruh budaya pada hampir seluruh perilaku kita.
Melalui perspektif ini, para psikolog sosial
mengarahkan penelitiannya pada peraturan, peran sosial, cara seseorang mentaati
otoritas, cara kita dipengaruhi oleh orang lain – seperti pasangan, kekasih,
teman, atasan, orang tua, dan orang asing. Psikolog budaya menelaah cara
peraturan dan nilai budaya – baik yang eksplisit maupun implisist –
mempengaruhi perkembangan perilaku dan perasaan seseorang. Mereka mempelajarai
cara budaya mempengaruhi kesediaan seseorang untuk menolong orang asing yang
sedang mengalami kesulitan, atau cara budaya mempengaruhi apa yang dilakukan
seseorang ketika sedang berada dalam keadaan marah. Karena manusia pada
hakikatnya adalah hewan sosial yang sangat dipengaruhi oleh kebudayaan yang
bebrbeda-beda (Calore Wade, 2007). Perspektif
sosiokultural telah membuat psikologi menjadi disiplin ilmu yang lebih
respensitive dan tepat.
Para psikolog sosio budaya berpendapat bahwa peningkatan
kesehatan mental individu bukan hanya tanggung jawab profesi kedokteran saja,
melainkan juga tanggung jawab lembaga-lembaga sosial yang terorganisasi seperti
keluarga, tempat kerja, lembaga agama, sistem pendidikan, saluran-saluran
rekreasi dan pelayanan-pelayanan khusus yang bersifat memperbaiki dan
melindungi. Usaha-usaha yayasan swasta merupakan sumber kesehatan mental ysng
penting dalam masyarakat. Dalam masyarakat modern, perumahan merupakan faktor
yang sangat penting diantara segi-segi lingkungan fisik. Kondisi-kondisi
perumahan ada kaitannya dengan kesehatan dan kepribadian. Jika kondisi-kondisi
itu menyebabkan perasaan tidak adekuat atau rendah diri, maka jelas pengaruhnya
sangat merugikan kesehatan mental. Keadaan yang berjubel tidak menjamin privasi
individu dan kekurangan udara serta sinar matahari menyebabkan penularan
penyakit semakin mudah. Tempat-tempat tinggal yang dingin dan lembab serta
gersang mengurangi ketahanan fisik dan mental. Sangat penting bahwa masyarakat
menyediakan lingkungan yang cukup baik dan berguna agar baik anak-anak maupun
orang dewasa berkembang dengan adekuat didalam ruang lingkupnya (Calore Wade, 2007).
2. Psikologi Islam
Mazhab psikoanalisa
berpendapat bahwa manusia adalah makhluk yang dikuasai oleh system
unconsciousness (ketidaksadaran) dalam diri manusia. Dakam wilayah inilah yang
mengendalikan seluruh perilaku manusia. dan dalam wilayah ini id bersemayam.
Id merupakan dimensi psikis yang mengandung instink, nafsu dan
pengalaman troumatis masa kanak-kanak (Proff. Dr. Baharuddin, 2007). ini yang kemudian
dipandang sebagi penguasa bagi tingkah laku manusia.
Behaviorisme memandang
manusia adalah makhluk biologis yang terkondisi oleh lingkungannya. Dalam hal
kemampuan jiwa untuk memberikan respon terhadap rangsangan dari lingkungan itu,
menurut behaviorisme, manusia tidak berbeda dengan binatang (Proff. Dr. Baharuddin, 2007). ini bukan berarti
manusia disamakan dengan hewan hanya saja dalam hal respond an stimulus manusia
tidak berbeda dari binatang, karena alasan itu banyak peneliti yang menggunakan
atau melakukan percobaan terhadap binatang untuk mengetahui atau menganalisis
perilaku manusia.
Berbeda dengan psikologi
humanistic yang mana mereka memandang manusia adalah manusia yang unik yang
berbeda dari binatang. Ia memiliki karakter kemanusiaan yang tidak dimiliki
oleh hewan seperti tolong menolong, kasih sayang, cinta dll.
Jelasnya dalam kehadiran psikologi Islami dalam dunia
psikologi, bukanlah menolak secara apriori
teori-teori psikologi yang sudah ada, tapi meletakkannya dalam/sesuai
dengan dimensi jiwa manusia seperti yang dipahami dalam psikologi Islami. Jadi,
psikologi hadir untuk memberikan alternative paradigm yang baru untuk memahami
tingkah laku manusia (Proff. Dr. Baharuddin, 2007).
Mengenal
manusia berarti berusaha mengetahui segala prilaku dan tingkah laku manusia
secara holistic, baik yang bisa diindrai, yaitu dengan mengadakan
penelitian-penelitian dan yang tak terindrai, yaitu dengan memahaminya melalui
pengalaman pribadi atau dengan meminta orang lain untuk menceritakan
pengalamannya, untuk menambah suatu pemahaman mendalam tentang kedudukannya
sebagai manusia. Adapun kedudukan manusia menurut Raffi Sapuri ada tiga yaitu
manusia sebagai ciptaan (makhluk), manusia sebagai hamba, dan manusia sebagai
wakil tuhan (Sapury, 2017).
a.
Manusia
sebagai Hamba Allah
Sebagai hamba Allah, manusia wajib mengabdi dan
taat kepada Allah selaku pencipta karena adalah hak Allah untuk disembah dan
tidak disekutukan. Bentuk pengabdian manusia sebagai hamba Allah tidak terbatas
hanya pada ucapan dan perbuatan saja, melainkan juga harus dengan keikhlasan
hati, seperti yang diperintahkan dalam surah Bayyinah:
“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya
menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam menjalankan agama
yang lurus …,” (QS:98:5). Dalam surah adz- Dzariyat Allah
menjelaskan: “Tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia,
melainkan supaya mereka menyembah Aku.”(QS 51: 56).
Dengan demikian manusia sebagai hamba Allah
akan menjadi manusia yang taat, patuh dan mampu melakoni perannya sebagai hamba
yang hanya mengharapkan ridha Allah.
b.
Manusia
sebagai Al-Nas
Manusia, di dalam al- Qur’an juga disebut
dengan al- nas. Konsep al- nas ini cenderung mengacu pada status manusia dalam
kaitannya dengan lingkungan masyarakat di sekitarnya. Berdasarkan fitrahnya
manusia memang makhluk sosial. Dalam hidupnya manusia membutuhkan pasangan, dan
memang diciptakan berpasang-pasangan seperti dijelaskan dalam surah an- Nisa’,
“Hai
sekalian manusia, bertaqwalaha kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari
seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan istirinya, dan dari pada
keduanya Alah memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan
bertakwalah kepada Allah dengan (mempergunakan) namanya kamu saling meminta
satu sama lain dan peliharalah hubungan silaturahim. Sesungguhnya Allah selalu
menjaga dan mengawasi kamu.” (QS:4:1).
Dari dalil di atas bisa dijelaskan bahwa
manusia adalah makhluk sosial, yang dalam hidupnya membutuhkan manusia dan hal
lain di luar dirinya untuk mengembangkan potensi yang ada dalam dirinya agar
dapat menjadi bagian dari lingkungan soisal dan masyarakatnya.
c.
Manusia
sebagai Khalifah
Hakikat manusia sebagai khalifah Allah di bumi
dijelaskan dalam surah al-Baqarah ayat 30: “Ingatlah ketika Tuhan-mu
berfirman kepada para malaikat:
“Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang
khalifah di muka bumi.” Mereka berkata:”Mengapa Engkau hendak menjadikan
(khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan dan menumpahkan darah,
padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji engkau dan mensucikan Engkau?”
Tuhan berfirman: “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang kamu tidak ketahui.” (QS:2:
30), dan surah Shad ayat 26,“Hai Daud, sesungguhnya Kami menjadikan kamu
khalifah (peguasa) di muka bumi, maka berilah keputusan di antara manusia
dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu. Karena ia akan menyesatkan
kamu dari jalan Allah. …” (QS:38:26).
Dari kedua ayat di atas dapat dijelaskan bahwa
sebutan khalifah itu merupakan anugerah dari Allah kepada manusia, dan
selanjutnya manusia diberikan beban untuk menjalankan fungsi khalifah tersebut
sebagai amanah yang harus dipertanggung jawabkan. Sebagai khalifah di bumi
manusia mempunyai wewenang untuk memanfaatkan alam (bumi) ini untuk memenuhi
Kebutuhan hidupnya sekaligus bertanggung jawab terhadap kelestarian alam ini.
d.
Manusia
sebagai bani adam
Sebutan manusia sebagai bani Adam merujuk
kepada berbagai keterangan dalam al- Qur’an yang menjelaskan bahwa manusia
adalah keturunan Adam dan bukan berasal dari hasil evolusi dari makhluk lain
seperti yang dikemukakan oleh Charles Darwin. Konsep bani Adam mengacu pada
penghormatan kepada nilai-nilai kemanusiaan. Konsep ini menitikbertakan
pembinaan hubungan persaudaraan antar sesama manusia dan menyatakan bahwa semua
manusia berasal dari keturunan yang sama.[1]
Dengan demikian manusia dengan latar belakang sosia kultural, agama, bangsa dan
bahasa yang berbeda tetaplah bernilai sama, dan harus diperlakukan dengan sama.
Dalam surah al- A’raf dijelaskan:
“Hai anak Adam, sesungguhnya Kami telah
menurunkan kepadamu pakaian untuk menutup auratmu dan pakaian indah untuk
perhiasan. Dan pakaian taqwa itulah yang paling baik. Yang demikian itu adalah
sebagian dari tanda-tanda kekuasaan Allah, semoga mereka selalu ingat. Hai anak
Adam janganlah kamu ditipu oleh syaitan sebagaimana ia telah mengeluarkan kedua
ibu bapamu dari surga, …” (QS : 7; 26-27).
e.
Manusia
sebagai makhluk biologis
Manusia
sebagai makhluk biologis memiliki potensi dasar yang menentukan kepribadian
manusia berupa insting (Khasinah, 2013). Manusia hidup pada
dasarnya memenuhi tuntutan dan kebutuhan insting. Menurut keterang ayat-ayat
al-Quran potensi manusia yang relevan dengan insting ini disebut nafsu. Potensi
nafsu ini berupa hawa dan syahwat (Rahayu, 2009). Syahwat adalah
dorongan seksual, kepuasan-kepuasan yang bersifat materi duniawi yang menuntut
untuk selalu dipenuhi dengan cepat dan memaksakan diri serta cenderung
melampaui batas. Sedangkan nafsu adalah dorongan-dorongan tidak rasional,
sangat mengagungkan kemampuan dan kepandaiaan diri sendiri, cenderung
membenarkan segala cara, tidak adil dan terpengaruh oleh kehendak sendiri, rasa
marah atau kasihan, hiba atau sedih, dendam atau benci yang berupa emosi atau
sentiment.
3. Intelegensi Psikologi
Manusia merupakan makhluk yang mulia yang
diberikan berbagai kelebihan oleh Tuhan Yang Maha Esa (Ide P. ,
2010)
Manusia diberikan akal sehingga dengan akal tersebut manusia dapat berfikir.
Seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, kita mengetahui
bahwa pusat manusia dalam berfikir adalah ada pada otak yang dimiliki manusia.
berbagai studi menunjukkan begitu hebatnya otak yang dimiliki manusia.
Penelitian mukhtahir menunjukan bahwa otak
manusia terdiri dari dua belahan otak, belahan otak kiri dan belahan otak
kanan. Kedua belahan otak tersebut memiliki fungsi dan peranan yang berbeda,
akan tetapi kedua belahan otak tersebut saling melengkapi satu sama lainnya (Ide, 2010) Walaupun demikian
setiap orang biasanya memiliki kecenderungan untuk dominan pada salah satu
belahan otak tersebut. Kondisi yang merugikan adalah apabila dominasi itu
menyebabkan fungsi belahan otak yang lainnya menjadi lemah, hal ini tentunya
akan membuat kemampuan berpikir kita akan menjadi kurang optimal. Yang paling
bagus adalah dapat memanfaatkan kedua belah otak tersebut secara keseluruhan.
A. Relevansi Dengan Konsep Islam
1. Sosial Kultural
Pengembangan kepribadian islam
adalah setiap usaha individu setiap kekhasannya daya insane yang menempuh
perjalanan hidup secara fisik psikis kearah kebenaran (al-Haq). Pribadi setiap
manusia berbeda meskipun proses penciptaannya sama, sebagaimana terdapat dalam
al-Quran tentang penciptaan manusia yaitu dalam surat al-Mu’minun 12-16 (Sahrani, 2011).
Dari taraf yang lebih luas, budaya
manusia menentukan apa yang di anggap praktik-praktik yang tepat di pengadilan,
pernikahan, pengasuhan anak, politik, agama, pendidikan dan keadilan. Semua
ini, dan variable-variabel budaya lainnya, menjelaskan banyak perbedaan
individu-individu yang beda budaya (Hergenhahn, 2013), hal ini sudah di
jelaskan dalam al-Quran surat al-Hujarat ayat 13 yang artinya
“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kalian
dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, serta menjadikan kalian
berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kalian saling mengenal. Sesungguhnya
orang yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah ialah orang yang paling
takwa. Sesunggguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal”.
Lebih khusus lagi, beberapa teori menyatakan
jika kepribadian manusia bisa dilihat sebagai kombinasi dari banyak peran yang
dia mainkan. Determinan-determinan sosial-budaya lain bagi kepribadian meliputi
tingkat sosial – ekonomi keluarga individu, tingkat pendidikan orang tua dan
lain-lain. Individu yang diasuh di keluarga yang berkecukupan tentulah memiliki
pengalaman yang berbeda ketimbang yang diasuh di keluarga yang berkekurangan (Hergenhahn,
2013).
Dalam pandangan Islam, semua manusia
adalah ciptaan Allah. Semua mempunyai kedudukan yang sama di hadapan-Nya tidak
membedakan antara ras, suka ataupun bangsa semuanya sama. Yang paling mulia di
sisi Allah adalah yang paling bertaqwa.Allah SWT berfirman QS. Al Hujurat:15 "...
Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu adalah yang paling bertaqwa di
antara kamu. ...".
2. Psikologi Islam
Banyak pembahasna tentang konsep
manusia yang dikemukakan oleh tokoh seperti yang sudah dijelaskan diatas. Baik
kajian psikologi maupun filsafat, modern
maupun klasik mereka berbeda paradigma
tentang komsep manusia yang sebenarnya. Salah satu kesalahan yang dilakukan
oleh perumus konsep manusia adalah mereka membangun konsep manusia itu dengan
spekulatif. Agar konsep manusia yang kita bangun tidak spekulatif, maka kita
harus bertanya pada sang maha cipta dan mengerti manusia. Yaitu Allah SWT.
Lewat AL-Quran Allah memberikan konsep-konsep tentang manusia (Suroso, 1994). Karena itu kalau
kita mau tahu konsep manusia dari segi Islam maka kita harus tahu Al-Quran,
membaca dan memahami isinya agar anggapan kita tentang manusia tidak
spekulatif.
Dalam QS. 41:53, yang berbunyi:
“kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Allah disegenap
penjuru dan pada diri mereka sendiri”. Ayat potongan arti ayat tersebut
memperlihatkan bahwa Allah menciptakan manusia bukanlah untuk melihat tentang manusia itu sendiri
melainkan untuk melihat kebesaran Allah dan untuk menuju-Nya karena manusia
tidak berdiri sendiri tapi ada kekuasaan dibaliknya. Di samping itu, untuk
mengenal siapa itu manusia tidak semata mata menggunakan teks Al-Quran (ayat kauniyah), tapi juga dengan
menggunakan, memikirkan dan merefleksikan
kejadian-kejadian di alam semesta (ayat kauliyah) dengan akal pikiran,
indra dan intuisi (Suroso, 1994).
Demikian pula dalam al-Quran QS. Al-Hajj
di jelaskan tentang penciptaan manusia dalam surah itu di jelaskan bahwa
manusia diciptakan dari tanah liat. Demikian itulah penciptaan manusia yang
seperti itu rupanya tidak di alami oleh makhluk makhluk lain seperti manusia.
Dalam hal kepribadian seperti yang tertera didalam buku (Purwa
Atmaja: 2013) dalam diri manusia didiami sifat yang dipandang dari segi positif
maupun dari segi negative. Dari segi positif tampak pada kepribadian manusia
yang senantiasa memiliki kerinduan spiritual untuk mengenal dan selalu dekat
dengan tuhan. Sementara dari segi negative dalam diri manusia terdapat
sifat-sifat hewani yang tercermin dalam kebutuhan fisik yang harus dipenuhi
demi kelangsungan hidup dirinya. Manusia dikatakan memiliki kepridbadian yang
baik jika senantiasa beribadah kepada Allah SWT. senantiasa bertakwa, dan
menyerap segala unsure positif kemanusiaan sehingga sering dinyatakan sebagai
manusia sejati karena tindakannya terpuji dimata orang lain. dan demikian yang
sebaliknya dari kepribadian tersebut dikatakan orang yang memiliki kepribadian
buruk karena pada dirinya senaniasa menyerap segi negative sehingga dikatakan
sebagai manusia yang tidak terpuji atau tercela.
3. Intelegensi Psikologi
Diantara ciri-ciri perilaku yang
secara tidak langsung telah di sepakati sebagai tanda telah dimilikinya
intelligensi yang tinggi, antara lain adalah adanya kemampuan untuk memahami
dan menyelesaikan problem mental dengan cepat, kemampuan mengingat, kreativitas
yang tinggi, dan imajinasi yang berkembang (Dr. Saifuddin Azwar, 2017).
Intelegensi menurut Alfred binet
sisi tunggal dari karakteristik yang terus berkembang sejalan dengan proses
kematangan seseorang. (Dr. Saifuddin Azwar, 2017), EdwardLee Thorndike
menyatakan bahwa inteligensi terdiri atas berbagai kemampuan spesifik yang
ditampakkan dalam wujud perilaku. Sedangkan Howard Gardner merumuskan teori
intelegensi ganda yang mana menurutnya ada 7 intelegensi yang ada dalam diri
manusia.
Konsep yang dikemukakan oleh ketiga
tokoh tersebut sebagaimana yang tertuang dalam ayat suci QS.Yunus : 24 tentang
kecerdasan manusia yang artinya “Sesungguhnya perumpamaan kehidupan duniawi
itu, adalah seperti air (hujan) yang Kami turunkan dan langit, lalu tumbuhlah
dengan suburnya karena air itu tanam-tanaman bumi, di antaranya ada yang
dimakan manusia dan binatang ternak. Hingga apabila bumi itu telah sempurna
keindahannya, dan memakai (pula) perhiasannya, dan pemilik-pemiliknya mengira
bahwa mereka pasti menguasainya, tiba-tiba datanglah kepadanya azab Kami di
waktu malam atau siang, lalu Kami jadikan (tanam-tanamannya) laksana
tanam-tanaman yang sudah disabit, seakan-akan belum pernah tumbuh kemarin.
Demikianlah Kami menjelaskan tanda-tanda kekuasaan (Kami) kepada orang-orang
berfikir.”
Kesimpulan
1. Sejarah perkembangan penelitian
sosial cultural, psikologi Islam dan inteligensi psikologi
Penelitian mengemukakan bahwa
individu dalam budaya asia lebih memungkinkan untuk memiliki pandangan saling
tergantung mengenai diri dari pada orang-orang dalam budaya barat yang
menyoroti kesalingtergantungan antara anggota-anggota dari sebuah komunitas,
sama halnya dengan kewajiban individual terhadap keluarga dan masyarakat.
Sejak pertengahan abad XIX, yang
didakwahkan sebagai abad kelahiran psikologi kontenporer di dunia Barat (Abdul Mujib, 2002). Pada awalnya, kekhususan ilmu
ini merupakan bagian dari kekhususan ilmu filsafat di fakultas sastra.
Perumusan pertama melihat
inteligensi sebagai kemampuan berpikir; perumusan kedua sebagai kemampuan untuk
belajar; dan perumusan ketiga sebagai kemampuan untuk menyesuaikan diri.
Sekalipun menunjukkan aspek-aspek yang berbeda dari inteligensi, ketiga aspek
tersebut saling berkaitan.
2. Tokoh-tokoh penting dalam pemikiran
sosial cultural, psikologi Islam dan inteligensi psikologi
Sosial Cultural ditokohi oleh Alfred
Adler, Erik Erikson, Karen Horney. Psikologi islam ditokohi oleh Al-Kindi, Ibnu
Bajjah dan Al-Ghazali dan Inteligensi Sosial ditokohi oleh Howard Gardner, Alfred Binet, Edward Lee Thorndike.
3. Penelitian actual tentang
sosial cultural, psikologi Islam dan inteligensi psikologi
Salah satu contoh dari penelitian
actual adalah Efektifitas psikoterapi dalam mengatasi tingkat kecemasan dan
depresi yang dialami ODHA di PKBI DKI Jakarta
4. Konsep manusia dalam sosial
cultural, psikologi Islam dan inteligensi psikologi
Para psikolog
sosio budaya berpendapat bahwa peningkatan kesehatan mental individu bukan
hanya tanggung jawab profesi kedokteran saja, melainkan juga tanggung jawab
lembaga-lembaga sosial yang terorganisasi seperti keluarga, tempat kerja,
lembaga agama, sistem pendidikan, saluran-saluran rekreasi dan
pelayanan-pelayanan khusus yang bersifat memperbaiki dan melindungi.
5. Relevansi dengan konsep Islam tentang
sosial cultural, psikologi Islam dan inteligensi psikologi
Dari taraf yang lebih luas, budaya
manusia menentukan apa yang di anggap praktik-praktik yang tepat di pengadilan,
pernikahan, pengasuhan anak, politik, agama, pendidikan dan keadilan. Semua
ini, dan variable-variabel budaya lainnya, menjelaskan banyak perbedaan
individu-individu yang beda budaya (Hergenhahn, 2013), hal ini sudah di
jelaskan dalam al-Quran surat al-Hujarat ayat 13.
Al-Quran QS. Al-Hajj di jelaskan
tentang penciptaan manusia dalam surah itu di jelaskan bahwa manusia diciptakan
dari tanah liat. Demikian itulah penciptaan manusia yang seperti itu rupanya
tidak di alami oleh makhluk makhluk lain seperti manusia. sedangkan Konsep yang
dikemukakan oleh ketiga tokoh tersebut sebagaimana yang tertuang dalam ayat
suci QS.Yunus : 24 tentang kecerdasan manusia
Saran
1. Setiap pemikiran tokoh
psikologi berbeda-beda kita harus tahu biografi dan sejarah pemikirannya
sebelum kita merelevansikan dengan islam
2. Setiap tokoh dalam pemikiran
psikologi banyak menguraikan pendapat yang berbeda, kita harus kritis dalam
mencermatinya agar tidak gampang terpengaruh dengan pemikiran yang radikal.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Mujib,
M. d. (2002). Nuansa-Nuansa Psikologi Islam. Jakarta: PT RajaGrafindo.
Alwisol. (2009). Psikologi
Kepibadian. Malang: UMM Press.
Asyar, A. G. (2012). Psikologi
Islam. Jakarta: Saadah Cipta Mandiri.
Calore Wade, C. T. (2007). Psikologi
Edisi ke-9 Jilid 1. Jakarta: PT Gelora Aksara Pratama.
Dr. Saifuddin Azwar, M. (2017). Psikologi
Intelligensi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Frager, R. (2010). psikologi
sufi untuk transformasi hati, Jiwa, dan Ruh. Bandung: Zaman.
Hergenhahn, M. H. (2013). Pengantar
Teori Kepribadian. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Hergenhanh, M. H. (2013).
Pengantar Teori-Teori Kepribadian Edisi Ke 8. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Ide. (2010). Whole Brain Training
For Social Intelligent.
Ide, P. (2010). Whole Brain
Training For Social Intelligent,. Jakarta: Alex Media Komputindo.
Khasinah, S. (2013). Hakikat
Manusia Menurut Islam dan Barat. 3(Hakikat Manusia Menurut Islam dan
Barat).
Kristin Prehn, R. J. (2017). Caloric
Restriction in Older Adults—Differential Effects of Weight Loss and Reduced
Weight on Brain Structure and Function, 1765–1778.
Merlijn, I. d. (2017). Diversity
among Bi-ethnic students and differences. Social Phycology Education.
Pervin, D. C. (2012). Kepribadian
Teori dan Penelitian. Jakarta: Salemba Humaika.
Prawira, P. A. (2013). Psikologi
Kepribadian Dengan Perspektif Baru. Yohyakarta: Ar-Ruzz.
Proff. Dr. Baharuddin, M. (2007).
Paradigma Psikologi Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Rahayu, I. T. (2009). Psikoterapi
Perspektif Islam dan Psikologi Kontemporer. Yogyakarta: Sukses Offset.
Sahrani, D. P. (2011). Psikologi
belajar dalam perspektif islam.
Saifuddin Azwar, M. (2017). Pengantar
Psikologi Intelegensi. Yogyakarta: PUSTAKA PELAJAR.
Sapury, R. (2017). Psikologi
Islam. Jakarta: Rajawali Pers.
Schustack, H. S. (2008,
Desember). Kepribadian Teori Klasik dan Riset Modern. Jakarta: PT Gelora Aksara
Pratama.
Shaleh, A. R. (2009). Psikologi,
Suatu Pengantar Dalam Persfektif Islam. Jakarta: Kencana.
Shaleh, A. R. (2009Jakarta). Psikologi,
Suatu pengantar dalam persfekfif Islam. Kencana.
Suroso, J. A. (1994). Psikologi
Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Suryabrata, S. (2015, Juni).
Psikologi Kepribadian. PT RajaGrafindo Persada. Jakarta.
Taufiq, M. I. (2006). Panduan
Lengkap dan Praktis Psikologi Islam. Jakarta: Gema Insani.
University, O. (2007). Mapping
The Reliationship Between Cortical Convolution and Inteligence : Effect of
Gender. Amerika: Oxford University Press.
Vanessa Neufeld, K. C. (n.d.).
Vanessa Neufeld, K. C. (2014).
Exposure Theraphy for anxiety. Adventure Works Monthly, 50-62.
Wade, C., & Tavris, C.
(2007). Psikologi Edisi ke-9 Jilid 1. Jakarta: PT Gelora Aksara Pratama.
Yuliati, K. P. (2016). Parenting.
Journal of Child Development Studies, 40-54.
0 komentar:
Posting Komentar