KEHIDUPAN
WARIA
irwanto
NNIM. 163104101125
psikologi umum
Fenomena kaum waria merupakan suatu paparan nyata yang tidak
dapat ditolak eksistensinya di masyarakat.Sayang belum banyak orang yang
mengetahui seluk beluk kehidupan kaum waria yang sesungguhnya.Kebanyakan dari
orang-orang itu hanyalah melihat dari kulit luar semata. Lebih disayangkan
lagi, ketidaktahuan mereka atas fenomena tersebut bukannya membuat mereka
mencoba belajar tentang apa, bagaimana, mengapa, dan siapa dia, melainkan
justru melakukan penghukuman dan penghakiman yang sering kali menjurus pada
tindakan biadab dan mengesampingkan nilai-nilai kemanusiaan.
Berbicara masalah waria adalah berbicara tentang
seksualitas.Disinilah kita semakin melihat betapa kompleksnya berbicara tentang
waria.Ia tidak saja berdiri didepan kaca biologi, psikologi, medis, sosiologi,
politik, ekonomi, tetapi juga berdiri diambang pintu keagamaan seksualita
manusia kontemporer dan itu adalah dirinya sendiri.
Kehadiran waria sebagai salah satu jenis kelamin ketiga memang masih menjadi
perdebatan hingga saat ini.Hal ini memicu adanya berbagai macam pandangan dan
perspektif tentang waria.Semua itu mencerminkan betapa kompleksnya permasalahan
waria itu.
Berbicara tentang waria, kita tidak
bisa melepaskannya dari fenomena sosial yang ada dalam masyarakat, yakni
bagaimana sebenarnya waria berinteraksi dengan masyarakat luas serta implikasi
yang ditimbulkan dari sikap masyarakat yang terkesan ambigu karena ambivalensi
sikap masyarakat terhadap waria.
Hal ini menjadi dilemma tersendiri bagi waria.Di satu sisi, masyarakat tidak
membuka kesempatan pendidikan, kehidupan yang layak dan pekerjaan bagi waria,
namun di sisi lain, seiring dengan menjamurnya prostitusi waria, stereotype
masyarakat yang sering ditujukan pada waria adalah bahwa waria identik dengan prostitusi.
Di
tambah lagi dengan fenomena munculnya seorang waria yang dengan gambling
mengenakan jilbab, menggunakan mukena dalam melaksanakan sholat dan berada
didalam shaf perempuan, mendaulat dirinya sebagai seorang Muslimah.
Dalam hal ini seorang waria yang ingin hak-hak keberagamaannya tidak terganggu
dengan tanggapan-tanggapan negative tentang dirinya yang di anggap melecehkan
agama, dan melecehkan nama baik Muslimah, dia memberikan suatu tanggapan dengan
menjelaskan bahwasanya jiwa yang berada dalam jasad kasarnya itu adalah jiwa
seorang perempuan.
Waria ‘Muslimah’ ini dia mengatakan bahwasanya semenjak kecil dia tidak merasa
kalau dirinya adalah laki-laki, dengan kata lain perasaan yang ada dalam
jiwanya adalah jiwa seorang perempuan, hanya organ-organ tubuhnya dan jasad
kasarnya yang membuat dia menjadi seorang Waria.
Fenomena waria ini ternyata tidak hanya terjadi dimasa-masa sekarang ini, akan
tetapi waria sudah ada pada zaman Rasulullah dulu, yang mana terdapat
hadis-hadis tentang keberadaan waria. Begitu banyak pendapat-pendapat ulama
fiqih yang berdalil tentang hadis-hadis yang melaknat seorang waria, diantara
hadis-hadis tersebut adalah sebagai berikut :
Diceritakan
dari Ayyub ibn Najar dari Tayyib bin Muhammad dari Atha’ bin abi Barah dari abi
Hurairah berkata : Rasulullah melaknat seorang banci laki-laki, yaitu mereka
yang menyerupai perempuan dan seorang perempuan yang menyerupai laki-laki, dan
orang laki-laki yang melajang, yaitu mereka yang tidak mau menikah dan
perempuan perawan yang juga menolak untuk menikah dan orang yang memilih untuk
hidup sendiri. (HR. Ahmad bin Hanbal)
Keberadaan
waria sebagai mahluk yang kurang sempurna, secra fisik maupun psikis. Untuk
lebih jelasnya lagi Waria sendiri ada bermacam-macam gejalanya, yaitu:
a. Homoseksual
Homoseksual
adalah relasi seks dengan jenis kelamin yang sama, atau rasa tertarik dan
mencintai jenis seks yang sama secara perasaan atau secara erotik, baik secara
predominsn maupun ekslusif terhadap orang-orang yang berjenis kelamin sama,
dengan atau tanpa hubungan fisik. Jadi pada intinya homoseksual merupakan
seorang laki-laki yang normal dari segi fisik maupun psikisnya. Dia tetap
merasa kalau dirinya adalah laki-laki sehat, akan tetapi orientasi seksualnya
yang bermasalah atau mengalami gangguan, yaitu ketertarikannya terhadap sesame
laki-laki lebih dominant.
Yang
membedakan homoseksual dengan waria adalah dalam segi berpakaian dan
berpenanmpilan, seorang homoseks tidak perlu berpenampilan selayaknya
penampilan seorang perempuan.
Munculnya
gejala perilaku homoseksual ada yang berpendapat bahwa hanya merupakan tren
atau gaya hidup dari masyarakat modern. Jadi problem perilaku homoseksual
merupakan sebab dari factor lingkungan.
b. Hermafrodit
Hermafrodit
adalah keadaan ekstrem interseksualitas dengan gangguan perkembangan pada
proses pembedaan kelamin, apakah akan dibuat perempuan atau laki-laki. Pada
kelompok hermafrodit kesulitan utama adalah ketika ia harus ditentukan jenis
kelaminnya, laki-laki atau perempuan.
Waria
hermafrodit jelas secara fisik-biologis dia mengalami kelainan.Pada
kenyataannya keberadaan kaum hermafrodit merupakan cacat yang diderita semenjak
lahir (karena berkaitan dengan fisik) dan bisa dikembalikan normal sesuai
dengan jenis kelaminnya. Dalam kasus hermafrodit, para medis menyatakan bahwa
setiap 20.000 kelahiran akan selalu didapati kasus semacam ini. Hermafrodit
sendiri dibagi menjadi dua macam, yaitu:
1. Hermafrodit Sejati, adalah keadaan bahwa
seseorang mempunyai alat kelamin dalam perempuan dan alat kelamin laki-laki
sekaligus.
2. Hermafrodit Palsu, adalah seseorang yang
memiliki alat kelamin dalam, dari satu jenis kelamin, namun beralat kelamin
luar, dari jenis kelamin lawannya. Hermafrodit palsu ini ada tiga macam, yaitu:
·
Pseudohermafrodit laki-laki bersifat laki-laki (Masculinizing male pseudohermafrodit.
Secara umum tampak seperti laki-laki atau seperti perempuan, memiliki testis
yang tidak sempurna, alat kelamin luar meragukan tetapi kira-kira penis, payudara
tidak berkembang, tubuh berambut seperti laki-laki.
·
Pseudohermafrodit laki-laki bersifat perempuan (Feminizing male pseudohermafrodit).
Secara umum tampak seperti perempuan, payudara berkembang.Ada yang mempunyai
perilaku seks seperti perempuan, meskipun tanpa sadar, jelas mempunyai testis
tanpa jaringan ovarium tetapi kurang sempurna karena rangsangan feminisasi,
penisnya menyerupai klitoris yang besar, tidak terdapat haid karena tidak ada
jaringan ovarium.
·
Pseudohermafrodit perempuan. Secara umum tampak seperti
laki-laki, alat kelamin luar meragukan, mempunyai ovarium akan tetapi tidak
sempurna.
Dengan demikian hermafrodit termasuk dalam kelainan seksualitas
jika dilihat dari kacamata biologis-medis.Seperti yang telah dijelaskan
bahwasanya hermafrodit disebabkan oleh kelaianan ketidak seimbangan hormon saat
lahir.
c. Transvetisme
Transvetisme adalah sebuah nafsu yang patologis untuk memakai
pakaian dari lawan jenis kelaminnya. Dan dia akan mendapatkan kepuasan seks dengan
memakai pakaian dari jenis kelamin lainnya.
Dalam
transvetisme yang lebih ditonjolkan adalah kepuasan seks seseorang yang didapat
dari cara berpakaian yang berlawanan dengan jenis kelaminnya. Jika seseorang
itu berjenis kelamin laki-laki maka ia akan mendapatkan kepuasan seks dengan
memakai pakaian perempuan. Sebaliknya, jika seseorang itu berjenis kelamin
perempuan, ia akan mendapatkan kepuasan seks hanya dengan memakai pakaian
laki-laki. Pakaian baginya adalah sebaga alat untuk meningkatkan dan menimbulkan
gairah seks.
Seorang
transvetis yang diserang pada umumnya adalah daya khayalnya, yakni bahwa dengan
imajinasi dan intuisi melalui cara berpakaian lawan jenisnya, ia merasakan
sebuah kenikmatan seksual. Disini seorang transvetisme tetap berusaha untuk
mempertahankan identitas kelaminnya, meski ia memakai pakaian yang bukan untuk
jenisnya.
Dengan
demikian transvetisme termasuk dalam gangguan psikoseksual parafilia yang
sampai saat ini belum dapat diketahui penyebabnya.
d. Transeksual
Pada waria, sebagai seorang transeksualis, memiliki
karakteristik yang berbeda. Seorang transeksualis, secara jenis kelamin
sempurna dan jelas, tetapi secara psikis cenderung menampilkan diri sebagai
lawan jenis.Transeksual lebih banyak dialami oleh kaum laki-laki dibanding kaum
perempuan.
Kaum transeksual adalah kondisi psikis bukan dari pakaian yang
mereka kenakan, sehingga kaum transeksual sering dianggap sebagai orang yang
terjebak pada jenis kelamin yang salah karena identitas kelaminya yang
terganggu.
Sebagai gejala transeksualisme, yakni gejala merasa memiliki
seksualitas yang berlawanan dengan struktur fisiknya, keinginan untuk menggubah
jenis kelaminnya lebih banyak ditentukan oleh factor psikis. Maka berbagai cara
dilakukan untuk mengubah dirinya menjadi seorang perempuan.
Adapun
ciri-ciri kaum waria transeksual adalah sebagai berikut:
a. Identifikasi transeksual harus sudah menetap
minimal 2 tahun dan merupakan gejala dari gangguan jiwa lain seperti
skizofrenia, atau berkaitan dengan kelaiana intersesk, genetic atau kromosom.
b. Adanya hasrat untuk hidup dan diterima sebagai
anggota dari lawananya keinginan untuk mendapatkan terapi hormonal dan pembedjenisnya
biasanya disertai perasaan risih dan ketidakserasian anatomi tubuhnya.
c. Adahan untuk membuat tubuhnya semirip mungkin
dengan jenis kelamin yang diinginkan.
Pada
waria transeksual pun masih dibagi menjadi beberapa tipe, yaitu:
a. Transeksual yang aseksual, yaitu seorang
transeksual yang tidak berhasrat atau tidak mempunyai gairah seksual yang kuat.
b. Transeksual homoseksual, yaitu seorang
transeksual yang memiliki kecenderungan tertarik pada jenis kelamin yang sama
sebelum ia sampai ke tahap transeksual murni.
c. Transeksual yang heteroseksual, yaitu seorang
transeksual yang pernah menjalani kehidupan heteroseksual sebelumnya.
Ada yang berasumsi bahwa keberadaan waria lebih banyak
didominasi oleh factor lingkungan, maka ada kemungkinan bagi waria itu untuk
bisa sembuh dan menjadi laki-laki atau perempuan normal, sesuai dengan kondisi
fisiknya. Namun bila keberadaan mereka lebih banyak didominasi oleh factor
hormonal dan kromosom, maka mereka memang diciptakan sebagai mahluk yang tidak
sempurna, sebagai laki-laki ataupun perempuan.
Waria saat ini bukanlah suatu kelompok yang homogen. Ciri-ciri
kelainan seksual mereka bermacam-macam, bahkan kemungkinan mereka sekaligus
menderita kelainan seksual yang lain, baik yang bersifat psikologis maupun
biologis.
Sejak kelahirannya waria memang penuh dengan konflik.Pada
mulanya mereka dihadapkan pada dua pilihan, menjadi laki-laki atau
perempuan.Kedua pilihan ini membawa konsekuensi masing-masing. Konflik lainpun
muncul ketika mengadakan kontak dengan masyarakat sekelilingnya yang penuh
dengan norma dan hukum.
Penerimaan waria dalam wacana masyarakat muslim pada akhirnya
akan menjadi basis kelahiran produk hukum agama. kekuatan agama telah banyak
membuktikan mampu melakukan perubahan-perubahan sosial dalam masyarakat.
Sebagai basis keyakinan dalam masyarakat, agama mampu mendorong pemeluknya
untuk memandang realitas dunia sebagai subjek yang senantiasa disikapi, menurut
visi teologis agama itu sendiri.
Persoalan utamanya bukan bagaimana agama menolak atau menerima,
seperti penjahat harus dihukum. Meletakkan waria dalam konteks agama,
mengandung dua hal, yaitu agama sebagai sebuah hukum yang diharapkan mampu
memberi ruang kepada waria, serta masyarakat muslim sebagai sebuah masyarakat
yang juga diharapkan memberi ruang kepada waria.
Dua hal di atas bisa parallel atau bisa berbeda sama sekali.
Pengakuan hukum agama, tidak selalu diikuti penolakan untuk hidup berdampingan
antara masyarakat muslim dengan waria. Penghargaan sosial, jauh lebih penting
di dalam hidup sebagai waria.
Melalui penghargaan sosial semacam itu, produk agama akan lebih
jernih di dalam melihat persoalan substansial kaum waria, di banding melihat
hukum waria sebagai “hitam-putih”. Meskupin waria ditolak dalam wilayah hukum
agama, apakah seluruh perbuatan baiknya menjadi hancur di mata Tuhan.
Bila penolakan agama terhadap waria yang ditonjolkan, maka
hampir pasti secara sosial waria akan semakin tidak mendapat tempat di dalam
masyarakat. Selama ini sikap yang tercermin di dalam masyarakat sengat
dipengaruhi oleh konstruksi pemahaman keagamaan mereka.
Ajaran agama diwahyukan Tuhan untuk kepentingan manusia. Dengan
bimbingan agama ini diharapkan manusia mendapatkan pegangan benar dalam
menjalani hidup dan membangun peradabannya.Dengan artian agama sesungguhnya
diwahyukan untuk manusia, bukan manusia tercipta untuk kepentingan agama.
Dalam konteks kehidupan masyarakat, kecenderungan beragama
dengan titik tekan pada penghayatan nilai-nilai kemanusiaan yang dianjurkan
oelh agama, perlu mendapatkan apresiasi dan penekanan. Karena hikmah hidup
beragama haruslah bermuara pada komitmen untuk menjujung tinggi nilai-nilai
kemanusiaan, tanpa harus dihambat oleh sentiment kelompok, golongan, ras dan
gender.
Dapat dilihat sebenarnya islam sebagai sebuah ajaran agama bukan
hanya mampu memotret realitas, tetapi juga mampu melakukan perubahan dalam
kehidupan manusia, jika ajarannya benar-benar dipahami dalam konteks masyarakat
yang plural. Karena islam sangat menjunjung tinggi hak asasi manusia. Suatu
pemilikan yang sah, asasi adalah hal yang amat berharga yang dimiliki oleh
setiap individu sejak lahir didunia tanpa memandang perbedaan ras, suku, maupun
agama, baik itu hak untuk menikmati kehidupan, kebebasan beragama dan tidak
beragama, hak untuk menikmati anugerah alam, hak untuk menikmati anugerah hidup
dan hak untuk memilih antara hak laki-laki taupun perempuan.
Dalam konteks waria, yang diperlukan sebenarnya adalah bagaimana
kita mampu memandang dan mengakui keberadaan waria sebagai manusia yang
mempunyai hak-hak yang sama, hak untuk merdeka, hak untuk beragama, hak dalam
pendidikan, hak untuk berpolitik, dan juga hak untuk mendapatkan penghargaan
dalam ruang sosial.
Dalam hal ini seperti kasus waria-waria yang ada, seorang waria
mengahadapi dilemma antara menjalankan syariat agama dengan keadaan sebagai
laki-laki atau sebagai perempuan. Dalam hal ini pada awalnya dia menjalankan
ajaran agama (Sholat) didalam shaf laki-laki, akan tetapi karena jiwa yang
berada dalam jasad kasarnya itu adalah perempuan maka dia merasa tidak nyaman
dengan sholat yang tidak menutup aurat dan berbaur dengan laki-laki.
Dalam islam apabila seorang laki-laki atau perempuan yang sudah
dalam keadaan berwudhu maka batal wudhu nya apa bila menyentuh lawan jenisnya,
hal ini karena ditakutkan akan menimbulkan syahwat dan itu akan membatalkan
wudhunya.
Dilemma seperti ini dialami oleh seorang waria yang tetap ingin
menjalankan perintah Allah yang utama itu. Karena jiwa yang berada dalam
dirinya adalah jiwa seorang perempuan maka jika dalam keadaan berwudhu
seharusnya tidak boleh bersentuhan dengan laki-laki. Hal demikian ini lah yang
akhirnya waria ini memutuskan untuk menjalankan syariat agama dengan kaffah
sebagai layaknya seorang Muslimah sejati.
Dia menjalankan kewajiban-kewajiban yang di perintahkan kepada
Muslimah, yaitu seperti menutup aurat apabila keluar rumah dan dalam keadaan
sholat, kemudian sholat dalam barisan shaf perempuan, sebagaimana layaknya
seorang Muslimah sejati menjalankan perintah agama secara kaffah.
Dalam menaati ajaran agama tidak sedikit hujatan-hujatan yang
menerpa dirinya, dia dikatakan sebagai mahluk laknat, melecehkan kesucian kaum
Muslimah, yang ibadahnya tidak akan diterima, mempermainkan agama, dan
sebagainya. Akan tetapi dalam dirinya dia yakin bahwasanya manusia beribadah
kepada Tuhannya adalah suatu yang ghaib, yang hanya Tuhan saja yang
tahu.Diterima atau tidaknya ibadah seseorang hanya Tuhannya yang Tahu.
Kewajiban kita sebagai mahluk Nya adalah selalu mengingatnya dan senatiasa
menyembahnya dan tidak menyekutukannya dengan hal-hal yang lain.
Begitu pula meskipun marak diantara para waria menggubah fisik
mereka bener-benar menjadi wanita dengan melakukan operasi-operasi
pelastik, bahkan operasi payudara dan operasi pergantian kelamin. Waria ini
tetap membiarkan organ-organ tubuhnya seperti apa adanya, meskipun dia
mempunyai biaya untuk melakukan itu semua. Dia beranggapan bahwasanya Tuhan
telah memberikannya anugerah yang tiada tara dengan memberikan jasad seorang
laki-laki dan jiwa seorang perempuan, oleh karena itu dia tidak mau merusak
atau mengganti karunia yang telah diberikan Tuhan kepadanya. Menurutnya Tuhan
menciptakannya seperti ini adanya dengan kekurangan dan kelebihan yang
dimilikinya, maka dia akan kembali mengahdap Yang Maha Kuasa sebagai mana Sang
Maha Kuasa meluncurkannya ke Bumi ini.
Al-Qur’an sendiri tidak pernah secara eksplisit menyebutkan
keberadaan waria atau persoalan waria.Hanya dalam teks hadis, persoalan ini
cukup banyak disinggung. Dari kenyataan ini, bisa disimpulkan bahwa keberadaan
waria oleh islam pada dasarnya diakui sebagai mahluk Tuhan sebagaimana manusia
yang lainnya, yang secara langsung ataupun tidak juga mempunyai hak dan
kewajiban yang sama.
Namun meskipun masalah waria disebutkan dalam hadis, bukan
berarti persoalan waria dianggap selesai. Justru disinilah letak persoalan yang
dihadapi..sebagian umat islam sering kali memahami hadis secara tekstual, tanpa
melihat latar belakang kemunculan serta realitas yang dihadapi, sehingga
menyebabkan adanya pemahaman yang parsial.
Dalam hadis yang memuat tentang waria apabila kita tetap melihat
teks hadis secara tekstual tanpa memperhatikan relitas di masyarakat, maka kita
pun tidak akan mendapatkan pemahaman yang utuh, dan hanya memberikan klaim yang
tidak selamanya benar.
Tanpa bermaksud untuk melegitimasi keberadaan mereka, yang perlu
diungkapkan di sini adalah bagaimana agama, yang selama ini menjadi tolak ukur
dalam melihat sebuah realitas, mampu menjawab segala problem dan realitas saat
ini. Artinya dengan tetap memandang keberadaan mereka sebagai manusia dengan
hak-hak nya, tetapi juga berani memberi kritik terhadap perilaku mereka yang
berada di luar norma kemanusiaan.
Dibandingkan dengan agama, hukum Negara lebih lentur dan
fleksibel dalam menyikapi keberadaan waria.Meskipun masih belum menyentuh
hal-hal yang subtansial.Posisi waria dimasukan dalam kategori penyakit sosial
yang disama jajarkan dengan pelacuran dan kejahatan, hal ini dikarenakan para
waria lebih cenderung dianggap sebagai subyek prostitusi. Para kaum waria masih
dianggap sebagai kaum marginal yang dapat menghambat pembangunan, sehingga
dinas sosial mendirikan panti-panti waria, yang katanya untuk memberikan
keterampilan-keterampilan agar mereka bisa hidup mandiri tanpa mengotori
sudut-sudut kota dengan praktek prostitusinya. Atau hanya untuk mengisolasi
para waria, yang secara tersirat menganggap bahwa kaum waria hanya layak berada
dalam pengurungan.
Pada akhirnya pun kedua wilayah antara hukum agama dan hukum
Negara belum dapat menjamin sepenuhnya kehidupan waria, maka etika sosial yang
ada dimasyarakat dalam memandang waria sangat dangkal sekali.
Bagaimana pun pengakuan sosial terhadap waria menjadi kebutuhan
yang cukup mendesak. Sebab, pengakuan sosial ini akan berimplikasi pada
kehidupan waria seterusnya. Tanpa pengakuan sosial yang nyata maka
tanggapan-tanggpan miring terhadap waria tidak akan bisa berubah.
Memberikan ruang sosial kepada waria bukan berarti menlegalkan
segala perilaku dan gaya hidup meraka, akan tetapi dapat menjembatani kehidupan
waria yang terisolasi dengan kehidupanmasyarakat luas agar dapat terbentuk
hubungan yang harmonis. Akan tetapi jika dalam sudut pandang agama tetap
memandang waria dalam kerangka hitam-putih, maka dalam teks-teks agama
dikehidupan nyata, waria tidak akan pernah ada titik temunya.
REFERENSI:
Gunawan,
FX. 2000. refleksi atas kelamin; potert seksualitas manusia modern.
Magelang.Indonesia tera.
Kartono,
kartini, 1990, psikologi abnormal dan abnormalitas seksual. Bandung. CV.
Bandar maju.
Hawaari,
Dadang. 1997. Al-qur’an dan Ilmu kedokteran jiwa dan kesehatan jiwa. Yogyakarta.
PT Dana bhakti prisma yasa.
0 komentar:
Posting Komentar