Manik Muthmain
Fakultas Psikologi Universitas Proklamasi 45
Yogyakarta
Amalia
Prabowo, CEO perusahaan periklanan internasional, merasa kehidupannya berubah
180 derajat ketika mengetahui putra sulungnya, Aqil, didiagnosis menyandang
disleksia. Diagnosis itu serasa vonis buat sang buah hati dan dirinya. Namun,
Amalia tidak pernah mengenal kata gagal dalam hidupnya. Berasal dari keluarga
berpendidikan tinggi, sejak kecil dia dituntut disiplin, bekerja keras, dan
selalu sukses dalam bidang akademis oleh sang ayah. Dari pengalamannya itu,
Amalia lalu membekali Aqil dengan buku-buku pengetahuan sejak dia kecil. Aqil
pun dimasukkan di salah satu sekolah paling mahal di Indonesia demi mendapat
pendidikan terbaik. Sayangnya, kali ini Amalia harus mendapatkan hasil tak
sesuai harapan. Aqil tetap mengalami kesulitan membaca dan menulis deskripsi
paling sederhana untuk disleksia.
Amalia pun sulit menerima diagnosis dokter yang mengatakan Aqil mengalami disleksia. Bahkan, ayah Amalia yang seorang dokter terkemuka pun tak dapat menerima keadaan Aqil. “Sebenarnya tekanan paling berat itu bukan dari menghadapi anak dengan disleksia itu sendiri. Melainkan, dari ambisi dan ego si ibu dan keluarga yang terlalu besar,” ucap Atiqah. Penolakan ini dapat menjadi jurang pemisah yang cukup besar antara ibu dan anak. Dampaknya, ibu merasa tidak bahagia dan anak akan menjadi korban.
Berdamai
Menurut Amalia, kunci kebahagiaan ibu dengan anak penyandang disleksia adalah penerimaan dan bisa berdamai dengan keadaan yang dihadapi. Kemudian, secara perlahan ibu harus mulai masuk ke dunia sang anak agar lebih mudah memahami kondisi si buah hati. “Intinya adalah penerimaan. Begitu ibu berdamai, dunia akan terbuka. Saya merasa merekah kembali setelah bisa menerima keadaan Aqil,” lanjut Amalia. Amalia mengatakan banyak kemudahan yang dia rasakan setelah bisa berdamai dengan keadaan dan mulai masuk ke dunia Aqil. Dia dapat bertemu dan menceritakan perasaannya kepada banyak orang. Selain itu, dia juga bisa bertemu dengan ibu-ibu yang mengalami hal serupa untuk saling berbagi. Namun, proses penerimaan memang diakui Amalia tidak mudah. Meski demikian, dia ingin menyampaikan kepada para ibu lain dengan tantangan seperti dirinya untuk selalu berusaha bahagia. Karena jika ibu tidak bahagia, tegas dia, anak tidak akan bahagia pula.
Selain
itu, ibu juga harus ingat bahwa semua anak terlahir sempurna. Walaupun anak
mengalami disleksia, dia pasti memiliki kelebihan lain. Seperti Aqil yang
sangat pandai menggambar. Memang, perlu kesabaran dan perhatian lebih dari ibu
dalam mencari aktivitas yang dapat digemari anak. Proses pencarian minat ini
juga bisa dilakukan dengan kegiatan yang menyenangkan, seperti mendaki gunung
yang jadi pilihan Amalia bersama Aqil. Kisah Amalia dan Aqil telah diterbitkan
sebagai novel oleh Kepustakaan Populer Gramedia (KPG) dengan judul "Wonderful
Life". Novel dari catatan harian Amalia itu pun kini sudah diadaptasi
menjadi film memakai judul yang sama. Disutradarai Agus Makkie, film ini
akan tayang untuk umum mulai 13 Oktober 2016 di seluruh Indonesia. Siap jadi
ibu yang berbahagia bersama putra atau putri penyandang disleksia?
Sumber : Kompas | Selasa, 11 Oktober 2016
0 komentar:
Posting Komentar