M. Melinda Rahail
Fakultas Psikologi Universitas
Proklamasi 45
Yogyakarta
Isu
mengenai radikalisme semakin marak terdengar dimana-mana dan banyak generasi
muda terlibat di dalamnya. Yang menyedihkan adalah adanya radikalisme yang
telah terbentuk di dalam lingkungan pendidikan. Ironis memang jika didengar
baik-baik, karena lingkungan pendidikan yang adalah tempat menambah ilmu (bersifat membangun) dalam sekejap menjadi tempat membagi ilmu yang bersifat merusak. Bukan berarti pembentuknya
adalah rektor, dekan, dan para dosen. Tetapi dari pihak-pihak yang tidak
bertanggung jawab, mereka telah mengambil kesempatan dengan memasuki
perguruan-perguruan tinggi di Indonesia dan mencoba untuk mengubah pola pikir
para mahasiswa supaya sejalan dan selaras dengan yang mereka harapkan, yakni
dengan membuat gagasan-gagasan palsu atau dikarang oleh mereka yang
menginginkan perubahan sosial dan politik dengan drastis dan menggunakan cara
kekerasan.
Bukan
lagi rahasia, jikalau ada banyak generasi muda yang terpengaruh dan malahan
direkrut menjadi teroris. Sadisnya, yang direkrut bukan hanya pria tetapi juga
para gadis dimana umur merekapun tergolong masih sangat muda dan ada beberapa
sumber berita yang mengatakan bahwa para gadis itu, ada yang memilih kembali
pada keluarganya namun ada yang memilih memutuskan komunikasi dengan
keluarganya dan fokus pada pilihannya. Tetapi ada lagi, mereka sudah kembali
pada keluarganya dan memilih meninggalkan keluarga untuk yang ke 2 kalinya dan
kembali pada kelompok radikalnya, keputusan terakhir mungkin akan memutuskan
hubungan dengan keluarganya. Penyebab mengapa mereka kembali pada kelompok
tersebutpun belum ditemukan, apakah karena diancam akan dibunuh (baik dia
maupun keluarganya) atau negara mereka akan diserang.
Tentu
saja hal yang menyangkut radikalisme dan terorisme itu sangat merisaukan
berbagai pihak karena akan sering terjadi perang, bom dimana-mana dan
pembunuhan. Jikalau generasi muda dituntun ke arah yang keliru, salah dan
membingungkan maka mereka akan terbentuk menjadi orang yang (mungkin) tidak
akan pernah bisa mengenal diri mereka sendiri. Kata lain “JATI DIRI” mereka
hilang, mereka akan bingung menentukan pilihan untuk ke depannya. Karena mereka
akan selalu keliru memilih hal-hal yang malahan membuat rasa bersalah mereka
semakin besar, walaupun mereka mencoba untuk mereduksi rasa bersalah tersebut.
Menurut
saya alasan para teroris memilih generasi muda adalah karena generasi muda merupakan
kelompok generasi yang masih labil dan sangat mudah dipengaruhi, apalagi jika
ada gagasan- gagasan (para teroris) yang sesuai dengan pola pikir seorang
remaja. Hal itu dengan mudah terjadi karena ada hal-hal tertentu yang tidak
disetujui oleh seorang remaja yang terjadi. Misalnya: seorang remaja yang tidak
setuju dengan keputusan pemerintah, ia akhirnya mengikuti kelompok-kelompok
tertentu untuk demo malahan sampai melakukan perilaku anarkis.
Entah
bagaimana pola pikir sebagaian generasi muda jaman sekarang, mereka sangat
mudah terpengaruh terutama dari media sosial. Tanpa berpikir terlebih dahulu
mereka lantas memilih untuk bergabung dengan group teroris di dunia maya. Padahal mereka bisa dituntut untuk
segera bergabung secara resmi ke dalam kelompok radikal tersebut dan resiko
serta dampak yang diterima
generasi muda tidak main-main. Bukan hanya pada segi fisik, seperti luka karena
berkelahi atau bahkan mati, tetapi psikis pun sangat terpengaruh, seperti
depresi karena ditolak oleh keluarganya yang tidak menyetujui keputusannya,
sulit mengontrol emosi (bisa menjadi pribadi yang mudah marah) dan frustasi
karena sampai kapanpun paham atas perubahan drastis secara kekerasan itu tidak
akan pernah dapat direalisasikan dengan sempurna.
Terlepas
dari berbagai alasan terjadinya radikalisme, mari kita bahas mengenai cara
untuk menyelamatkan generasi muda di
lingkungan sekolah dari persoalan radikalisme
1. Para pengajar (guru dan dosen).
Mereka (guru
dan dosen) memegang peranan penting dalam pengoprasian pola pikir seorang anak
(anak didiknya), jadi sebagian besar nasihat atau kata-kata yang diberikan oleh
pengajar akan mudah diingat oleh anak didiknya dan bahkan dapat diterapkan
dalam kehidupan sehari-sehari. Baik melalui interaksi dengan teman sekolah,
teman kompleks, lingkungan tempat tinggalnya bahkan dengan keluarganya sendiri.
Sehingga jikalau ada pemahaman-pemahaman yang keliru atau yang dapat membuat
mereka terjerumus dalam hal-hal yang bersifat radikal mampu ditolaknya. Selain
nasihat, para guru dan dosen juga harus sering-sering mengajak anak didiknya
untuk rajin melakukan ibadah. Lepaskan
pertanyaan “Apa agamamu?”, tetapi eratkan pertanyaan “Bagaimana hubunganmu
dengan Tuhan? Apakah sudah berdoa dan bersyukur hari ini?”. Karena semakin
dekat seseorang dengan Tuhan, maka ia pun akan semakin sering berdoan dan membaca
Kitab Suci yang berisi perumpamaan-perumpamaan dan arahan untuk melakukan
hal-hal baik dan berbagi hal yang
ditentang oleh Tuhan juga ada disitu. Sehingga mereka dapat belajar memilih
‘mana yang harus dilakukan dan mana yang tidak boleh dilakukan’.
2. Keluarga.
Keluarga
merupakan kunci utama pembentuk kepribadian anak. Jika orang tua sangat peduli,
selalu memperhatikan dan sering memberikan nasihat atau kata bijak pada anak
maka anakpun akan mengikuti kata-kata orang tuanya. Dan walaupun nasihat
tersebut ditanamkan dari kecil, tidak berarti saat anak beranjak remaja akan
melupakan semuanya. Karena, itu sudah terbentuk di alam bawah sadarnya sehingga
apapun yang akan dilakukan si anak (bersifat negatif) akan selalu diingatkan
oleh alam bawah sadar mengenai nasihat orang tuanya itu. Dan nasehat-nasehat
tersebut bisa juga dibagikan pada teman karib atau sahabatnya. Sehingga mereka dapat bekerja sama menentang
dan mencegah peredaran radikalisme. Disisi lain, orang tuapun harus memberikan
teladan yang baik dalam sikap dan perkataan, dan selalu mengajak anaknya untuk
bedoa.
3. Sekolah
Sebaiknya
sekolah membuat kegiatan ekstrakulikuler yang menarik minat pelajar, sehingga
pelajar bisa lebih menghabiskan waktu untuk hal—hal positif yang juga
meningkatkan kemampuannya terhadap suatu bidang atau membuat pelajar mengenali
suatu ketrampilan yang sebelumnya sama
sekali tidak ia ketahui. Sehingga para pelajar bisa mengabiskan waktu untuk hal
yang positif daripada bergabung dengan
kelompok-kelompok radikalisme. Selain itu, sebaiknya pihak sekolah lebih sering
melakukan pementasan seni tradisional melalui lomba baik menyanyikan lagu
daerah, memasak makanan daerah dan menari tarian daerah sehingga kecintaan
generasi muda terhadap daerahnya tidak musnah karena perkembangan globalisasi.
Memang
tak dapat dipungkiri, jika generasi muda yang adalah tongkat estafet suatu
bangsa. Dan sebagai tongkat estafet di negara tercinta, Indonesia, generasi
muda seharusnya mampu memilah hal-hal yang patut dan tidak patut untuk
dilakukan. Apalagi penyebaran isu radikalisme sangat cepat (seperti jet) ke berbagai daerah bahkan pelosok
desa. Biasanya bisa secara oral,
melalui buku atau media, baik cetak maupun elektronik.
Saran
saya kepada generasi muda, sebagai generasi muda yang berpendidikan, kita harus
menunjukan kualitas pribadi primadona, dengan prestasi dan sikap khas negara
kita seperti bersikap baik, ramah, murah senyum dan bukan kualitas pribadi
jebolan (seperi kekerasan, merusak, dan membunuh) yang hanya merusak citra
diri sendiri serta menjatuhkan nama negara di kanca dunia.
0 komentar:
Posting Komentar