6.11.25

 



                                            Nama: Mutiara Harwinda Cahya Mentari 

                                            NIM: 24310420064

                                            Mata Kuliah: Psikologi Inovasi A 

Berikut analisis terhadap kebijakan Dedi Mulyadi (Gubernur Jawa Barat) yang mengirim siswa “nakal” atau sulit diatur ke pendidikan ala militer, dengan menggunakan kerangka pemikiran dari Sarlito Wirawan Sarwono dan juga beberapa temuan umum tentang kedisiplinan dan kenakalan remaja. 
Menurut saya  Paul A. Bell tidak banyak memiliki reverensi untuk menjelaskan mengenai kenakalan remaja dan skema yang dilakukan oleh Dedi Mulyadi maka dari itu saya akan fokus pada Sarwono, dan menyebut keterbatasannya.

Sarwono mendefinisikan kenakalan remaja sebagai tindakan oleh seseorang yang belum dewasa yang secara sadar melanggar norma/hukum atau status yang melekat pada dirinya (misalnya status sebagai pelajar).


 beberapa hal yang menjadi point penanggulangan harus mencakup:

1. Pengasuhan oleh orang tua dalam suasana yang stabil dan menggembirakan. 

2. Pendidikan agama, mental, budi pekerti dan disiplin yang tepat menurut perkembangan umur dan lingkungan sosialnya. 

3. Peran lingkungan (keluarga, sekolah, masyarakat) dalam membimbing remaja agar tidak jatuh ke perilaku menyimpang. 

4, pemahaman bahwa kedisiplinan yang baik berkorelasi dengan penurunan kenakalan remaja. 


Pendekatan “hanya hukuman/pengukuran kedisiplinan” bila tidak memperhitungkan kebutuhan emosional, pengaturan diri, pengaruh lingkungan dan hak anak, bisa menimbulkan permasalahan. 

Beberapa fakta utama program Gubernur Dedi Mulyadi, menjadwalkan siswa bermasalah (misalnya bolos, tawuran, mabuk, main game malam, sulit diatur) untuk mengikuti pendidikan ala militer di barak militer selama durasi tertentu (14 hari hingga 6 bulan) bersama unsur TNI/Polri. 
Program ini disebut bukan hukuman, tetapi pembinaan karakter, kedisiplinan, mental dan fisik. 
Selepas barak militer, direncanakan sekolah khusus/pasca pembinaan agar hasilnya berkelanjutan.
Ada pro dan kontra, pihak yang mendukung melihat ini sebagai pendekatan tegas untuk menangani kenakalan; pihak yang menolak menyoroti aspek hak anak, kualitas pembinaan, konstruksi “anak nakal”, dan apakah metode ala militer efektif atau malah kontraproduktif.

Analisis berdasarkan kerangka Sarwono
Berdasarkan kerangka Sarwono, berikut beberapa poin yang mendukung maupun yang menjadi catatan/care-point terhadap kebijakan tersebut:

Fokus pada kedisiplinan
Sarwono menilai bahwa kedisiplinan memiliki korelasi terbalik dengan kenakalan remaja. 

Program militer ini memang sangat menekankan rutinitas, aturan, bangun pagi, baris-berbaris, serta pembentukan mental dan fisik seperti yang diklaim oleh gubernur. Hal ini bisa dilihat sebagai usaha untuk “memperkuat kedisiplinan” yang menurut kerangka Sarwono positif.
Lingkungan yang berbeda/break dari lingkungan lama

Salah satu tantangan remaja bermasalah adalah lingkungan lama yang menguatkan perilaku negatif (teman, pergaulan, kebiasaan). Program ini memutus dulu lingkungan lama dan membawa mereka ke setting baru (barak militer) yang berbeda. Ini selaras dengan pemikiran bahwa lingkungan penting dalam penanganan kenakalan.

Langkah lanjut/pasca pembinaan
Sarwono menekankan bahwa pembinaan harus sesuai dengan perkembangan usia dan lingkungan sosialnya, bukan hanya pengaturan fisik/hukuman. Rencana sekolah khusus pasca-barak menunjukkan ada upaya kesinambungan, bukan hanya “dikembalikan ke rumah” saja. Ini merupakan aspek positif jika memang diimplementasikan dengan baik.

Poin yang menjadi catatan atau tantangan
Label “anak nakal” dan definisi masalah
Sarwono menekankan bahwa kenakalan remaja adalah perilaku yang secara sadar melanggar norma/hukum.

 Namun dalam kebijakan terlihat bahwa kriteria siswa yang dikirim termasuk yang “suka main game malam”, “bolos”, “nongkrong”, “main Mobile Legends”, “tidak bisa bangun pagi”, dll. 

Artinya, sebagian kriteria ini mungkin belum sampai pada level pelanggaran norma/hukum yang jelas atau secara psikologis belum tentu merupakan “kenakalan remaja” sesuai definisi Sarwono. Karena itu, ada potensi bahwa intervensi dilakukan sebelum analisis mendalam terhadap akar penyebab, sehingga risiko memberi label yang kurang tepat dan kemudian menerima intervensi yang sangat kuat.
Pendekatan ala militer sebagai “respon utama”
Sarwono lebih menekankan pendidikan agama, mental, budi pekerti, lingkungan yang stabil, pengasuhan orang tua, pengawasan sosial. 


Sementara kebijakan ini menggunakan setting militer yang sangat terstruktur dan ketat. Jika hanya mengandalkan ketertiban fisik dan aturan eksternal tanpa memperkuat aspek internal (motivasi, kontrol diri, identitas positif, hubungan dengan orang tua/keluarga) maka bisa jadi perubahan menjadi superficial atau sementara.

Durasi dan kesinambungan
Sarwono menekankan bahwa upaya penanggulangan harus sesuai dengan perkembangannya dan lingkungan sosial. Jika program militer hanya berlangsung beberapa minggu/ bulan tetapi kemudian siswa dikembalikan ke lingkungan lama tanpa dukungan lanjutan, maka potensi “kambuh” tinggi. Kebijakan memang menghindari hal tersebut dengan sekolah khusus, namun implementasi dan kualitasnya masih menjadi tantangan.

Hak anak & aspek psikososial
Ada catatan dari pihak hak anak bahwa setting militer bisa konflik dengan hak anak (misalnya kebebasan, pengawasan ketat, tekanan fisik/psikologis) jika tidak diatur dengan baik. 

 Sarwono secara implisit mendorong pendekatan yang tidak hanya keras tetapi juga membimbing dengan kepekaan terhadap psikologi remaja. Jika pendekatan terlalu militeristik tanpa memperhatikan aspek perkembangan remaja, bisa menimbulkan efek negatif.

Kesimpulan dan rekomendasi
Secara keseluruhan, kebijakan Dedi Mulyadi memiliki unsur-unsur yang sesuai dengan beberapa aspek teori Sarwono — yaitu memperkuat kedisiplinan, mengganti lingkungan lama yang bermasalah, dan merencanakan keberlanjutan pembinaan. Namun ada beberapa catatan penting agar kebijakan ini efektif dan tidak kontraproduktif:

Perlu analisis akar penyebab: Sebelum “dititipkan” ke barak militer, siswa perlu dievaluasi: kenapa mereka terlibat perilaku bermasalah? Apakah karena lingkungan, keluarga, trauma, kecanduan, minim dukungan, kurang kontrol diri? Tanpa memahami ini, pendekatan militeristik bisa jadi hanya menutupi masalah, bukan menyelesaikannya.

Pendekatan yang seimbang: Kedisiplinan penting, tetapi juga harus dibarengi dengan penguatan aspek internal (motivasi, kontrol diri, identitas, relasi sosial, orang tua, guru). Instrumen militer tidak bisa sendirian menjadi solusi.

Keberlanjutan dan integrasi: Setelah periode militer, dibutuhkan integrasi kembali ke sekolah/keluarga/masyarakat dengan dukungan terus-menerus supaya perubahan sikap dan perilaku bisa dipertahankan.

Perlindungan hak anak: Pastikan bahwa pembinaan tidak menggunakan hukuman fisik atau metode yang melanggar hak anak. Transparansi, pemantauan independen, dan evaluasi berkala penting.
Evaluasi hasil dan bukti empiris: Perlu data jangka panjang: berapa banyak siswa yang setelah mengikuti program benar-benar berubah perilaku, kembali ke sekolah atau kerja, dan tidak kembali ke kenakalan? Evaluasi ini penting agar kebijakan benar-benar efektif, bukan hanya retorika.




Daftar Pustaka 

Bell, P. A., Greene, T. C., Fisher, J. D., & Baum, A. (2001). Environmental psychology (5th ed.). Fort Worth, TX: Harcourt College Publishers.
Patimah, S., Nuraini, L., & Rachman, A. (2024). Psikologi sosial dan perilaku remaja dalam konteks pendidikan karakter. Bandung: Pustaka Humaniora.
Sarwono, S. W. (1995). Psikologi remaja. Jakarta: Rajawali Press.
Sarwono, S. W. (2011). Psikologi sosial: Individu dan teori-teori psikologi sosial. Jakarta: Balai Pustaka.

Berkas DPR RI. (2025, Mei). Isu Sepekan II – Pendidikan ala militer bagi siswa bermasalah di Jawa Barat. Pusat Penelitian DPR RI.
https://berkas.dpr.go.id/pusaka/files/isu_sepekan/Isu%20Sepekan---II-PUSLIT-Mei-2025-2441.pdf
Kompas.com. (2025, Mei 3). Dedi Mulyadi tegaskan pengiriman siswa “nakal” ke barak militer bukan hukuman.
https://www.kompas.com/jawa-barat/read/2025/05/03/163835688/dedi-mulyadi-tegaskan-pengiriman-siswa-nakal-ke-barak-militer-bukan
Kompas.com. (2025, Mei 6). Dedi Mulyadi cegah siswa kambuh nakal dengan sekolah pasca-pembinaan.
https://www.kompas.com/jawa-barat/read/2025/05/06/111300088/dedi-mulyadi-cegah-siswa-kambuh-nakal-dengan-sekolah-khusus-pasca
Megapolitan Kompas. (2025, Mei 12). Kirim siswa “nakal” ke barak militer, Dedi Mulyadi dianggap tak pahami hak anak.
https://megapolitan.kompas.com/read/2025/05/12/18363111/kirim-siswa-nakal-ke-barak-militer-dedi-mulyadi-dianggap-tak-paham
Pikiran Rakyat Temanggung. (2024, Oktober 14). Kenakalan pelajar menurut Sarlito W. Sarwono adalah tindakan oleh seseorang yang belum dewasa yang melanggar norma.
https://temanggung.pikiran-rakyat.com/pendidikan/pr-2617228589/kenakalan-pelajar-atau-remaja-menurut-sarlito-w-sarwono-adalah-tindakan-oleh-seseorang-yang-belum-dewasa-yang
Digital Library UMP. (t.t.). Penanggulangan kenakalan remaja menurut Sarlito W. Sarwono.
https://digitallibrary.ump.ac.id/253/
Walisongo Journal. (2018). Hubungan kedisiplinan dengan kenakalan remaja. Sawwa: Jurnal Studi Gender, 13(2), 145–160.
https://journal.walisongo.ac.id/index.php/sawwa/article/view/1458
Brill Journal of Children’s Rights. (2017). Military-style discipline and the rights of the child: Comparative perspectives. The International Journal of Children’s Rights, 25(2), 359–382.
https://brill.com/view/journals/chil/25/2/article-p359_359.xml.

0 komentar:

Posting Komentar