UTS PSIKOLOGI INOVASI
Analisis Cara KDM Menangani Remaja ‘Unik’ melalui Perspektif Teori Persepsi Paul A. Bell
Kania
Ika Mudmainnah
23310410034
Psikologi
Inovasi
Dosen
Pengampu Dr., Dra. ARUNDATI SHINTA, MA
Fakultas
Psikologi Universitas Proklamasi 45
Yogyakarta
Fenomena
cara Kang Dedi Mulyadi (KDM), Gubernur Jawa Barat, dalam menangani remaja
“unik” anak-anak yang menunjukkan perilaku menyimpang seperti merokok, tawuran,
membolos, hingga melawan orang tua menjadi sorotan publik karena keberhasilan
pendekatannya yang tidak biasa. Sementara di banyak daerah penanganan remaja
bermasalah dilakukan dengan memasukkan mereka ke pesantren atau, jika
pelanggarannya berat, ke lembaga pemasyarakatan khusus, KDM justru memilih
langkah berbeda: ia “memaksa” remaja tersebut masuk ke barak militer selama
beberapa bulan. Meskipun terdengar keras dan otoriter, cara ini mendapatkan
dukungan penuh dari orang tua yang bahkan harus menandatangani surat
persetujuan bermeterai. Menariknya, setelah menjalani pembinaan, banyak remaja
berubah menjadi lebih disiplin, sopan, dan mampu merencanakan masa depannya
dengan lebih baik. Mengapa metode ini efektif? Untuk menjawabnya, pendekatan
teori persepsi Paul A. Bell dkk. menjadi relevan.
Menurut
Paul A. Bell, persepsi seseorang terbentuk melalui hubungan antara stimulus,
organisme, dan respon. Persepsi yang muncul akan membentuk perilaku, dan
perilaku yang dilakukan berulang-ulang akan membentuk kebiasaan. Dalam konteks
KDM, stimulus pertama yang ia tangkap adalah kondisi sosial remaja Jawa Barat
yang cukup memprihatinkan. Ia menyaksikan langsung fenomena anak-anak yang
kehilangan kontrol diri, minim disiplin, dan tidak memiliki tujuan hidup yang
jelas. Banyak dari mereka menghabiskan waktu di jalanan, melakukan kenakalan
remaja, hingga terlibat dalam konflik antar kelompok. Lebih dari itu, KDM
melihat bahwa banyak orang tua tidak lagi mampu mengarahkan anak-anak mereka.
Sebagian takut, sebagian lelah, dan sebagian lagi sudah menyerah pada perilaku
anak. Semua ini menjadi stimulus kuat yang membentuk cara pandangnya bahwa
remaja bermasalah bukan sekadar nakal, melainkan produk dari lingkungan yang
kurang terstruktur.
Komponen
kedua dalam teori Bell adalah organisme, yakni faktor internal yang
mempengaruhi cara seseorang menafsirkan stimulus. Dalam hal ini, KDM memiliki
latar belakang kehidupan yang keras dan penuh kedisiplinan. Ia tumbuh di
keluarga sederhana, terbiasa bekerja keras, dan memegang teguh nilai-nilai
budaya Sunda seperti gotong royong, hormat terhadap orang tua, dan pentingnya
etika sosial. Pengalaman hidup itulah yang membentuk persepsinya bahwa karakter
bukan sesuatu yang tumbuh secara alamiah, melainkan perlu dibangun secara
konsisten melalui pembiasaan. Selain itu, pengalamannya sebagai pemimpin daerah
membuatnya memahami pola masyarakat secara mendalam: remaja yang dibiarkan
tanpa kontrol akan semakin liar, tetapi remaja yang diarahkan dengan tegas akan
kembali pada jalur yang benar. Nilai dan pengalaman tersebut membuatnya
meyakini bahwa perubahan remaja bermasalah harus dimulai dari lingkungan yang
mampu memberi struktur ketat.
Ketika
stimulus dan organisme bertemu, maka menghasilkan respon yakni tindakan nyata.
Berangkat dari persepsi bahwa remaja membutuhkan pembiasaan melalui lingkungan
terstruktur, KDM membangun sistem pembinaan berbasis barak militer. Di barak
itu, remaja dilatih bangun pagi, berdoa, berolahraga, menjaga kebersihan, makan
tepat waktu, mengikuti instruksi, dan belajar dengan teratur. Pola aktivitas
ini diulang setiap hari selama berbulan-bulan, menciptakan perubahan perilaku
yang konsisten. Respon ini mencerminkan pandangan bahwa perilaku baru tidak
akan terbentuk hanya dengan nasihat, tetapi harus melalui pembiasaan,
pengulangan, dan pengalaman langsung. Oleh karena itu, pendekatan KDM jauh
lebih bersifat behavioral mengubah perilaku terlebih dahulu untuk kemudian
mengubah cara berpikir remaja.
Dalam
perspektif psikologi inovasi, apa yang dilakukan KDM dapat disebut sebagai
strategi perubahan radikal yang berbasis pengalaman langsung (experiential
transformation). KDM tidak hanya memberikan ceramah, melainkan menciptakan
sistem yang memaksa remaja menjalani perilaku baru dalam waktu lama. Melalui
teori Bell, kita memahami bahwa lingkungan barak menjadi stimulus baru yang
kemudian menanamkan persepsi baru pada remaja. Mereka dipersepsikan kembali
sebagai individu yang mampu disiplin, bertanggung jawab, dan memiliki masa
depan. Persepsi baru ini memicu respon baru, dan pada akhirnya membentuk
kebiasaan baru. Setelah mereka keluar dari barak, perubahan perilaku yang
terjadi bukan lagi bersifat sementara, tetapi berakar pada kebiasaan yang telah
terbentuk melalui latihan harian.
Dengan
demikian, metode KDM tampak ekstrem, tetapi selaras dengan teori psikologi
perilaku dan persepsi. Ia memahami bahwa perilaku manusia dapat berubah drastis
ketika lingkungan dan kebiasaan dirombak total. Pendekatan ini mungkin
kontroversial, tetapi keberhasilannya menunjukkan bahwa kadang perubahan besar
membutuhkan tindakan yang tidak biasa. Dalam kasus para remaja “unik” di Jawa
Barat, KDM berhasil membuktikan bahwa kedisiplinan yang dibangun melalui
struktur ketat dapat menjadi jalan menuju transformasi diri.
Daftar
Pustaka
Ahmadi,
A. (2009) Psikologi sosial. Rineka Cipta.
Azwar,
S. (2012). Psikologi perkembangan. Pustaka Pelajar.
Hurlock,
E. B. (1991). Psikologi perkembangan: Suatu pendekatan sepanjang rentang
kehidupan. Erlangga.
Mussen, P. H., Conger, J. J., Kagan, J., & Huston, A. C. (1994). Perkembangan dan kepribadian anak. Penerbit Erlangga.

0 komentar:
Posting Komentar