6.11.25

ESAI 8-UTS PSIKOLOGI INOVASI

 

UTS PSIKOLOGI INOVASI

Analisis Cara KDM Menangani Remaja ‘Unik’ melalui Perspektif Teori Persepsi Paul A. Bell



Kania Ika Mudmainnah

23310410034

Psikologi Inovasi

Dosen Pengampu Dr., Dra. ARUNDATI SHINTA, MA

Fakultas Psikologi Universitas Proklamasi 45

Yogyakarta

Fenomena cara Kang Dedi Mulyadi (KDM), Gubernur Jawa Barat, dalam menangani remaja “unik” anak-anak yang menunjukkan perilaku menyimpang seperti merokok, tawuran, membolos, hingga melawan orang tua menjadi sorotan publik karena keberhasilan pendekatannya yang tidak biasa. Sementara di banyak daerah penanganan remaja bermasalah dilakukan dengan memasukkan mereka ke pesantren atau, jika pelanggarannya berat, ke lembaga pemasyarakatan khusus, KDM justru memilih langkah berbeda: ia “memaksa” remaja tersebut masuk ke barak militer selama beberapa bulan. Meskipun terdengar keras dan otoriter, cara ini mendapatkan dukungan penuh dari orang tua yang bahkan harus menandatangani surat persetujuan bermeterai. Menariknya, setelah menjalani pembinaan, banyak remaja berubah menjadi lebih disiplin, sopan, dan mampu merencanakan masa depannya dengan lebih baik. Mengapa metode ini efektif? Untuk menjawabnya, pendekatan teori persepsi Paul A. Bell dkk. menjadi relevan.

Menurut Paul A. Bell, persepsi seseorang terbentuk melalui hubungan antara stimulus, organisme, dan respon. Persepsi yang muncul akan membentuk perilaku, dan perilaku yang dilakukan berulang-ulang akan membentuk kebiasaan. Dalam konteks KDM, stimulus pertama yang ia tangkap adalah kondisi sosial remaja Jawa Barat yang cukup memprihatinkan. Ia menyaksikan langsung fenomena anak-anak yang kehilangan kontrol diri, minim disiplin, dan tidak memiliki tujuan hidup yang jelas. Banyak dari mereka menghabiskan waktu di jalanan, melakukan kenakalan remaja, hingga terlibat dalam konflik antar kelompok. Lebih dari itu, KDM melihat bahwa banyak orang tua tidak lagi mampu mengarahkan anak-anak mereka. Sebagian takut, sebagian lelah, dan sebagian lagi sudah menyerah pada perilaku anak. Semua ini menjadi stimulus kuat yang membentuk cara pandangnya bahwa remaja bermasalah bukan sekadar nakal, melainkan produk dari lingkungan yang kurang terstruktur.

    Komponen kedua dalam teori Bell adalah organisme, yakni faktor internal yang mempengaruhi cara seseorang menafsirkan stimulus. Dalam hal ini, KDM memiliki latar belakang kehidupan yang keras dan penuh kedisiplinan. Ia tumbuh di keluarga sederhana, terbiasa bekerja keras, dan memegang teguh nilai-nilai budaya Sunda seperti gotong royong, hormat terhadap orang tua, dan pentingnya etika sosial. Pengalaman hidup itulah yang membentuk persepsinya bahwa karakter bukan sesuatu yang tumbuh secara alamiah, melainkan perlu dibangun secara konsisten melalui pembiasaan. Selain itu, pengalamannya sebagai pemimpin daerah membuatnya memahami pola masyarakat secara mendalam: remaja yang dibiarkan tanpa kontrol akan semakin liar, tetapi remaja yang diarahkan dengan tegas akan kembali pada jalur yang benar. Nilai dan pengalaman tersebut membuatnya meyakini bahwa perubahan remaja bermasalah harus dimulai dari lingkungan yang mampu memberi struktur ketat.

Ketika stimulus dan organisme bertemu, maka menghasilkan respon yakni tindakan nyata. Berangkat dari persepsi bahwa remaja membutuhkan pembiasaan melalui lingkungan terstruktur, KDM membangun sistem pembinaan berbasis barak militer. Di barak itu, remaja dilatih bangun pagi, berdoa, berolahraga, menjaga kebersihan, makan tepat waktu, mengikuti instruksi, dan belajar dengan teratur. Pola aktivitas ini diulang setiap hari selama berbulan-bulan, menciptakan perubahan perilaku yang konsisten. Respon ini mencerminkan pandangan bahwa perilaku baru tidak akan terbentuk hanya dengan nasihat, tetapi harus melalui pembiasaan, pengulangan, dan pengalaman langsung. Oleh karena itu, pendekatan KDM jauh lebih bersifat behavioral mengubah perilaku terlebih dahulu untuk kemudian mengubah cara berpikir remaja.

Dalam perspektif psikologi inovasi, apa yang dilakukan KDM dapat disebut sebagai strategi perubahan radikal yang berbasis pengalaman langsung (experiential transformation). KDM tidak hanya memberikan ceramah, melainkan menciptakan sistem yang memaksa remaja menjalani perilaku baru dalam waktu lama. Melalui teori Bell, kita memahami bahwa lingkungan barak menjadi stimulus baru yang kemudian menanamkan persepsi baru pada remaja. Mereka dipersepsikan kembali sebagai individu yang mampu disiplin, bertanggung jawab, dan memiliki masa depan. Persepsi baru ini memicu respon baru, dan pada akhirnya membentuk kebiasaan baru. Setelah mereka keluar dari barak, perubahan perilaku yang terjadi bukan lagi bersifat sementara, tetapi berakar pada kebiasaan yang telah terbentuk melalui latihan harian.

Dengan demikian, metode KDM tampak ekstrem, tetapi selaras dengan teori psikologi perilaku dan persepsi. Ia memahami bahwa perilaku manusia dapat berubah drastis ketika lingkungan dan kebiasaan dirombak total. Pendekatan ini mungkin kontroversial, tetapi keberhasilannya menunjukkan bahwa kadang perubahan besar membutuhkan tindakan yang tidak biasa. Dalam kasus para remaja “unik” di Jawa Barat, KDM berhasil membuktikan bahwa kedisiplinan yang dibangun melalui struktur ketat dapat menjadi jalan menuju transformasi diri.

Daftar Pustaka

Ahmadi, A. (2009) Psikologi sosial. Rineka Cipta.

Azwar, S. (2012). Psikologi perkembangan. Pustaka Pelajar.

Hurlock, E. B. (1991). Psikologi perkembangan: Suatu pendekatan sepanjang rentang kehidupan. Erlangga.

Mussen, P. H., Conger, J. J., Kagan, J., & Huston, A. C. (1994). Perkembangan dan kepribadian anak. Penerbit Erlangga.

0 komentar:

Posting Komentar