ESAI 2
WAWANCARA TENTANG DISONANSI KOGNITIF
Tugas Psikologi Inovasi
Johanes Gerandtino 23310410064
Dosen Pengampu Dra. Arundati Shinta, M.A
Program Studi Psikologi
Fakultas Psikologi Universitas Proklamasi 45
Tahun 2025
Saya mendapat tugas untuk memahami fenomena disonansi kognitif melalui wawancara. Saya memilih seorang petugas keamanan dengan inisial B yang saya tahu adalah seorang perokok berat. Saya memilih Bapak B karena beliau tahu persis bahaya merokok, tapi tetap melakukannya setiap hari, yang merupakan contoh sempurna dari disonansi kognitif. Saya mewawancarai Bapak B pada tanggal 22 Juli 2025.
Saat saya bertanya tentang kebiasaan merokoknya, Bapak B tidak memungkiri bahwa ia tahu merokok itu berbahaya. "Tahu, Mas. Di bungkusnya kan ada gambarnya," ujarnya sambil tertawa. "Tapi ya gimana, sudah kebiasaan dari muda. Kalau enggak merokok, rasanya ada yang kurang."
Dari percakapan kami, saya mengamati bahwa Bapak B menunjukkan beberapa mekanisme pertahanan diri untuk mengurangi ketidaknyamanan akibat disonansi kognitif yang ia rasakan. Ini adalah sebuah upaya untuk menjembatani jurang antara pengetahuan (merokok itu berbahaya) dan perilakunya (merokok setiap hari).
Rasionalisasi
Bapak B berusaha mencari alasan pembenaran yang logis untuk tindakannya. Ia tidak membantah fakta ilmiah, namun ia meminimalisir bahaya tersebut dengan membandingkannya dengan hal lain.
Saya: "Bapak tahu kan, bahaya merokok itu bisa menyebabkan kanker?"
Bapak B: "Iya, Mas. Tapi ya namanya hidup, mau makan apa saja juga bisa kena penyakit. Teman saya yang enggak pernah merokok juga kena penyakit. Jadi, ya sama saja."
Melalui pernyataan ini, Bapak B menciptakan kesetaraan risiko antara merokok dan aktivitas hidup lainnya, yang secara tidak langsung menjustifikasi kebiasaan merokoknya. Ia merasionalisasi bahwa tidak ada jaminan hidup sehat, meskipun ia tidak merokok.
Penyangkalan (Denial)
Meski secara verbal ia mengakui bahaya merokok, dalam praktiknya ia menyangkal konsekuensi yang akan menimpanya secara pribadi. Ia meyakini bahwa bahaya itu hanya berlaku bagi orang lain, bukan dirinya.
Saya: "Tidak ada rencana untuk berhenti, Pak?"
Bapak B: "Nanti, Mas. Belum sekarang. Saya masih kuat kok. Olahraga juga masih jalan."
Pernyataan ini menunjukkan bahwa ia menunda atau bahkan menolak realitas bahaya yang mengancamnya. Ia merasa kebugaran fisiknya saat ini menjadi bukti bahwa merokok belum berdampak buruk baginya, sehingga ia bisa menunda upaya berhenti.
Minimalisasi Bahaya
Bapak B juga berusaha mengecilkan tingkat bahaya merokok dengan cara membandingkan dirinya dengan perokok lain yang lebih parah.
Saya: "Sehari habis berapa bungkus, Pak?"
Bapak B: "Satu bungkus, Mas. Enggak banyak-banyak kok. Teman saya ada yang sehari dua bungkus."
Ia berusaha membuat perilakunya terlihat "wajar" dan tidak terlalu ekstrem dibandingkan dengan orang lain. Dengan begitu, ia merasa disonansi kognitif yang ia alami tidak terlalu besar.
Wawancara dengan Bapak B ini menunjukkan bahwa disonansi kognitif adalah kondisi psikologis yang nyata. Seseorang bisa memiliki pengetahuan yang benar, namun perilakunya bertentangan dengan pengetahuan itu. Melalui mekanisme pertahanan diri seperti rasionalisasi, penyangkalan, dan minimalisasi, individu seperti Bapak B berusaha mempertahankan citra diri positif dan mengurangi ketidaknyamanan yang muncul dari konflik kognitif tersebut. Ini yang membuat perubahan perilaku menjadi sangat sulit. Mereka tidak menolak fakta, tetapi menemukan cara untuk hidup berdampingan dengan fakta tersebut tanpa mengubah kebiasaan.
0 komentar:
Posting Komentar