ESAI 9 – MENJADI MAHASISWA INOVATIF DI ERA TEKNOLOGI : JALAN MENUJU
PENINGKATAN DIRI DAN LINGKUNGAN
Oleh :
Nama : Bunga Anggreani
NIM : 22310410169
Dosen Pengampu:
Dr. Dra. Arundati Shinta MA
Fakultas
Psikologi
Universitas
Proklamasi 45 Yogyakarta
Yogyakarta
2025
Di tengah laju zaman yang
bergerak semakin cepat, mahasiswa tidak hanya dituntut untuk pintar secara
akademik, namun juga mampu beradaptasi, berpikir kritis, dan menciptakan
inovasi yang relevan dengan perubahan dunia. Teknologi digital telah menyentuh
hampir setiap sisi kehidupan manusia, dari cara kita berkomunikasi, belajar,
hingga bekerja. Maka, sebagai mahasiswa psikologi, sudah saatnya kita tidak
hanya menjadi pengguna pasif dari teknologi, tetapi juga pencipta inovasi baik untuk pengembangan diri maupun untuk
lingkungan sekitar.
Inovasi Diri Adaptif,
Reflektif, dan Bermakna
Aku, sebagai mahasiswa yang sedang
tumbuh dan belajar, merasa bahwa inovasi diri bukan sekadar membuat hal-hal
baru, tapi juga membentuk cara berpikir yang baru terhadap diriku sendiri dan
peranku dalam masyarakat. Inovasi dalam diri dimulai dari kebiasaan kecil:
mengatur waktu belajar dengan aplikasi digital, mengikuti webinar psikologi
dari berbagai negara, hingga menggunakan media sosial sebagai sarana berbagi
edukasi mental health yang ringan dan mudah dipahami.
Salah satu bentuk inovasi yang aku
lakukan adalah membuat akun Instagram khusus untuk berbagi konten psikologi
praktis. Aku menyadari bahwa di zaman ini, generasi muda lebih menyerap
informasi dari media sosial. Maka, aku mencoba mengemas teori-teori psikologi
seperti coping stress, manajemen emosi, hingga self-love dalam bentuk carousel
post, video singkat, dan QnA story yang menarik. Melalui langkah ini, aku tidak
hanya belajar teori, tetapi juga melatih kreativitas, empati, dan kemampuan
komunikasi digital.
Inovasi ini sejalan dengan pandangan
West & Farr (1990) yang menyatakan bahwa inovasi individu mencakup
penerapan ide, proses, atau produk baru yang bermanfaat dalam konteks tertentu.
Dalam hal ini, aku menerapkan pengetahuan psikologi dalam bentuk edukasi
digital yang relevan dengan kebutuhan masyarakat saat ini.
Inovasi untuk Lingkungan mahasiswa sebagai Agen Perubahan Sosial
Inovasi tidak cukup jika hanya berhenti pada diri sendiri.
Sebagai mahasiswa psikologi, aku percaya bahwa ilmu harus dibagikan dan memberi
manfaat sosial. Maka, aku bersama beberapa teman menginisiasi program
“PsikoSharing”, yaitu kegiatan penyuluhan psikologi dan literasi digital kepada
remaja di daerah pinggiran Yogyakarta yang memiliki keterbatasan akses internet
dan pendidikan karakter.
Program ini menggunakan metode hybrid
sebagian materi diberikan secara tatap muka di akhir pekan, sementara sebagian
lainnya disediakan melalui modul digital yang bisa diakses melalui HP atau laptop
milik karang taruna desa. Kami mengajarkan pentingnya berpikir kritis saat
berselancar di internet, cara menyaring informasi, dan mengenali hoaks, serta
membangun kepercayaan diri remaja melalui teknik CBT sederhana.
Inisiatif ini memperkuat teori Innovation
Diffusion oleh Rogers (2003), yang menjelaskan bahwa inovasi menyebar melalui
saluran komunikasi di antara anggota sistem sosial. Mahasiswa, dalam konteks
ini, berperan sebagai change agent yang membantu menyebarkan pengetahuan dan
keterampilan baru kepada komunitas.
Tantangan Inovasi di Era Teknologi
Meskipun teknologi membuka banyak
peluang, ada pula tantangan besar yang menyertai. Informasi yang begitu
melimpah dapat menimbulkan kebingungan, tekanan untuk selalu produktif, dan
kecenderungan membandingkan diri dengan orang lain secara berlebihan. Di
sinilah inovasi psikologis sangat dibutuhkan membangun digital well-being,
menjaga kesehatan mental di tengah dunia yang selalu online.
Sebagai mahasiswa, kita juga harus
menyadari bahwa inovasi bukan hanya soal teknologi canggih, tapi tentang cara
kita menggunakan teknologi untuk membangun relasi yang lebih sehat,
meningkatkan empati, dan menciptakan ruang belajar yang inklusif. Menurut
Amabile (1996), kreativitas dan inovasi tumbuh subur dalam lingkungan yang
mendukung, yang memberdayakan individu untuk bereksperimen tanpa takut gagal.
Maka, kampus dan komunitas akademik harus menciptakan atmosfer kolaboratif yang
memacu inovasi dari bawah.
Menjadi Mahasiswa Inovatif yang Manusiawi
Inovasi bukanlah sekadar jargon
dalam dunia akademik, melainkan napas dari mahasiswa yang ingin hidup bermakna.
Inovasi bukan berarti menciptakan teknologi mutakhir, tetapi mampu menghadirkan
perubahan positif, meski kecil, dalam cara kita berpikir, bertindak, dan
berkontribusi.
Sebagai mahasiswa psikologi
Universitas Proklamasi 45 Yogyakarta, aku bertekad untuk terus meng-upgrade
diriku tidak hanya dengan IPK, tapi juga dengan rasa empati, kreativitas, dan
keberanian berbagi. Di tengah dunia teknologi, aku memilih untuk tidak hanya
terkoneksi secara digital, tetapi juga secara sosial dan emosional. Karena di
situlah letak nilai sejati dari inovasi: membentuk manusia yang utuh, yang
berpikir maju tanpa kehilangan hati.
Referensi:
Amabile, T. M. (1996). Creativity in Context. Westview
Press.
Rogers, E. M. (2003). Diffusion of Innovations (5th ed.).
Free Press.
West, M. A., & Farr, J. L. (1990). Innovation and
creativity at work: Psychological and organizational strategies. Wiley.
Scott, S. G., & Bruce, R. A. (1994). Determinants of
innovative behavior: A path model of individual innovation in the workplace.
Academy of Management Journal, 37(3), 580–607.


0 komentar:
Posting Komentar