UNIVERSITAS PROKLAMASI 45
TAHUN AKADEMIK 2024/2025
Disusun oleh : Ibnu Abdul Aziz / 22310410165
Dosen Pengampu : Dr., Dra. ARUNDATI SHINTA MA
Mata Kuliah Psikologi Inovasi
Fakultas Psikologi
Universitas Proklamasi 45 Yogyakarta
Pelarian Lewat Running, Keluar Dari Zona Nyaman
Sepuluh minggu lalu, saya hanyalah pemalas yang jarang bangun pagi dan berolahraga. Bahkan, saya cenderung menghindari aktivitas fisik, apalagi yang membuat jantung berdebar dan nafas ngos-ngosan, keseharian saya lebih banyak diisi oleh duduk lama di depan laptop, bermain game online, begadang, dan alasan-alasan klasik seperti “tidak ada waktu”, “cuaca sedang tidak bagus”, atau “besok saja larinya”. Tapi ada satu hari saya merasa harus melakukan sesuatu yang lebih produktif dan sehat, bukan untuk orang lain, tapi untuk diri saya sendiri. Dan saya memutuskan untuk selalu bangun pagi, dan 2-3 kali dalam seminggu saya lari/running di pagi hari dan terkadang di sore hari.
Keputusan tersebut mungkin terdengar sederhana, bangun lebih pagi dan mulai rutin lari 2–3 kali seminggu, baik di pagi maupun sore hari. Tapi dari kebiasaan kecil itu, saya mulai menyadari banyak hal. Selama 10 minggu menjalani rutinitas lari, saya melihat adanya perubahan, bukan hanya secara fisik, tapi juga dalam pola pikir dan kebiasaan sehari-hari. Aktivitas yang awalnya terasa berat perlahan menjadi biasa-biasa saja dan senang melakukannya.
Minggu 1-2
Minggu pertama adalah fase yang paling berat. Saya hanya mampu berlari 2 km sebelum kehabisan napas. Kaki terasa berat, kaku, dada sesak, dan pikiran saya penuh dengan kalimat seperti, “Untuk apa sih kamu capek-capek begini?” Namun saya memegang komitmen saya untuk grow Up. Di minggu kedua, tubuh mulai sedikit beradaptasi. Saya mulai menemukan ritme, meskipun masih jauh dari kata “menikmati”. Tapi yang berubah perlahan adalah mental saya. Saya mulai terbiasa dengan rasa tidak nyaman, dan mulai menerima bahwa proses tidak bisa instan.
Minggu 3-4
Masuk minggu ketiga, saya merasakan peningkatan yang cukup lumayan. Nafas menjadi lebih teratur, otot-otot kaki tidak lagi terlalu kaku, dan saya mulai bisa berlari lebih jauh 4.5 km dengan sedikit berjalan. Pada titik ini, saya menyadari bahwa tubuh kita sebenarnya sangat luar biasa, ketika diberi kesempatan dan dilatih dengan konsisten, ia akan beradaptasi dan tumbuh. Menariknya, perubahan tidak hanya terjadi pada fisik. Saya mulai merasakan ketenangan pikiran setiap kali selesai berlari. Ada rasa lega, rileks, dan percaya diri. Pikiran yang biasanya penuh dengan kecemasan kini terasa lebih jernih. Lari menjadi semacam terapi yang tak saya sadari sebelumnya.
Minggu 5-6
Di minggu kelima dan keenam, saya mulai benar-benar suka pada aktivitas ini. Waktu lari bukan lagi menjadi beban, tapi malah saya tunggu-tunggu. Saya mulai mengatur jadwal makan dan tidur agar bisa bangun pagi untuk berlari. Saya membeli sepatu lari yang lebih nyaman, jam tangan serta perlengkapan lari lainya dan mulai merekam progres lewat aplikasi pelari di ponsel. Yang paling mengejutkan adalah bagaimana lari mempengaruhi sikap saya dalam kehidupan sehari-hari. Saya jadi lebih disiplin, lebih sabar, dan lebih menghargai proses. Ternyata, berlari bukan sekadar aktivitas fisik, mengajarkan saya bahwa semua hal besar dalam hidup dimulai dari langkah-langkah kecil yang diulang setiap hari.
Minggu 7-8
Tak disangka, kebiasaan lari yang saya mulai justru menarik perhatian beberapa teman sebaya. Awalnya mereka hanya iseng bertanya, tapi lama-kelamaan beberapa dari mereka ikut mencoba lari bersama saya. Kami mulai menjadwalkan waktu untuk lari bareng, entah di pagi hari saat akhir pekan, atau sore setelah kuliah dan kerja. Dari yang awalnya saya lari sendirian, kini jadi punya teman untuk saling menyemangati dan bercanda di tengah-tengah rute. Kebersamaan ini membuat kegiatan lari terasa jauh lebih menyenangkan. Kami bukan hanya berbagi rute, tapi juga cerita, keluhan, bahkan tawa lepas setelah kelelahan. Saya belajar bahwa perubahan positif bisa menular, dan dukungan dari lingkungan sekitar sangat membantu menjaga semangat tetap menyala. Lari tak lagi jadi rutinitas pribadi semata, tapi jadi bagian dari momen kebersamaan yang menyenangkan.
Minggu 9-10
Sekarang, semuanya udah mulai terasa natural. Bangun pagi buat lari udah nggak seberat dulu malah kalau nggak lari, rasanya kayak ada yang kurang. Badan juga makin enak diajak gerak. Nggak gampang capek, dan tidur jadi lebih nyenyak. Bonusnya, mood juga lebih stabil. Mungkin karena badan jadi aktif, pikiran pun ikut segar. Yang paling kerasa sih, saya jadi lebih bisa ngatur waktu. Kalau dulu sering nunda-nunda dan males gerak, sekarang jadi lebih rajin dan punya alur harian yang lebih tertata. Nggak yang langsung jadi super produktif sih, tapi setidaknya saya udah punya kebiasaan baru yang positif.
Lucunya, saya juga mulai sadar kalau lari ini ternyata bukan cuma soal olahraga. Tapi juga soal konsistensi, disiplin, dan belajar nikmatin proses. Nggak semua hari semangat, kadang males juga. Tapi karena udah jalan sejauh ini, rasanya sayang banget kalau nyerah di tengah jalan. Intinya, sepuluh minggu ini cukup ngubah cara saya lihat diri sendiri. Nggak perlu jadi atlet buat ngerasain manfaat lari cukup mulai aja dulu. Dan ternyata, sedikit demi sedikit bisa jadi perubahan yang besar juga.

0 komentar:
Posting Komentar