21.5.25

Essai 6 – 2 tips berbeda namun berhubungan, Tugas 7

 Nama  : Ramlah Asiyah Ikramalina

NIM    : 22310410178

Mata Kuliah : Psikologi Inovasi

Dosen  : Arundati Shinta

UNIVERSITAS PROKLAMASI 45

2025


Melatih Resiliensi Emosional dengan Dua Langkah Sederhana untuk Mengelola Emosi dengan Bijak

Dalam kehidupan sehari-hari, tidak jarang kita dihadapkan pada situasi yang memicu emosi negatif seperti marah, kecewa, atau frustrasi. Jika tidak dikelola dengan baik, emosi tersebut dapat mengganggu hubungan sosial, mengacaukan pengambilan keputusan, bahkan merusak kesehatan mental. Di sinilah pentingnya resiliensi emosional, yaitu kemampuan untuk tetap tenang, stabil, dan berpikir jernih di tengah tekanan. Esai ini akan membahas dua langkah sederhana yang dapat membantu meningkatkan resiliensi emosional, yaitu cara agar tidak gampang emosian dan cara agar tidak mengambil keputusan saat sedang emosi.

Salah satu aspek penting dalam membangun resiliensi emosional adalah kemampuan untuk mengenali dan mengatur emosi. Dari salah satu video edukatif yang saya tonton, dijelaskan beberapa cara praktis agar tidak mudah terpancing emosi. Langkah pertama adalah mengatur napas secara perlahan dan dalam saat merasa mulai emosi, yang membantu tubuh kembali ke keadaan tenang. Kedua, penting untuk menyadari isi pikiran negatif yang muncul tanpa langsung bereaksi terhadapnya. Ketiga, seseorang dapat mengalihkan perhatian pada hal lain untuk mencegah emosi berkembang lebih jauh. Bahkan, menjauh sejenak dari sumber konflik juga bisa membantu menurunkan intensitas emosi. Menurut Daniel Goleman (2006), “Kemampuan untuk menenangkan diri sendiri ketika marah adalah inti dari kecerdasan emosional.” Dengan melatih kontrol diri ini, kita tidak hanya menghindari ledakan emosi, tetapi juga memperkuat daya tahan mental terhadap tekanan sehari-hari.

Langkah kedua dalam membangun resiliensi emosional adalah tidak membuat keputusan penting saat emosi sedang memuncak. Emosi yang kuat dapat mengaburkan penilaian dan mendorong kita untuk bertindak secara impulsif. Misalnya, seseorang yang marah mungkin langsung mengirim pesan yang kasar, mengambil keputusan yang merugikan, atau menyakiti orang terdekat. Psikolog Guy Winch (2014) mengingatkan, “Jangan pernah mengambil keputusan permanen berdasarkan emosi sementara.” Oleh karena itu, penting untuk memberi waktu kepada diri sendiri untuk menenangkan pikiran terlebih dahulu, baik dengan menulis jurnal, curhat dengan orang yang dipercaya, atau sekadar menarik napas dan menunggu beberapa waktu. Sikap ini merupakan bagian dari resiliensi yang menunjukkan kemampuan seseorang untuk menunda reaksi emosional demi hasil jangka panjang yang lebih baik.

Resiliensi emosional bukanlah kemampuan yang dimiliki sejak lahir, melainkan keterampilan yang bisa dilatih dan dikembangkan. Dua langkah yang dibahas dalam esai ini yaitu menahan emosi agar tidak gampang meledak, dan menunda keputusan saat emosi memuncak, merupakan pondasi penting dalam membentuk ketahanan emosional yang sehat. Dengan melatih kedua hal ini secara konsisten, kita bisa menjadi pribadi yang lebih tangguh, stabil, dan bijaksana dalam menghadapi tekanan hidup. Melatih resiliensi bukan berarti kita tidak boleh merasa marah atau sedih, melainkan kita mampu merespons emosi dengan cara yang sehat dan konstruktif.

Daftar Pustaka

Goleman, D. (2006). Emotional Intelligence: Why It Can Matter More Than IQ. Bantam Books.

Winch, G. (2014). Emotional First Aid: Practical Strategies for Treating Failure, Rejection, Guilt, and Other Everyday Psychological Injuries. Plume.

Reivich, K. & Shatté, A. (2002). The Resilience Factor: 7 Essential Skills for Overcoming Life's Inevitable Obstacles. Broadway Books.

Link Video

  1. https://youtu.be/zk9_6ztqUFQ?si=6wd5vD8aeoFwdTfS
  2. https://youtube.com/shorts/khV2C5WwnXI?si=tWKbaZli87nhoXf6



0 komentar:

Posting Komentar