Nama : Ramlah Asiyah Ikramalina
NIM :
22310410178
Mata Kuliah : Psikologi Inovasi
Dosen : Arundati
Shinta
UNIVERSITAS PROKLAMASI 45
2025
Melatih
Resiliensi Emosional dengan Dua Langkah Sederhana untuk Mengelola Emosi dengan
Bijak
Dalam kehidupan sehari-hari, tidak jarang kita
dihadapkan pada situasi yang memicu emosi negatif seperti marah, kecewa, atau
frustrasi. Jika tidak dikelola dengan baik, emosi tersebut dapat mengganggu
hubungan sosial, mengacaukan pengambilan keputusan, bahkan merusak kesehatan
mental. Di sinilah pentingnya resiliensi emosional, yaitu kemampuan untuk tetap
tenang, stabil, dan berpikir jernih di tengah tekanan. Esai ini akan membahas
dua langkah sederhana yang dapat membantu meningkatkan resiliensi emosional,
yaitu cara agar tidak gampang emosian dan cara agar tidak mengambil keputusan
saat sedang emosi.
Salah satu aspek penting dalam membangun resiliensi
emosional adalah kemampuan untuk mengenali dan mengatur emosi. Dari salah satu
video edukatif yang saya tonton, dijelaskan beberapa cara praktis agar tidak
mudah terpancing emosi. Langkah pertama adalah mengatur napas secara perlahan
dan dalam saat merasa mulai emosi, yang membantu tubuh kembali ke keadaan
tenang. Kedua, penting untuk menyadari isi pikiran negatif yang muncul tanpa
langsung bereaksi terhadapnya. Ketiga, seseorang dapat mengalihkan perhatian
pada hal lain untuk mencegah emosi berkembang lebih jauh. Bahkan, menjauh
sejenak dari sumber konflik juga bisa membantu menurunkan intensitas emosi.
Menurut Daniel Goleman (2006), “Kemampuan untuk menenangkan diri sendiri ketika
marah adalah inti dari kecerdasan emosional.” Dengan melatih kontrol diri ini,
kita tidak hanya menghindari ledakan emosi, tetapi juga memperkuat daya tahan
mental terhadap tekanan sehari-hari.
Langkah kedua dalam membangun resiliensi emosional
adalah tidak membuat keputusan penting saat emosi sedang memuncak. Emosi yang
kuat dapat mengaburkan penilaian dan mendorong kita untuk bertindak secara
impulsif. Misalnya, seseorang yang marah mungkin langsung mengirim pesan yang
kasar, mengambil keputusan yang merugikan, atau menyakiti orang terdekat.
Psikolog Guy Winch (2014) mengingatkan, “Jangan pernah mengambil keputusan
permanen berdasarkan emosi sementara.” Oleh karena itu, penting untuk memberi
waktu kepada diri sendiri untuk menenangkan pikiran terlebih dahulu, baik
dengan menulis jurnal, curhat dengan orang yang dipercaya, atau sekadar menarik
napas dan menunggu beberapa waktu. Sikap ini merupakan bagian dari resiliensi
yang menunjukkan kemampuan seseorang untuk menunda reaksi emosional demi hasil
jangka panjang yang lebih baik.
Resiliensi emosional bukanlah kemampuan yang dimiliki
sejak lahir, melainkan keterampilan yang bisa dilatih dan dikembangkan. Dua
langkah yang dibahas dalam esai ini yaitu menahan emosi agar tidak gampang
meledak, dan menunda keputusan saat emosi memuncak, merupakan pondasi penting
dalam membentuk ketahanan emosional yang sehat. Dengan melatih kedua hal ini
secara konsisten, kita bisa menjadi pribadi yang lebih tangguh, stabil, dan
bijaksana dalam menghadapi tekanan hidup. Melatih resiliensi bukan berarti kita
tidak boleh merasa marah atau sedih, melainkan kita mampu merespons emosi
dengan cara yang sehat dan konstruktif.
Daftar Pustaka
Goleman, D. (2006). Emotional Intelligence: Why It Can
Matter More Than IQ. Bantam Books.
Winch, G. (2014). Emotional First Aid: Practical
Strategies for Treating Failure, Rejection, Guilt, and Other Everyday Psychological
Injuries. Plume.
Reivich, K. & Shatté, A. (2002). The Resilience
Factor: 7 Essential Skills for Overcoming Life's Inevitable Obstacles. Broadway
Books.
Link Video
- https://youtu.be/zk9_6ztqUFQ?si=6wd5vD8aeoFwdTfS
- https://youtube.com/shorts/khV2C5WwnXI?si=tWKbaZli87nhoXf6

0 komentar:
Posting Komentar