Ora
Srawung, Rabimu Suwung
Ahmad
Prasetiyo
19310410029
Tugas
Psikologi Umum I
Dosen Fx.
Wahyu Widiantoro
Srawung adalah sebuah istilah Jawa yang mengandung arti kumpul atau pertemuan yang dilakukan lebih dari satu orang atau kelompok. Dalam tradisi masyarakat pedesaan istilah ‘’srawung’’ sudah akrab di telinga mereka, karena hal itu merupakan media untuk saling bercerita tentang realitas kehidupan. Mayarakat bisa saling menyampaikan realitas yang terjadi di sekitarnya, tidak hanya apa yang ada dalam pikiran, tetapi apa yang ada dalam perasaan mereka pun semua bisa diungkapkan. Srawung juga merupakan pengalaman-pengalaman batin yang kadang sulit dibahasakan, tapi terasa di hati. Maka, dengan adanya srawung inilah banyak permasalahan dalam realitas kehidupan ini bisa di bicarakan, dicarikan solusi secara bersama.
Bersosialisasi dengan sesama adalah hal yang sangat penting dan
berpengaruh terhadap kehidupan kita. Semasa kecil, kita selalu bermain dengan
teman sekitar kita. Tanpa ada rasa malu, membuat hari-hari terlalui dengan
bahagia. Bahkan tak ada beban dan saling tertawa bersama.
Azwar (1997) menjelaskan bahwa
sikap ini dapat digunakan untuk mendeteksi kecenderungan seseorang bersikap
positif atau negatif terhadap obyek tertentu. Seiring perkembangan jaman.
Manusia pasti akan mengalami perubahan dalam bersikap. Tentu ini akan berdampak
pada pergaulannya. Awalnya ada perasan senang dan tanpa rasa malu, menjadi
munculnya rasa malu serta menjadi enggan bergaul dengan masyarakat di
sekitarnya.
Sewaktu
kita berada dalam lingkungan dan situasi sosial, ketika kita terlibat dalam
interaksi sosial, pernahkah kita merasa betul-betul netral dan bereaksi tanpa
rasa suka dan tidak suka terhadap mitra interaksi kita? Pernahkah kita dapat
melepaskan sama sekali perasaan senang dan tidak senang dari persepsi dan
perilaku kita?
Agaknya hal
itu sulit untuk terjadi. Selalu saja ada yang mengevaluasi, membentuk
pandangan, mewarnai perasaan, dan cenderung akan mempengaruhi perilaku kita dalam berinteraksi. Itulah fenomena sikap. Timbul tidak saja
ditentukan oleh keadaan objek yang sedang kita hadapi, tapi juga oleh
pengalaman-pengalaman masa lalu, situasi sekarang, dan harapan kita untuk masa
depan.
Azwar (1995) menjelaskan bahwa respons
evaluatif berarti bahwa bentuk reaksi yang dinyatakan sebagai sikap itu
timbulnya didasari oleh proses evaluasi dalam diri individu yang memberi
kesimpulan terhadap stimulus dalam bentuk nilai baik-buruk, positif-negatif,
menyenangkan-tidak menyenangkan, yang kemudian mengkristal sebagai potensi
reaksi terhadap objek sikap.
Tidak hanya
faktor dalam diri seseorang saja yang menyebabkan seseorang akan merubah sikap
dan perilakunya. Ada faktor lain misalnya pergaulan yang salah, sudah memiliki
pacar, iri kepada teman sebayanya, dan masih banyak lagi. Orang yang mampu menerima diri dengan
baik akan mampu bergaul dengan baik pula di tengah masyarakat.
Menurut KBBI, nikah diartikan sebagai ikatan (akad)
perkawinan yang dilakukan sesuai dengan ketentuan hukum dan ajaran agama. Pernikahan
merupakan suatu hal yang sangat dinantikan oleh semua orang, karena dengan
menikah kehidupan kita akan terasa lengkap. Di dalam ajaran agama Islam, Pernikahan
merupakan ibadah sakral yang dilakukan oleh pasangan yang sedang di mabuk
asmara. Pernikahan seharusnya terlihat bahagia dan penuh suka cita. Bagaimana
jika suatu pernikahan membawa kesedihan yang mendalam? Rabimu suwung adalah
istilah Jawa yang berarti pernikahanmu sepi. Pernikahan yang sepi merupakan
salah satu dampak karena kita enggan srawung atau bersosialisasi di lingkungan
sekitar kita.
Apakah kita
terlambat untuk memperbaiki diri sobat? Atau masih merasa malu dalam bergaul?
Saya rasa tidak. Secepatnya kita harus bisa merubah sikap kita. Meninggalkan
pergaulan yang menutup diri kita terhadap masyarakat sekitar kita. Tujuannya
tidak lain dan tidak bukan, agar kita bisa berinteraksi, saling tolong
menolong, memupuk tali silaturahmi terhadap masyarakat sekitar kita.
“Ora
Srawung, Rabimu Suwung” demikian pepatah jawa yang artinya jika
kita tidak mau bersosialisasi dengan tetangga
sekitar kita, ketika nanti kita menikah. Besar kemungkinan tidak ada tetangga
yang datang. Jangan sampai masyarakat sekitar
kita tidak mau dan enggan menerima kita, karena perilaku buruk yang kita miliki.
Marilah
kita menjadi manusia yang berkarakter dan berbudaya Indonesia. Selalu memupuk
rasa tali silaturahmi, saling tolong menolong, menghargai terhadap sesama, dan
masih banyak bentuk perilaku postif lainnya yang dapat kita lakukan. Jangan
memandang dari segi agama, budaya, ras , suku, ataupun perbedaan lainnnya. Kita
semua adalah Indonesia memiliki semboyan ‘’Bhineka Tunggal Ika’’ yang artinya
bebeda-beda tetapi satu jua. Jangan sampai negara kita terpecah belah hanya
karena hal sepele. Siap percaya diri dalam bergaul, siapa takut?
Referensi :
-
https://jateng.tribunnews.com/2016/11/05/melestarikan-budaya-srawung
( di akses pada 2 Oktober 2019 )
-
https://docplayer.info/89437371-Bab-i-pendahuluan-latar-belakang.html
( di akses pada Oktober 2019 )
-
https://media.neliti.com/media/publications/24579-ID-perbedaan-sikap-terhadap-proses-pelaksanaan-otonomi-daerah-ditinjau-dari-tipe-ke.pdf
( di akses pada Oktober 2019 )
Hello mas Ahmad, apa relevansi judul dan isinya ya? Juga daftar pustaka tidak nyambung dengan naskah. Artinya, tulisan tentang Azwar dan Maunah tidak ada di naskah.
BalasHapus