RESENSI ARTIKEL ”BRING IN COMPASSION IN TRAINING
SESSIONS, PLEASE”
Arundati Shinta
Fakultas Psikologi Universitas Proklamasi 45
Yogykarta
Problem utama semua
organisasi dari dulu sampai dengan sekarang adalah interaksi sosial manusia
(pimpinan, karyawan) selalu tidak harmonis. Perilaku karyawan selalu dianggap
tidak sejalan dengan keinginan organisasi / pimpinan atau budaya organisasi. Contoh
persoalan:
1)
Mengapa karyawan tidak menunjukkan kepedulian
yang tinggi pada organisasi, karyawan kurang mempunyai rasa memiliki
organisasi.
2)
Bagaimana menjembatani gap antar unit
kerja yang punya kepentingan yang berbeda-beda?
3)
Bagaimana caranya agar semua karyawan
termotivasi sehingga target organisasi tercapai? Karyawan dianggap bermotivasi
rendah padahal mereka sudah menerima gaji. Ini sungguh tidak adil.
Untuk mengatasi
berbagai persolan klasik dalam organisasi tersebut, maka didatangkanlah
fasilitator / trainer. Tugas mereka adalah organisasi ingin mengubah perilaku
semua karyawan, dengan melalui training. Dalam hal ini fasilitator dianggap
sebagai nabi / malaikat yang mempunyai kekuatan supra natural. Benarkah fasilitator
/ trainer itu begitu saktinya?
Tidak ada yang bisa
mengubah jalan pikiran seseorang kecuali sang empu pemilik pikiran itu sendiri atas
izin Sang Pencipta sebagai satu-satunya zat yang mampu mebolak-balikkan hati. Tidak
ada resep atau tips yang bisa diikuti dengan mudah untuk mengubah pemikiran dan
perilaku karyawan, terlebih semua karyawan (baca: manusia). Kalau demikian
apakah training SDM (termasuk training yang diselenggarakan oleh sarjana
psikologi) itu tidak berguna?
Agar training - apa
pun temanya - bermanfaat secara nyata, maka ada tiga pemahaman yang perlu
diketahui oleh para penyelenggara dan peserta training.
1)
Training adalah ajang untuk
mengkomunikasikan rasa, buka sekedar ilmu. Rasa dalam hal ini adalah perasaan
karyawan dan juga pimpinan. Hal ini berarti bahwa karyawan dan pimpinan harus
sama-sama berpartisipasi dalam training. Tidak bisa hanya karyawan saja yang
mengikuti training berdasarkan alasan:
a) Bahwa karyawan adalah pihak yang selalu salah dan pihak yang
harus diubah perilakunya, sementara pimpinan adalah pihak yang selalu benar. Oleh
karena berada pada posisi yang dianggap benar, maka pimpinan tidak perlu
mengikuti training. Kalau pun mengikuti training, maka biasanya hanya pada sesi
awal saja yaitu pada saat membuka / meresmikan training. Setelah beberapa saat,
maka pimpinan akan meminta maaf dan ’melarikan diri’ dari kelas training dengan
alasan masih banyak pekerjaan yang menunggu. Itu adalah ciri khas pemimpin kita
yang menyedihkan.
b) Bahwa pimpinan adalah pihak yang menyewa tenaga fasilitator /
trainer, sehingga pimpinan adalah pihak yang berkuasa. Sementara itu
fasilitator / trainer adalah pihak yang dikuasai. Konsekuensinya adalah pihak
yang berkuasa merasa sah untuk tidak mengikuti seluruh rangkaian acara
training, sedangkan pihak yang disewa tenaganya tidak boleh melarang orang yang
berkuasa tadi. Jadi dalam hal ini uang telah menunjukkan kuasanya. Ini ironi.
2)
Pembelajaran training sesungguhnya TIDAK
terjadi pada sesi training tetapi dalam pemikiran setiap orang saat ia
memutuskan untuk belajar atau tenggelam dalam pemikiran orang lain. Kehadiran di
kelas bukan indikator pembelajaran. Pimpinan organisasi harus bisa menerima
fakta bahwa tidak ada satu pun karyawan berada di bawah kendalinya. Tugas organisasi
adalah menyiapkan berbagai alasan agar karyawan bisa menikmati momen-momen
dalam organisasi secara sadar untuk bekerja, belajar, dan berkarya. Oleh karena
itu, perubahan perilaku pada karyawan dapat terjadi bila karyawan itu bersedia
untuk mengubahnya, melalui proses belajar dalam training atau proses belajar
lainnya. Perubahan perilaku terjadi ketika karyawan mengerjakan tugas di rumah
(di luar jam kantor).
3)
Karyawan / orang pada umumnya lebih
terdorong untuk menghadiri acara yang asyik, bukan yang penting. Hal-hal yang
asyik lebih berharga daripada hal-hal yang penting. Oleh karena itu semua
training / acara perkuliahan wajib hukumnya untuk didisain secara menarik dan
asyik.
Tulisan ini sangat
menarik dan sekaligus menyindir tentang perilaku dosen di kelas. Semua dosen
tentu mempersepsikan bahwa perilaku mahasiswanya adalah salah, sehingga mereka
perlu diberi doktrin dalam bentuk perkuliahan. Sayangnya, dosen kurang mampu
memberikan suri tauladan perilaku. Tulisan ini membuktikan bahwa perkuliahan
yang bisa mengubah perilaku mahasiswa harus disampaikan secara menarik, dosen
memberikan contoh nyata dan dosen bersama-sama dengan mahasiswa menjalani
proses belajar. Pernah bertemu dengan dosen yang selalu memberikan tugas tetapi
tidak pernah memberikan contoh nyata? Bijaklah menghadapi fenomena lucu tersebut.
Kekurangan tulisan ini
adalah banyaknya istilah bahasa Inggris. Untunglah hal itu diimbangi dengan
beberapa frasa bahasa Jawa. Ini adalah artikel ilmiah populer.
Sumber tulisan:
Suhardono, R. (2017). Bring in compassion in training
sessions, please. Kompas, 5 Agustus,
halaman 32.
Yes saya setuju dengan ini, tapi kadang tulisan menarik seperti ini terhalang dengan malasnya budaya membaca. Pertanyaan saya tidak berkaitan dengan tulisan ini, adakah metode psikologi atau para dosen kreatif menyampaikan hal seperti ini dengan cara / metode lain ya? Kalau ada saya sangat berterimakasih sekali. Salam Andri
BalasHapus