Sri Mulyaningsih
Fakultas Psikologi Universitas Proklamasi ‘45
Penyu adalah satwa unik yang memiliki siklus
kehidupan yang rumit dengan proses perkembangbiakan yang sangat
lambat. Siklus bertelur penyu antara 2 – 8 tahun sekali. Telur akan
menetas setelah 55 – 57 hari. Sejak ditetaskan, tukik (anak penyu) sudah
harus mengalami serangkaian proses yang harus mereka jalani
sendiri untuk menjalani proses kehidupan. Tukik yang menetas harus
segera merangkak dan berenang ke laut untuk menghindari predator darat
seperti anjing, kucing, biawak, elang dan kepiting. Di laut lepas, mereka
akan menghadapi predator lainnya seperti anak hiu dan gurita. Dari
100 tukik yang menetas hanya ada satu yang mampu bertahan menjadi penyu
dewasa. Disamping faktor alam, populasi penyu juga mendekati
kepunahan akibat ulah manusia yang melakukan perburuan penyu dewasa
dan penjualan telur penyu secara ilegal.
Ancaman
kepunahannya membuat pemerhati lingkungan membuat program konservasi diberbagai
pantai di Indonesia. Salah seorang permerhati penyu yang dikenal banyak orang
adalah Dwi Suprapti. Sosok Dwi, tak jauh beda dengan perempuan Indonesia
lainnya. Tapi siapa sangka, perempuan asal Kota Singkawang, Kalimantan Barat
ini sangat aktif dalam kegiatan konservasi perlindungan hewan khususnya spesies
laut dilindungi di Indonesia.
Lahir
di Kota Singkawang, 32 tahun silam, perempuan bernama lengkap Dwi Suprapti ini
merupakan alumni Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana Bali. Sejak
kuliah, tepatnya 12 tahun lalu, Dwi ‘Penyu’ sapaan akrabnya, sudah jatuh cinta
dengan penyu, spesies laut bercangkang keras. Maka tak heran, perempuan yang
tergolong unik sering kali dipanggil dengan sebutan Dwi Penyu.
Saking
jatuh cintanya dengan penyu, Dwi selalu mengait-ngaitkan persoalan apapun
dengan satwa purba laut itu. Bahkan, dalam skripsi dan thesisnya, perempuan
yang kini menjabat sebagai Marine Species Conservation Coordinator
WWF-Indonesia ini mengangkat tentang Penyu khususnya di bidang Seks Rasio.
Sebagai
ahli penyu, Dwi mengawali karirnya bersama WWF Indonesia dengan jabatan ‘Turtle
Officer’. Berbagai kegiatan dia lakukan dalam menjalankan tugasnya di WWF
terkait upaya konservasi penyu, dimulai dari penelitian penyu, sosialisasi,
kampanye hingga investigasi ancaman terhadap penyu baik akibat perburuan maupun
perdagangan.
Tak
Jarang Dwi juga terlibat didalam advokasi penegakan hukum. Atas peranannya
tersebut tak jarang Dwi mendapatkan teror, ancaman bahkan dimusuhi oleh pihak-pihak
yang terlibat di dalam lingkaran perdagangan derivat penyu yang memiliki nilai
ekonomi cukup tinggi tersebut.
Peranannya
yang cukup aktif dibidang konservasi Penyu bahkan ia bawa hingga ke tingkat
internasional. Dwi cukup aktif menyuarakan tentang hasil-hasil penelitiannya
terhadap penyu misalnya pada pertemuan-pertemuan Internasional seperti Sulu
Sulawesi Marine Ecoregion (SSME) Workshop, World Ocean Conference (WOC) bahkan
International Sea Turtle Symposium (ISTS) yang telah membawanya hingga ke Baltimore,
USA.
Melihat
prestasi kinerjanya dan langkanya profesi Dokter Hewan yang aktif di bidang
Konservasi satwa akuatik, Dwi kini dipercaya oleh WWF Indonesia sebagai
Koordinator Nasional untuk Konservasi Spesies Laut khususnya Megafauna Aquatik.
Tak
hanya penyu, Dwi kini harus terjun ke lapangan untuk menangani dugong, pesut,
lumba-lumba, paus, hingga Hiu Paus. Mulai dari survei hingga penanganan
terdampar dalam kondisi hidup maupun pasca kematian. Bahkan tak jarang
kehadiran Dwi diperlukan sebagai tenaga forensik veteriner untuk
menginvestigasi penyebab kematian satwa melalui upaya bedah bangkai (nekropsi),
diantaranya pengalaman yang paling terkesan olehnya adalah nekropsi Hiu Paus
yang mati di kanal PLTU Paiton.
Berkat pengalamannya, kini Dwi
dipercaya oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) sebagai Trainer
Penanganan Mamalia Laut Terdampar di Indonesia. Sebagai negara maritim, potensi
terdamparnya mamalia laut di Indonesia sangat tinggi.
Ia telah memberikan pelatihan teknis kepada lebih dari 500 orang mulai dari Sumatera hingga Papua. Pelatihan tersebut sebagai upaya untuk membentuk First Responder yang siap menjadi ujung tombak penanganan mamalia laut terdampar di berbagai lokasi di Indonesia secara cepat dan tepat.
Ia telah memberikan pelatihan teknis kepada lebih dari 500 orang mulai dari Sumatera hingga Papua. Pelatihan tersebut sebagai upaya untuk membentuk First Responder yang siap menjadi ujung tombak penanganan mamalia laut terdampar di berbagai lokasi di Indonesia secara cepat dan tepat.
Selain
itu, Dwi turut berpartisipasi aktif bersama KKP dalam penyusunan Dokumen
Rencana Aksi Nasional (RAN) Konservasi Spesies Laut periode 2016-2020 serta
penerbitan buku-buku panduan teknis monitoring maupun penanganan satwa laut. Dwi
berharap peran aktifnya di bidang Megafauna Akuatik ini dapat bermanfaat baik
bagi Indonesia maupun lingkungan secara umum.
0 komentar:
Posting Komentar