Sosialisasi
dalam Upaya Peningkatan Kesadaran Kesehatan Mental Kelompok Dewasa Madya di
Wilayah Rejowimagun, Kota Gede, Yogyakarta
Disusun oleh Kelompok 1:
Itsnaini Latifatur Rohmah (24310440001); Kanina Hanifadila Rahmawati (23310410078); Reno Endien Pinasthy
(23310410035); Rizka Latifa (23310410058); Mariyatun (23310410074); Nurul Anisa
(23310410060); Hidayat (23310410052).
Abstrak:
Secara
khusus kesehatan mental merupakan suatu kondisi kesehatan yang merujuk pada
keadaan mental atau kejiwaan seseorang. Kesehatan mental dapat mempengaruhi
berbagai aspek seperti kognisi, sosioemosional, tingkah laku, bahkan kesehatan
fisik, serta lainnya. Urgensi penurunan kesehatan mental perlu digalakkan sebab
gangguan kesehatan mental sama halnya dengan kesehatan fisik yang dapat
berpengaruh pada kesejahteraan individu. Rendahnya laporan gangguan kesehatan
mental pada kelompok dewasa madya atau gen X di Yogyakarta dapat disebabkan
oleh beberapa hal, seperti resiliensi yang lebih kuat akibat pengalaman di
zaman itu dengan perkembangan IPTEK tidak semaju sekarang; atau dapat
disebabkan karena kelompok tersebut kurang aware pada kesehatan mental.
Oleh sebab itu, kelompok 1 mengadakan sosialisasi pada kelompok dewasa madya di
wilayah RT 19/RW 06, Rejowimagun, Kota Gede, Yogyakarta dalam upaya
meningkatkan kesadaran kesehatan mental: baik itu gejala penurunan kesehatan
mental maupun upaya pencegahan. Gejala yang disinggung antara lain penurunan
motivasi dengan terlihat tidak bersemangat, nafsu makan berkurang atau
berlebih, pola terganggu, dan rasa cemas atau khawatir yang berlebihan. Hal
tersebut dapat mengganggu aktivitas keseharian dan penurunan kesejahteraan
seseorang yang mengalami gangguan kesehatan mental. Sementara itu, upaya
penanggulangan adalah menyadari gejala baik diri sendiri maupun orang lain,
perhatian dengan orang lain, pemberian support, regulasi emosi, dan jika
keadaan semakin memburuk dapat mencari bantuan dari orang yang kompeten di
bidangnya, seperti psikolog ataupun jika memerlukan obat ke psikiater.
1. Pendahuluan
Secara
khusus kesehatan mental merupakan suatu kondisi kesehatan yang merujuk pada
keadaan mental atau kejiwaan seseorang. Kesehatan mental dapat mempengaruhi
berbagai aspek seperti kognisi, sosioemosional, tingkah laku, bahkan kesehatan
fisik, serta lainnya. Urgensi penurunan kesehatan mental perlu digalakkan sebab
gangguan kesehatan mental sama halnya dengan kesehatan fisik yang dapat
berpengaruh pada kesejahteraan individu. Gangguan kesehatan mental bukanlah hal
tabu. Hanya saja hampir sebagian besar negara berkembang, masalah kesehatan
mental belum diprioritaskan apabila dibandingkan dengan kesehatan fisik.
Adanya
stigma negatif yang muncul baik dari individu dan dari masyarakat menyebabkan
orang yang memiliki gangguan kesehatan mental masih dianggap tabu dan tidak
memerlukan penanganan secara komprehensif seperti ketika seseorang mengalami
sakit fisik. Pandangan negatif ini menyebabkan ketika seseorang mengalami
gangguan mental, maka penderita akan dipasung (dihalangi kebebasannya) dengan
cara diisolasi dari masyarakat sekitar karena rasa malu keluarga (Veda, et al., 2023). Salah satu ciri-ciri stigma dari
lingkungan keluarga adalah rasa malu jika anggotanya yang terkena gangguan
mental terlihat masyarakat sekitar (Soebiantoro, 2017).
Data
meningkatnya gangguan kesehatan mental di Daerah Istimewa Yogyakarta dapat
menandakan bahwa terdapat peningkatan kesadaran terhadap terganggunya kesehatan
mental. Masyarakat Daerah Istimewa Yogyakarta telah mengalami peningkatan
kesadaran akan pentingnya mendukung kesehatan mental masyarakatnya. Hal ini
tercermin dari berbagai program pemerintah, LSM, dan inisiatif swasta yang
bertujuan untuk meningkatkan kesadaran akan pentingnya kesehatan mental dan
memberikan akses lebih luas terhadap layanan kesehatan mental (Sikharini,
2024).
Namun,
informasi mengenai pentingnya menjaga kesehatan mental masih belum sepenuhnya
merata di semua kalangan. Rendahnya laporan kesehatan mental yang dihadapi oleh
gen X dapat terjadi karena perbedaan latar belakang dimana mereka tumbuh.
Dimana kala itu, kemajuan teknologi belum secanggih sekarang. Fokus mereka
lebih kepada kesejahteraan fisik, sehingga ada kemungkinan mereka memiliki
resiliensi yang tinggi. Hanya saja, kemungkinan laporan kasus kesehatan mental
gen X yang sedikit dapat disebabkan oleh kesadaran mengenai pentingnya menjaga
kesehatan mental, terutama kewaspadaan terhadap pertanda kesehatan mental yang
menurun belum sepenuhnya disadari. Hal ini didasarkan pada data 2022 silam,
menunjukkan gen Z memang menjadi generasi yang paling banyak merasa memiliki
masalah kesehatan mental dibandingkan generasi X, dan generasi Milenial.
Dibuktikan, sebanyak 59,1% Gen Z yang merasa memiliki masalah kesehatan mental,
sementara generasi milenial hanya sebanyak 39,8% dan Gen X 24,1 persen
(Sikharini, 2024). Hal ini melatar belakangi kelompok 1 untuk mengadakan
sosialisasi dalam upaya meningkatkan kesadaran pentingnya menjaga kesehatan
mental kepada dewasa madya di wilayah RT 19/RW 06, Rejowimagun, Kota Gede,
Yogyakarta.
2.
Metode
Metode dalam yang digunakan adalah studi pustaka pada jurnal-jurnal yang diperoleh dari google schoolar sebagai bahan dalam penyampaian materi serta penulisan artikel ilmiah berjudul “Sosialisasi dalam Upaya Peningkatan Kesadaran Kesehatan Mental Kelompok Dewasa Madya di Wilayah Rejowimagun, Kota Gede, Yogyakarta”. Sosialisasi diadakan pada hari Sabtu, 28 Desember 2024 pukul 13.00 di Jalan Kebon Raya, No.322, RT 19/RW 06, Rejowimagun, Kota Gede, Yogyakarta.
3.
Pembahasan
Kesehatan
mental merupakan suatu hal yang harus dijaga oleh setiap individu dalam
hidupnya untuk memperoleh kesejahteraan dan juga kualitas hidup yang baik. Hal
ini dikarenakan, mental yang sehat pada suatu individu akan memiliki
kecenderungan kondisi dimana seseorang memiliki kesejahteraan yang tampak dari
dirinya yang mampu mengatasi tekanan hidup normal pada berbagai situasi dalam
kehidupan, mampu bekerja secara produktif dan menghasilkan, serta mampu
memberikan kontribusi kepada komunitasnya (Setiawan, N. S. & Setiawan, I.,
2022). Kesehatan mental dapat terjadi di berbagai rentang usia. Sosialisasi ini
diadakan dan disasarkan pada kelompok dewasa madya di RT 19/RW 06, Rejowimagun,
Kota Gede, Yogyakarta.
Kesehatan
mental merujuk pada kesehatan seluruh aspek dalam perkembangan seseorang, baik
secara fisik maupun psikis yang saling terhubung satu sama lain. Kesehatan
mental juga meliputi upaya-upaya dalam mengatasi stress, ketidakmampuan dalam
menyesuaikan diri, bagaimana dalam berhubungan dengan orang lain, serta
berkaitan juga dengan pengambilan keputusan dalam situasi keadaan tertentu (Setiawan,
N. S. & Setiawan, I., 2022). Gejala gangguan kesehatan mental dapat
berpengaruh pada kognisi dan sosioemosional; diantaranya: dapat mengubah cara
seseorang dalam pemrosesan informasi dan pengambilan keputusan dalam menangani
stress dan membuat pilihan, berhubungan dengan orang lain, dan akan memicu
hasrat untuk menyakiti diri sendiri. Gejala gangguan kesehatan mental beragam,
contognya seperti depresi, kecemasan, dan stress sehingga dapat mempengaruhi
produktivitas dan kesejahteraan sehingga berpotensi mengurangi kualitas hidup
seseorang. Hal ini dapat terjadi karena seseorang cenderung mengalami kesulitan
dalam menyesuaikan dirinya dengan kondisi di sekitarnya. Ketidakmampuan
seseorang dalam memecahkan sebuah masalah sehingga menimbulkan stress yang
berlebih menjadikan kesehatan mental individu tersebut menjadi lebih rentan dan
pada akhirnya dinyatakan terkena gangguan kesehatan mental (Setiawan, N. S.
& Setiawan, I., 2022).
Acara
sosialisasi kesehatan mental terdiri atas beberapa kelompok dewasa madya di wilayah
RT 19/RW 06, Rejowimagun, Kota Gede, Yogyakarta. Hal yang ditekankan adalah
kesadaran dewasa madya dalam upaya menjaga stabilitas kesehatan mental. Umumnya
dewasa madya memiliki pola sosial dan perilaku yang lebih berbeda daripada
orang dewasa muda dikarenakan pengetahuan dan pengalaman yang teah dilewati
sepanjang kehidupannya. Kelompok dewasa madya umumnya sudah mampu menjalin
interaksi dengan baik dengan banyak orang, selain interaksi yang baik dewasa
madya juga mampu membangun hubungan yang intim (Samosir, 2021). Menurut Erikson
(1989), menjalin hubungan dekat merupakan tantangan besar bagi orang yang memasuki
masa dewasa (Samosir, 2021). Namun, terdapat beberapa tantangan yang dapat
menyebabkan distress pada kelompok dewasa madya, yakni: stress dan burnout
terhadap tuntutan pekerjaan, kecemasan terhadap masa yang akan datang, kesepian
dan isolasi diri, dan midlife crisis atau krisis paruh baya, serta
lainnya. Midlife crisis atau krisis paruh baya menurut Jacques
digambarkan sebagai krisis dalam transisi identitas dan kepercayaan diri dan
juga krisis yang muncul karena menyoroti usia kematian yang tak terelakkan dan
kekurangan dalam kehidupan pribadi atau tujuan yang belum tercapai dalam hidup
sampai saat itu (Boey & Hatta, 2022). Krisis ini dapat ditandai dengan
pertanyaan tentang makna hidup, kecemasan akan penuaan, penyesuaian terhadap
perubahan fisik dan psikologis, serta evaluasi ulang terhadap pencapaian dan
tujuan hidup (Na’imin & Mafiah, 2024). Banyak faktor yang dapat
mempengaruhi krisis paruh baya, termasuk perubahan dalam karier, hubungan, dan
kesehatan. Selain itu, rasa kesepian dan isolasi rentan terjadi pada usia
dewasa madya, di mana anggota keluarga seperti anak mulai melanjutkan hidup di
luar dan berpisah dengan orang tuanya. Hal ini dapat memicu distress dan
berpotensi menyebabkan penurunan kesehatan mental pada kelompok dewasa madya.
Selain
aware pada kesehatan mental diri sendiri, perlu untuk peduli terhadap
sesama manusia di lingkungan sekitar. Kelompok dewasa madya hidup tidak jauh
dari remaja; bisa jadi anggota keluarganya maupun kerabat ataupun tetangga.
Dimana dua kelompok ini merupakan dua fase transisi dalam kehidupan seseorang
(Na’imin & Mafiah, 2024). Kesadaran terhadap lingkungan sekitar merupakan
salah satu upaya pencegahan. Remaja berada di fase pencarian jati diri,
sehingga perlu adanya pembekalan kebebasan untuk mengeksplore diri di tahapan
wajar dengan pengawasan yang cukup, serta perhatian juga. Hal ini untuk
mencegah para remaja terjerumus ke dalam lingkungan negatif dan merugikan.
Misalnya jika di Yogyakarta terdapat fenomena Klitih yang sebagian besar
dilatarbelakangi oleh pencarian jati diri. Fenomena klitih ini termasuk ke
dalam Juvenile Delinquency atau dapat dikatakan sebagai fenomena yang tercermin
pada kenakalan remaja (Hisyam, et al., 2023). Secara luas, Juvenile Delinquency
adalah perilaku jahat atau kenakalan anak-anak muda yang merupakan gejala
(patologis) secara sosial pada anak-anak muda atau remaja yang dibentuk oleh
suatu pengabaian sehingga mengembangkan bentuk perilaku yang menyimpang
(Pamungkas, 2018).
Dari
fenomena di atas dapat diketahui bahwa gangguan kesehatan mental dapat
dirasakan oleh berbagai usia. Gangguan kesehatan mental dapat disebabkan oleh
banyak hal. Salah satu yang paling mendasar adalah disebabkan oleh distress
yang berkelanjutan atau tidak dapat dikelola dengan baik. Kesadaran dari
gangguan kesehatan mental salah satunya adalah mengenali gejala yang
ditimbulkan. Gejala-gejala tersebut antara lain, yakni penurunan motivasi
dengan terlihat tidak bersemangat, nafsu makan berkurang atau berlebih, pola
terganggu, dan rasa cemas atau khawatir yang berlebihan (Ningrum,
et al., 2022). Hal tersebut dapat mengganggu aktivitas keseharian dan
penurunan kesejahteraan seseorang yang mengalami gangguan kesehatan mental.
Sebagai
upaya penanggulangan: selain sadar akan gejala baik diri sendiri maupun pada
orang lain, yakni: jika gejala tersebut ada pada orang lain, maka seseorang
perlu memberikan dukungan atau jika gejala semakin parah, maka dapat
dikonsultasikan pada orang yang kompeten di bidangnya, seperti psikolog ataupun
jika memerlukan obat ke psikiater; jika gejala tersebut ada pada diri sendiri,
maka perlu adanya regulasi emosi untuk penganggulangan dari distress dan fokus
pada penyelesaian. Regulasi emosi berbeda dengan menahan emosi negatif yang
ditimbulkan oleh distress; melainkan memproses emosi negatif tersebut dengan
cara menerima keadaan dan emosi, menenangkan pikiran, serta berupaya untuk
fokus pada penyelesaian. Regulasi emosi terdiri atas: acceptance
(menerima situasi yang terjadi), positive refocusing (berpikir tentang
pengalaman yang menyenangkan dibandingkan kesulitan yang dihadapi), refocus
on planning (memikirkan solusi terbaik berdasarkan masalah yang dihadapi), positive
reappraisal (mempertimbangkan aspek positif dari situasi yang dialami), dan
putting into perspective (mengurangi fokus pada kejadian yang dialami
dan memilih melihat hal lain). Konsep ini mengacu pada pemikiran
langkah-langkah mana yang harus diambil untuk menghadapi peristiwa atau
memikirkan rencana untuk mengubah situasi. Pada dasarnya. Refocus on Planning
strategi koping kognitif yang positif, dengan ketentuan masalahnya benar-benar
ditangani (Husnianita & Jannah, 2021). Namun, jika gejala yang ditimbulkan
semakin berat dan sulit dikendalikan, maka perlu adanya bantuan dari orang lain
serta jika memungkinkan perlu bantuan dari orang yang kompeten di bidangnya,
seperti psikolog ataupun jika memerlukan obat ke psikiater.
4.
Kesimpulan
Kesehatan
mental bukanlah hal yang tabu karena keadaan mental seseorang dapat
mempengaruhi kualitas hidup seseorang. Kesadaran perlu ditingkatkan dan
regulasi emosi perlu dibiasakan sebagai upaya penanggulangan dengan memahami
gejala yang timbul, baik itu dalam tahapan ringan hingga berat.
5.
Daftar Pustaka
Boey, L. H., & Hatta, Z. A. (2022).
The Exploration of Social Neuroscience Midlife Crisis in Malaysia. International
Journal of Academic Research in Business and Social Sciences, 12(8),
545–557.
Hisyam, et al. (2023). Analisis Pelaku
Kenakalan Remaja “Klitih” dalam Perspektif Teori Asosiasi Diferensial
Sutherland. Harmoni: Jurnal Ilmu Komunikasi dan Sosial, 1(4).
Husnianita & Jannah. (2021). Perbedaan
Regulasi Emosi Di Tinjau Dari Jenis Kelamin Pada Kelas X Sekolah Menengah Atas
Boarding School. Character: Jurnal Penelitian Psikologi, 8(5).
Na’imin & Mafiah. (2024). Midlife
Crisis Efek Psikologis Jangka Panjang Akibat Fatherless Perspektif Fikih
Hadhanah : Studi Kasus di Temanggung. Jurnal MEDIASAS: Media Ilmu Syari’ah
dan Ahwal Al-Syakhsiyyah, 7(1), https://journal.staisar.ac.id/index.php/mediasas
Ningrum, et al. (2022). Meningkatkan
Kepedulian Terhadap Gangguan Kesehatan Mental Pada Remaja. Communnity
Development Journal, 3(2).
Pamungkas, Z. (2018). Fenomena Klitih
Sebagai Bentuk Kenakalan Remaja dalam Perspektif Budaya Hukum di Kota
Yogyakarta. Skripsi Universitas Islam Indonesia.
Samosir, 2021). Kesehatan Mental Pada Usia
Dewasa dan Lansia (Gambaran Hasil Skrining Kesehatan Mental dengan Kuesioner
DASS-42). Unpri Press: Medan.
Setiawan, N. S. & Setiawan, I. (2022).
Mengenal Pentingnya Kesehatan Mental: Dampak Bunuh Diri dan Gejala Gangguan
Kesehatan Mental. Jurnal Mahasiswa BK An-Nur : Berbeda, Bermakna, Mulia,
10(1), https://ojs.uniska-bjm.ac.id/index.php/AN-NUR