Ayu Windi Astuti -
23310420073
Dosen Pengampu Dra.
Arundati Shinta, M.A
Program Studi
Psikologi
Fakultas Psikologi
Universitas Proklamasi 45
Tahun 2025
Disonansi kognitif adalah kondisi psikologis yang tidak
menyenangkan yang timbul ketika seseorang secara simultan memiliki dua atau
lebih kognisi (pikiran, keyakinan, nilai, sikap, atau perilaku) yang saling
bertentangan atau tidak konsisten.
Konsep ini pertama kali diperkenalkan oleh psikolog sosial
Leon Festinger pada tahun 1957. Intinya adalah bahwa manusia memiliki dorongan
bawaan untuk mencari konsistensi dalam pemikiran dan tindakan mereka. Ketika
inkonsistensi ini terjadi, hal itu menciptakan perasaan tidak nyaman, tegang,
atau gelisah yang memotivasi individu untuk mengurangi disonansi tersebut.
Elemen Kunci Disonansi Kognitif:Kognisi: Ini merujuk pada
segala bentuk pengetahuan, opini, keyakinan, nilai, atau pemahaman yang
dimiliki seseorang tentang dirinya sendiri, lingkungannya, atau
perilakunya.Inkonsistensi: Disonansi muncul ketika ada dua atau lebih kognisi
yang tidak sejalan atau bertentangan secara psikologis. Misalnya, seseorang
yang percaya kesehatan itu penting (kognisi 1) tetapi merokok setiap hari
(kognisi 2).Perasaan Tidak Nyaman: Inkonsistensi ini memicu keadaan emosional
yang tidak menyenangkan, seperti rasa bersalah, malu, cemas, penyesalan, atau
frustrasi. Tingkat ketidaknyamanan bervariasi tergantung pada seberapa penting
kognisi yang terlibat dan seberapa besar inkonsistensinya.Motivasi untuk
Mengurangi Disonansi: Karena perasaan tidak nyaman ini, individu termotivasi
untuk mengurangi atau menghilangkan disonansi tersebut.
Ada beberapa cara umum yang dilakukan seseorang untuk
mengurangi disonansi kognitif yaitu Mengubah Perilaku: Ini adalah cara paling
langsung, yaitu mengubah tindakan agar sesuai dengan keyakinan.Mengubah Kognisi
(Keyakinan/Sikap): Seseorang bisa mengubah salah satu kognisi yang
bertentangan.Menambah Kognisi Baru: Memasukkan informasi atau alasan baru yang
dapat membenarkan inkonsistensi.Meremehkan Pentingnya Disonansi: Mengurangi
signifikansi konflik yang terjadi.
Disonansi kognitif adalah fenomena yang sangat umum dan bisa
terjadi dalam berbagai aspek kehidupan, mulai dari keputusan sehari-hari hingga
pandangan hidup yang lebih besar. Memahami disonansi kognitif membantu kita
memahami mengapa orang terkadang melakukan hal-hal yang tampaknya tidak logis
atau kontradiktif.
Hasil Wawancara Disonansi Kognitif: Responden Remaja (17
Tahun)
Nama Responden: Cahya (17 tahun, Siswi SMA Kelas 11)
Pewawancara: Ayu Windi
Tanggal Wawancara: 15 Mei 2025
1. Identifikasi Nilai dan Keyakinan Inti
Cahya menyatakan bahwa kejujuran dan keaslian (autentisitas)
adalah nilai yang sangat penting baginya, terutama dalam pertemanan dan di
media sosial. Ia percaya bahwa menjadi diri sendiri dan tidak berpura-pura
adalah cara terbaik untuk mendapatkan teman sejati. Selain itu, Cahya juga
menekankan pentingnya prestasi akademik sebagai bekal masa depan, dan ia merasa
bertanggung jawab untuk belajar dengan giat.
2. Deteksi Inkonsistensi (Disonansi)
Wawancara mengungkap dua area utama disonansi dalam diri
Cahya:
Disonansi 1: Keaslian
vs. Citra Media Sosial.
Cahya mengakui
bahwa meskipun ia menjunjung tinggi keaslian, ia sering merasa tertekan untuk
menampilkan citra sempurna dan menyenangkan di media sosial (Instagram,
TikTok). Ia mengatakan, "Aku tahu seharusnya jadi diri sendiri, tapi kalau
posting foto tanpa filter atau caption yang 'deep' banget, kayaknya kurang
menarik. Teman-teman yang lain postingnya keren-keren, jadi aku ikut-ikutan
biar kelihatan 'sama' dan banyak likes." Ini menunjukkan konflik antara
keyakinan akan keaslian dan perilaku menciptakan persona yang tidak sepenuhnya
otentik di media sosial.
Disonansi 2: Prestasi
Akademik vs. Kebiasaan Belajar.
Cahya sangat yakin
bahwa belajar keras adalah kunci kesuksesan akademik dan PTN impiannya. Namun,
ia mengakui sering menunda-nunda belajar atau menghabiskan terlalu banyak waktu
untuk scrolling media sosial dan bermain game online alih-alih belajar.
"Aku tahu tugas numpuk dan besok ada ulangan, tapi rasanya malas banget
mulai belajar. Ujung-ujungnya semalaman baru belajar, atau bahkan enggak
belajar sama sekali. Padahal aku maunya dapat nilai bagus dan banggain orang
tua." Di sini, keyakinan kuat tentang pentingnya belajar berkonflik dengan
perilaku menunda dan kurangnya disiplin.
3. Perasaan Tidak Nyaman yang Timbul
Cahya jelas merasakan ketidaknyamanan emosional akibat
disonansi ini:
Terkait media sosial, ia merasa lelah dan kadang kosong
setelah menghabiskan waktu lama untuk membuat konten yang "sempurna"
atau membandingkan dirinya dengan orang lain. Ia juga merasakan sedikit rasa
bersalah karena tidak sepenuhnya jujur pada dirinya sendiri di platform
tersebut.Mengenai belajar, ia sering mengalami kecemasan dan penyesalan yang
hebat saat mendekati batas waktu tugas atau ujian, terutama ketika ia tahu ia
belum belajar maksimal. "Rasanya gelisah banget, kayak ada beban di dada.
Habis ulangan, kalau hasilnya jelek, aku nyesel banget kenapa enggak belajar
dari awal."
4. Strategi Pengurangan Disonansi
Cahya menggunakan beberapa mekanisme untuk mengurangi
ketidaknyamanan yang ia rasakan: Rasionalisasi/Pembenaran Diri, Penambahan
Kognisi Baru, Meremehkan Pentingnya Disonansi.Cahya cenderung meremehkan dampak
jangka panjang dari kebiasaan media sosialnya, menganggapnya hanya sebagai
hobi. Untuk belajar, ia kadang meremehkan konsekuensi nilai yang kurang
optimal.Upaya Mengubah Perilaku (belum konsisten).Cahya pernah mencoba
membatasi waktu layar atau menonaktifkan notifikasi media sosial, tetapi
seringkali kembali ke kebiasaan lama karena dorongan sosial atau kebosanan. Ia
juga beberapa kali mencoba membuat jadwal belajar yang ketat, namun sering
gagal mematuhinya.
5. Dampak dan Kesadaran Diri Responden
Cahya menyadari bahwa disonansi ini memengaruhi tingkat
stresnya dan kepercayaan dirinya. Terkadang ia merasa tidak konsisten dengan
siapa dirinya yang sebenarnya, baik di hadapan teman maupun di mata sendiri.
Pengalaman disonansi ini membuatnya merasa sedikit bimbang tentang identitasnya
di tengah tekanan lingkungan sosial dan akademik.
Wawancara dengan Cahya menunjukkan bagaimana remaja
menghadapi disonansi kognitif yang kompleks, seringkali berakar pada kebutuhan
akan penerimaan sosial dan tekanan untuk berprestasi, yang kadang bertentangan
dengan nilai-nilai pribadi mereka.
Penelitian ini, melalui wawancara mendalam, telah memperkaya
pemahaman kita tentang kompleksitas disonansi kognitif dari perspektif
individu. Temuan yang diuraikan menunjukkan bahwa disonansi bukan hanya
konstruksi teoretis, melainkan pengalaman nyata yang memicu respons kognitif
dan emosional yang bervariasi, serta mendorong berbagai strategi resolusi. Ini
menegaskan pentingnya pendekatan kualitatif untuk mengungkap nuansa fenomena
psikologis yang mendalam.

0 komentar:
Posting Komentar