BERSYUKURLAH KARNA
PERNAH GAGAL
Chusnul Rizatul Untsa
Fakultas Psikologi
Universitas Proklamasi 45 Yogyakarta
Sebagai
pelajar tugas utama kita adalah belajar bukan. Apalagi usia – usia SMA yang
merupakan masa keemasan untuk kita bersosialisasi dengan teman sebaya.
Menghabiskan waktu dengan bermain dan bergaya. Beberapa tahun silam dimana
usiaku menginjak 15 tahun dan duduk di bangku kelas satu SMA. Sekolahku
merupakan sekolah negri yang terbilang favorit. Beberapa teman – temanku juga
kalangan elite. Berawal dari keramahan
dan mudahnya aku beradaptasi mereka menjadi sangat akrab denganku. Dan gaya
hidup mereka membuat kehidupanku pada fase itu berubah drastis.
Pada
saat masih di bangku SMP saya adalah anak yang tertutup di kalangan teman –
teman sebaya. Hanya berteman dengan teman kelas saja. Dan menghabiskan waktu
hanya untuk kerja kelompok dan olimpiade. Sebut saja aku cupu waktu itu. Karna
tidak tau pergaulan luar. Tempat aku bersekolah SMP adalah kalangan yang lebih elite lagi, karna sekolah saya pada saat
itu disebut SBI (Sekolah Bertaraf Internasional) sekarang sistem itu sudah
tidak dipakai menurut kebijakan pemerintah karna menimbulkan kesenjangan
sosial. Kesenjangan sosial itu yang menjadikan saya pendiam saat di sekolah
terlebih di luar lingkungan kelas. Karna aku bukan anak yang menenteng laptop
dan di antar jemput mobil pada saat itu. Sekolah bertaraf Internasional tapi
aku masih pake sepeda ontel yang sangat tidak modern, banyak besi berkarat dan
tidak memiliki boncengan di belakang karna sudah rusak.
Karna
lingkungan di SMP yang merasa asing dan cupu itu yang membuatku sedikit kaget
ketika mendapat teman – teman yang asyik. Dengan waktu yang singkat saya
menjadi anak populer di sekolah hanya karna berani menentang kakak kelas ketika
ospek. Dan sejak momen itulah banyak sekali teman – teman mendekati saya.
Termasuk anak – anak gaul yang se-SMP denganku. Perlahan gaya hidupku berubah.
Otomatis dengan beberapa hal kecil aku jadi lebih sering nongkrong dan sering
jalan – jalan dengan mereka. Kedua orang tuaku saat itu masih mampu membiayai
ku dengan gaya hidup seperti mereka. Aku biasa mentraktir teman – teman dan
sebaliknya aku juga sering di traktir mereka.
Tapi
itu tidak berlangsung lama, musibah menimpa Ayahku di perantauan. Yang
berakibat buruk untuk ekonomi keluarga. Termasuk uang jajan dan bulananku. Aku
mulai jarang main dengan teman – teman nongkrong. Sampai pada titik aku benar –
benar tidak memiliki fasilitas yang menyenangkan saat Ayahku masih sukses. Pada
posisi ini aku jarang bawa uang saku ke sekolah. Sampai akhirnya pada
keterpurukan ini aku memiliki ide untuk berjualan di sekolah. Satu hal yang aku
cintai dari kecil adalah berdagang. Hal itu aku wujudkan dengan berjualan kue
ke sekolah. Menjadi pedagang kue berseragam sekolah. Membawa box kue berisi 40
sampai 70 buah perhari. Dan setiap pagi menyempatkan ke pabrik kue untuk
mengambil kue yang akan aku jual. Aku hanya menenteng box itu dr parkiran
sampai kelas. Mungkin beberapa temanku kaget dengan perubahanku, tapi karna aku
sedikitpun tidak minder jadi aku tidak menghawatirkan apapun. Bersyukurnya teman
– temanku tidak membully ku, meski ada saja yang mencibir tapi tidak sebanyak
yang mendukungku. Berjualan kue di sekolah itu berlangsung sampai aku benar –
benar lulus dari SMA. Sampai sekarang aku terkenal sebagai siswi penjual kue. Beberapa
guru akan selalu ingat hal itu karna bisa dibilang kegiatanku itu menonjol
diantara teman – teman yang lain. Sampai keadaan ekonomi keluargaku memulih aku
tetap berjualan sampai detik ini sejak pertama kali aku berjualan sudah 6 tahun
berlalu dan aku tidak pernah mengandalkan uang orang tua lagi. Aku jadi
terbiasa berproduktif sendiri bahkan untuk biaya kuliahku. Kegagalan itu
mengajarkan hal yang sangat besar kepadaku yang berimbas sampai sekarang. Dan
aku bersyukur Tuhan karna waktu itu pernah gagal.
0 komentar:
Posting Komentar