6.11.25

UTS PSIKOLOGI INOVASI

 UTS PSIKOLOGI INOVASI

DOSEN PENGAMPU : Dr.Dra. Arundati Shinta, MA

MATA KULIAH : PSIKOLOGI INOVASI


CHRISTINA ANGELINE NATALIA M

24310420060



Sebagai mahasiswa Psikologi Inovasi, saya melihat fenomena Kang Dedi Mulyadi (KDM) ini sebagai sebuah terobosan intervensi yang radikal dan berani, sebuah bentuk rekayasa sosial-lingkungan yang dirancang untuk memicu perubahan perilaku secara paksa namun terukur. Jika kita menganalisis jalan pikiran KDM melalui skema persepsi lingkungan dari Paul A. Bell dan kawan-kawan, kita dapat memahami mengapa pendekatan "barak militer" ini, yang tampak kontras dengan pendekatan pesantren (Pramono Anung) atau lapas khusus (Gubernur Jawa Tengah), justru menunjukkan efektivitas.

Model persepsi Bell (sering digunakan dalam psikologi lingkungan) pada dasarnya menjelaskan bahwa lingkungan (sebagai stimulus) tidak secara langsung memengaruhi perilaku. Pengaruh itu dimediasi oleh proses persepsi atau penilaian kognitif (cognitive appraisal) individu terhadap lingkungan tersebut, yang kemudian membangkitkan respons afektif (emosi dan gairah), dan pada akhirnya mengarahkan pada respons perilaku (coping atau adaptasi). KDM tampaknya memahami alur ini secara intuitif dan memanipulasinya untuk tujuan positif.

Jalan pikiran KDM dimulai dari diagnosis bahwa lingkungan asal para remaja "unik" ini telah gagal. Lingkungan lama mereka (keluarga, sekolah, teman sebaya) memberikan stimulus yang permisif, tidak terstruktur, dan mungkin penuh kekerasan, yang dipersepsikan oleh remaja sebagai "normal". Akibatnya, respons afektif mereka tumpul atau liar, dan perilaku yang muncul adalah kenakalan (merokok, membolos, berkelahi) sebagai bentuk adaptasi atau ekspresi yang salah. Metode konvensional seperti nasihat atau hukuman ringan gagal karena stimulusnya terlalu lemah untuk mengubah persepsi yang sudah mengakar.

Inovasi KDM adalah intervensi "terapi kejut lingkungan". Ia tidak mencoba mengubah remaja di lingkungan lama mereka. Ia secara drastis mencabut remaja dari stimulus lama dan memasukkan mereka ke stimulus baru yang berintensitas sangat tinggi: barak militer. Ini adalah sebuah lingkungan yang "memaksa" (coercive environment). Stimulus di barak militer memiliki karakter yang berlawanan 180 derajat dengan lingkungan asal: sangat terstruktur, disiplin tinggi, penuh aturan ketat, konsekuensi yang jelas (reward/punishment), dan menuntut aktivitas fisik serta spiritual (olahraga, berdoa) yang terjadwal ketat.

Di sinilah skema Bell menjadi relevan. Saat pertama kali masuk, stimulus baru yang keras ini pasti menimbulkan penilaian kognitif (persepsi) yang negatif pada remaja. Mereka merasa terancam, terkekang, dan marah. Respons afektif mereka adalah stres, takut, dan penolakan. Namun, KDM melakukan dua hal krusial. Pertama, ia mengamankan aspek legal-psikologis melalui "surat bermeterai" dari orang tua. Ini adalah sinyal kuat bagi remaja bahwa otoritas tertinggi dalam hidup mereka (orang tua) telah menyetujui intervensi ini, mematahkan potensi manipulasi remaja terhadap orang tua mereka.

Kedua, KDM memahami bahwa persepsi dan afek dapat berubah seiring paparan yang konsisten. Lingkungan barak yang "memaksa" ini tidak memberi pilihan lain bagi remaja selain beradaptasi. Mereka tidak bisa melarikan diri atau mengubah aturan. Satu-satunya respons perilaku yang tersedia untuk bertahan hidup (coping) adalah kepatuhan. Awalnya kepatuhan ini bersifat semu (compliance) karena paksaan. Namun, selama berbulan-bulan, perilaku yang dipaksakan ini (bangun pagi, olahraga, berdoa, belajar) mulai membentuk jalur baru di otak mereka.

Seiring waktu, penilaian kognitif mereka bergeser. Lingkungan yang awalnya dipersepsikan sebagai hukuman, mulai dipersepsikan sebagai lingkungan yang dapat diprediksi. Mereka tahu apa yang diharapkan dari mereka dan mereka tahu cara untuk berhasil di lingkungan itu. Keberhasilan kecil (misalnya, menyelesaikan latihan fisik atau dipuji karena disiplin) mulai mengubah respons afektif mereka. Stres berganti menjadi kebanggaan, rasa lelah berganti menjadi rasa bugar, dan kekacauan batin berganti menjadi keteraturan.

Perubahan perilaku yang kita lihat pasca-lulus dari barak adalah hasil dari internalisasi. Kebiasaan yang dipaksakan oleh stimulus lingkungan (barak) telah mengubah persepsi mereka tentang diri sendiri. Mereka tidak lagi memandang diri sebagai "anak nakal", tetapi sebagai individu yang disiplin dan mampu. Mereka bisa "merencanakan masa depan" karena lingkungan barak telah memaksa mereka untuk hidup teratur dan berorientasi pada tujuan, sebuah keterampilan kognitif yang tidak pernah mereka pelajari di lingkungan asal mereka.

Berbeda dengan pesantren yang mungkin dipersepsikan lebih "lunak" atau lapas yang murni punitif (menghukum) dan stigmatis, pendekatan militeristik KDM adalah inovasi yang berfokus pada environmental behavior setting—menggunakan lingkungan total untuk memprogram ulang kebiasaan secara paksa, dengan asumsi bahwa perubahan kognitif dan afektif akan mengikuti perubahan perilaku yang dipaksakan tersebut.

DAFTAR PUSTAKA

Fisher, J. D., Bell, P. A., & Baum, A. (1984). Environmental psychology (2nd ed.). Holt, Rinehart, and Winston.

Patimah, A. S., Shinta, A., & Adib, A. A. (2024). Persepsi terhadap lingkungan. Jurnal Psikologi, 20(1), 23–29.

Sarwono, S. W. (1995). Psikologi lingkungan (Cet. 2). Grasindo.



0 komentar:

Posting Komentar