UTS PSIKOLOGI INOVASI
DOSEN PENGAMPU : Dr.Dra. Arundati Shinta, MA
MATA KULIAH : PSIKOLOGI INOVASI
CHRISTINA ANGELINE NATALIA M
24310420060
Sebagai mahasiswa Psikologi Inovasi, saya melihat fenomena
Kang Dedi Mulyadi (KDM) ini sebagai sebuah terobosan intervensi yang radikal
dan berani, sebuah bentuk rekayasa sosial-lingkungan yang dirancang untuk
memicu perubahan perilaku secara paksa namun terukur. Jika kita menganalisis
jalan pikiran KDM melalui skema persepsi lingkungan dari Paul A. Bell dan
kawan-kawan, kita dapat memahami mengapa pendekatan "barak militer"
ini, yang tampak kontras dengan pendekatan pesantren (Pramono Anung) atau lapas
khusus (Gubernur Jawa Tengah), justru menunjukkan efektivitas.
Model persepsi Bell (sering digunakan dalam psikologi
lingkungan) pada dasarnya menjelaskan bahwa lingkungan (sebagai stimulus)
tidak secara langsung memengaruhi perilaku. Pengaruh itu dimediasi oleh proses persepsi
atau penilaian kognitif (cognitive appraisal) individu terhadap
lingkungan tersebut, yang kemudian membangkitkan respons afektif (emosi
dan gairah), dan pada akhirnya mengarahkan pada respons perilaku (coping
atau adaptasi). KDM tampaknya memahami alur ini secara intuitif dan
memanipulasinya untuk tujuan positif.
Jalan pikiran KDM dimulai dari diagnosis bahwa lingkungan
asal para remaja "unik" ini telah gagal. Lingkungan lama mereka
(keluarga, sekolah, teman sebaya) memberikan stimulus yang permisif, tidak
terstruktur, dan mungkin penuh kekerasan, yang dipersepsikan oleh remaja
sebagai "normal". Akibatnya, respons afektif mereka tumpul atau liar,
dan perilaku yang muncul adalah kenakalan (merokok, membolos, berkelahi)
sebagai bentuk adaptasi atau ekspresi yang salah. Metode konvensional seperti
nasihat atau hukuman ringan gagal karena stimulusnya terlalu lemah untuk
mengubah persepsi yang sudah mengakar.
Inovasi KDM adalah intervensi "terapi kejut
lingkungan". Ia tidak mencoba mengubah remaja di lingkungan lama mereka.
Ia secara drastis mencabut remaja dari stimulus lama dan memasukkan
mereka ke stimulus baru yang berintensitas sangat tinggi: barak militer. Ini
adalah sebuah lingkungan yang "memaksa" (coercive environment).
Stimulus di barak militer memiliki karakter yang berlawanan 180 derajat dengan
lingkungan asal: sangat terstruktur, disiplin tinggi, penuh aturan ketat,
konsekuensi yang jelas (reward/punishment), dan menuntut aktivitas fisik serta
spiritual (olahraga, berdoa) yang terjadwal ketat.
Di sinilah skema Bell menjadi relevan. Saat pertama kali
masuk, stimulus baru yang keras ini pasti menimbulkan penilaian
kognitif (persepsi) yang negatif pada remaja. Mereka merasa terancam,
terkekang, dan marah. Respons afektif mereka adalah stres, takut, dan
penolakan. Namun, KDM melakukan dua hal krusial. Pertama, ia mengamankan aspek
legal-psikologis melalui "surat bermeterai" dari orang tua. Ini
adalah sinyal kuat bagi remaja bahwa otoritas tertinggi dalam hidup mereka
(orang tua) telah menyetujui intervensi ini, mematahkan potensi
manipulasi remaja terhadap orang tua mereka.
Kedua, KDM memahami bahwa persepsi dan afek dapat berubah
seiring paparan yang konsisten. Lingkungan barak yang "memaksa" ini
tidak memberi pilihan lain bagi remaja selain beradaptasi. Mereka tidak bisa
melarikan diri atau mengubah aturan. Satu-satunya respons perilaku yang
tersedia untuk bertahan hidup (coping) adalah kepatuhan. Awalnya
kepatuhan ini bersifat semu (compliance) karena paksaan. Namun, selama
berbulan-bulan, perilaku yang dipaksakan ini (bangun pagi, olahraga, berdoa,
belajar) mulai membentuk jalur baru di otak mereka.
Seiring waktu, penilaian kognitif mereka bergeser.
Lingkungan yang awalnya dipersepsikan sebagai hukuman, mulai dipersepsikan
sebagai lingkungan yang dapat diprediksi. Mereka tahu apa yang
diharapkan dari mereka dan mereka tahu cara untuk berhasil di lingkungan itu.
Keberhasilan kecil (misalnya, menyelesaikan latihan fisik atau dipuji karena
disiplin) mulai mengubah respons afektif mereka. Stres berganti menjadi
kebanggaan, rasa lelah berganti menjadi rasa bugar, dan kekacauan batin
berganti menjadi keteraturan.
Perubahan perilaku yang kita lihat pasca-lulus dari barak
adalah hasil dari internalisasi. Kebiasaan yang dipaksakan oleh stimulus
lingkungan (barak) telah mengubah persepsi mereka tentang diri sendiri. Mereka
tidak lagi memandang diri sebagai "anak nakal", tetapi sebagai
individu yang disiplin dan mampu. Mereka bisa "merencanakan masa
depan" karena lingkungan barak telah memaksa mereka untuk hidup
teratur dan berorientasi pada tujuan, sebuah keterampilan kognitif yang tidak
pernah mereka pelajari di lingkungan asal mereka.
Berbeda dengan pesantren yang mungkin dipersepsikan lebih
"lunak" atau lapas yang murni punitif (menghukum) dan stigmatis,
pendekatan militeristik KDM adalah inovasi yang berfokus pada environmental
behavior setting—menggunakan lingkungan total untuk memprogram ulang
kebiasaan secara paksa, dengan asumsi bahwa perubahan kognitif dan afektif akan
mengikuti perubahan perilaku yang dipaksakan tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Fisher, J. D., Bell, P. A., & Baum, A. (1984). Environmental
psychology (2nd ed.). Holt, Rinehart, and Winston.
Patimah, A. S., Shinta, A., & Adib, A. A. (2024).
Persepsi terhadap lingkungan. Jurnal Psikologi, 20(1), 23–29.
Sarwono, S. W. (1995). Psikologi lingkungan (Cet. 2).
Grasindo.

0 komentar:
Posting Komentar