11.11.25

Tisya Sukmalatri (24310410022) - SPSJ - Psi Lingkungan - Dr Arundanti Shinta - UTS - 11 November 2025

 

Ujian Tengah Semester

Tisya Sukmalatri

24310410022

Psikologi Lingkungan

Dosen Pengampu : Dr. Arundati Shinta, M.A


Fenomena keberadaan masyarakat yang tetap bertahan di kawasan permukiman kumuh menjadi cerminan hubungan antara manusia dan lingkungannya. Menurut pandangan saya foto bangunan tua dengan dinding berlumut, cat mengelupas, serta jendela yang rusak menggambarkan kondisi lingkungan yang secara fisik sangat tidak layak untuk ditempati. Namun ternyata masih banyak orang tetap memilih tinggal di sana karena berbagai alasan. Untuk memahami fenomena tersebut, pendekatan psikologi lingkungan yang dikemukakan oleh Paul A. Bell dkk dapat digunakan sebagai landasan teori. Menurut Bell et al. (2001), persepsi seseorang terhadap objek dapat menimbulkan dampak yang berkelanjutan, jika individu mempresepsikan sesuatu masih dalam batas optimal maka individu tersebut berada dalam keadaan seimbang, namun apabila presepsi tersebut tidak dapat diterima dan melampaui batas optimal maka individu akan mengalami stress dan tertekan.

Menurut Bell & dkk., persepsi lingkungan mencakup dua tahap, yakni sensasi dan persepsi. Pada tahap sensasi, individu menerima rangsangan dari lingkungan seperti bau, warna, atau suara. Meski bagi sebagian orang kondisi lingkungan kumuh terasa tidak nyaman, tetapi bagi penghuni yang telah lama tinggal di sana hal itu menjadi biasa karena adanya adaptasi sensori, yaitu penyesuaian terhadap rangsangan yang berulang (Bell et al., 2001). Tahap berikutnya, yaitu persepsi, melibatkan pemberian makna terhadap lingkungan berdasarkan pengalaman, nilai, dan harapan. Bagi warga permukiman kumuh, rumah mereka bukan sekadar tempat tinggal, tetapi ruang penuh makna sosial dan emosional. Kenyamanan bagi mereka tidak hanya bersifat fisik, melainkan juga psikososial lahir dari rasa memiliki dan kebersamaan.

Menurut Bell (2001), persepsi terhadap lingkungan terbentuk dari interaksi antara faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal meliputi kebutuhan, nilai, dan harapan individu. Bagi masyarakat berpenghasilan rendah, tempat tinggal dianggap layak jika mudah diakses, aman, dan dekat dengan sumber pekerjaan. Karena itu, mereka lebih menekankan aspek fungsional seperti aksesibilitas dan biaya hidup rendah dibandingkan estetika atau kebersihan (Wibisono, 2021).
Sementara itu, faktor eksternal seperti lingkungan sosial dan budaya juga berpengaruh. Di kawasan padat, hubungan antarwarga yang akrab, gotong royong, dan solidaritas tinggi menumbuhkan rasa aman dan kebersamaan. Hidayah dan Mulyana (2018) menemukan bahwa interaksi sosial yang kuat di lingkungan kumuh membentuk persepsi positif terhadap tempat tinggal, meski kondisi fisiknya kurang baik. Selain itu, kedekatan lokasi dengan pusat kota dan area kerja informal menjadi alasan rasional warga untuk tetap tinggal.

Melalui teori persepsi lingkungan yang dikemukakan oleh Paul A. Bell & dkk, kita bisa memahami bahwa orang memilih tinggal di lingkungan kumuh bukan hanya karena faktor ekonomi yang memaksa, tetapi juga karena proses persepsi yang lebih rumit. Lingkungan tersebut memiliki makna yang bersifat emosional, sosial, dan fungsional, yang tidak bisa diukur hanya dari kondisi fisiknya saja. Persepsi seseorang terhadap kenyamanan dan kelayakan suatu tempat dipengaruhi oleh pengalaman pribadi, nilai-nilai sosial dan budaya, serta kemampuan untuk beradaptasi dengan lingkungan itu. Maka, untuk memperbaiki kawasan kumuh, tidak cukup hanya memperbaiki kondisi fisiknya, tetapi juga harus memperhatikan aspek psikologis dan sosial yang dialami oleh para penduduknya.

Kesimpulan

Pilihan untuk tinggal di permukiman kumuh bisa dijelaskan dengan skema persepsi yang dikembangkan oleh Paul A. Bell & dkk. Persepsi manusia terhadap lingkungan terbentuk dari proses aktif yang melibatkan sensasi, pengertian, dan makna yang berasal dari pengalaman hidup seseorang. Lingkungan yang dinilai tidak layak huni oleh sebagian orang mungkin justru memiliki nilai tinggi bagi orang lain karena mengandung aspek sosial, emosional, dan ekonomi yang relevan bagi kehidupan mereka. Dengan memahami proses persepsi ini, maka kita bisa melihat bahwa keputusan untuk tinggal di tempat seperti itu tidak hanya disebabkan oleh kemiskinan, tetapi juga mencerminkan hubungan manusia dengan lingkungan yang penuh makna.

Daftar Pustaka

Bell, A.P., Greene, T.C., Fisher, J.D. & Baum, A. (2001). Environmental

psychology. 5th ed. Harcourt College Publishers.     

Hidayah, N., & Mulyana, S. (2018). Persepsi masyarakat terhadap lingkungan permukiman kumuh di perkotaan. Jurnal Sosial Humaniora, 11(2), 145–156.

Wibisono, A. (2021). Persepsi masyarakat berpenghasilan rendah terhadap kenyamanan lingkungan hunian di kawasan perkotaan. Jurnal Arsitektur dan Perencanaan, 15(2), 101–112.

 

 

0 komentar:

Posting Komentar