Ujian
Tengah Semester
Tisya
Sukmalatri
24310410022
Psikologi
Lingkungan
Dosen
Pengampu : Dr. Arundati Shinta, M.A
Fenomena
keberadaan masyarakat yang tetap bertahan di kawasan permukiman kumuh menjadi
cerminan hubungan antara manusia dan lingkungannya. Menurut pandangan saya foto
bangunan tua dengan dinding berlumut, cat mengelupas, serta jendela yang rusak
menggambarkan kondisi lingkungan yang secara fisik sangat tidak layak untuk
ditempati. Namun ternyata masih banyak orang tetap memilih tinggal di sana
karena berbagai alasan. Untuk memahami fenomena tersebut, pendekatan psikologi
lingkungan yang dikemukakan oleh Paul A. Bell dkk dapat digunakan sebagai
landasan teori. Menurut Bell et al. (2001), persepsi seseorang terhadap objek
dapat menimbulkan dampak yang berkelanjutan, jika individu mempresepsikan sesuatu
masih dalam batas optimal maka individu tersebut berada dalam keadaan seimbang,
namun apabila presepsi tersebut tidak dapat diterima dan melampaui batas optimal
maka individu akan mengalami stress dan tertekan.
Menurut
Bell & dkk., persepsi lingkungan mencakup dua tahap, yakni sensasi dan
persepsi. Pada tahap sensasi, individu menerima rangsangan dari lingkungan
seperti bau, warna, atau suara. Meski bagi sebagian orang kondisi lingkungan
kumuh terasa tidak nyaman, tetapi bagi penghuni yang telah lama tinggal di sana
hal itu menjadi biasa karena adanya adaptasi sensori, yaitu penyesuaian
terhadap rangsangan yang berulang (Bell et al., 2001). Tahap berikutnya, yaitu
persepsi, melibatkan pemberian makna terhadap lingkungan berdasarkan
pengalaman, nilai, dan harapan. Bagi warga permukiman kumuh, rumah mereka bukan
sekadar tempat tinggal, tetapi ruang penuh makna sosial dan emosional.
Kenyamanan bagi mereka tidak hanya bersifat fisik, melainkan juga psikososial lahir
dari rasa memiliki dan kebersamaan.
Menurut
Bell (2001), persepsi terhadap lingkungan terbentuk dari interaksi antara faktor
internal dan faktor eksternal. Faktor internal meliputi kebutuhan, nilai, dan
harapan individu. Bagi masyarakat berpenghasilan rendah, tempat tinggal
dianggap layak jika mudah diakses, aman, dan dekat dengan sumber pekerjaan.
Karena itu, mereka lebih menekankan aspek fungsional seperti aksesibilitas dan
biaya hidup rendah dibandingkan estetika atau kebersihan (Wibisono, 2021).
Sementara itu, faktor eksternal seperti lingkungan sosial dan budaya juga
berpengaruh. Di kawasan padat, hubungan antarwarga yang akrab, gotong royong,
dan solidaritas tinggi menumbuhkan rasa aman dan kebersamaan. Hidayah dan
Mulyana (2018) menemukan bahwa interaksi sosial yang kuat di lingkungan kumuh
membentuk persepsi positif terhadap tempat tinggal, meski kondisi fisiknya
kurang baik. Selain itu, kedekatan lokasi dengan pusat kota dan area kerja
informal menjadi alasan rasional warga untuk tetap tinggal.
Melalui
teori persepsi lingkungan yang dikemukakan oleh Paul A. Bell & dkk, kita
bisa memahami bahwa orang memilih tinggal di lingkungan kumuh bukan hanya
karena faktor ekonomi yang memaksa, tetapi juga karena proses persepsi yang
lebih rumit. Lingkungan tersebut memiliki makna yang bersifat emosional, sosial,
dan fungsional, yang tidak bisa diukur hanya dari kondisi fisiknya saja.
Persepsi seseorang terhadap kenyamanan dan kelayakan suatu tempat dipengaruhi
oleh pengalaman pribadi, nilai-nilai sosial dan budaya, serta kemampuan untuk
beradaptasi dengan lingkungan itu. Maka, untuk memperbaiki kawasan kumuh, tidak
cukup hanya memperbaiki kondisi fisiknya, tetapi juga harus memperhatikan aspek
psikologis dan sosial yang dialami oleh para penduduknya.
Kesimpulan
Pilihan
untuk tinggal di permukiman kumuh bisa dijelaskan dengan skema persepsi yang
dikembangkan oleh Paul A. Bell & dkk. Persepsi manusia terhadap lingkungan terbentuk
dari proses aktif yang melibatkan sensasi, pengertian, dan makna yang berasal
dari pengalaman hidup seseorang. Lingkungan yang dinilai tidak layak huni oleh
sebagian orang mungkin justru memiliki nilai tinggi bagi orang lain karena
mengandung aspek sosial, emosional, dan ekonomi yang relevan bagi kehidupan
mereka. Dengan memahami proses persepsi ini, maka kita bisa melihat bahwa
keputusan untuk tinggal di tempat seperti itu tidak hanya disebabkan oleh
kemiskinan, tetapi juga mencerminkan hubungan manusia dengan lingkungan yang
penuh makna.
Daftar
Pustaka
Bell, A.P., Greene, T.C., Fisher, J.D. & Baum, A. (2001).
Environmental
psychology. 5th ed. Harcourt College Publishers.
Hidayah, N., & Mulyana, S. (2018). Persepsi masyarakat terhadap lingkungan permukiman kumuh di perkotaan. Jurnal Sosial Humaniora, 11(2), 145–156.
Wibisono,
A. (2021). Persepsi masyarakat berpenghasilan rendah terhadap kenyamanan
lingkungan hunian di kawasan perkotaan. Jurnal Arsitektur dan Perencanaan,
15(2), 101–112.

0 komentar:
Posting Komentar