UJIAN
TENGAH SEMESTER
Nindi
Wahyu Oktaviantari – 24310410042 – Psikologi Kelas Karyawan
Psikologi
Lingkungan - Dosen Pengampu : Dr. Arundati Shinta, M.A
Fakultas
Psikologi Universitas Proklamasi 45
Yogyakarta
Di banyak negara, termasuk
Indonesia, kawasan permukiman kumuh masih menjadi persoalan sosial yang menarik.
Walaupun sering dianggap negatif, tempat seperti ini tetap menjadi pilihan
hunian bagi sebagian masyarakat. Salah satu skema persepsi dari paul A bell dan
kawan -kawan tentang persepsi terhadap lingkungan tidak hanya di tentukan oleh
fisik, melainkan ada faktor internal – individu dan faktor sosial budaya yang
akan mempengaruhi sebuah penilaian dan pengambilan keputusan sehingga muncul
sebuah perilaku. Persepsi ini yang akhirnya menjadi landasan masyarakat untuk
berinteraksi dengan lingkungannya. Menurut sarwono (1995) persepsi juga di
pengaruhi oleh kondisi atau tingkat status ekonominya. Bagi sebagian penghuni
yang tetap dan mau tinggal di lingkungan kumuh bisa berbeda dalam menafsirkan
sebuah rangsangan. Dengan mempertimbangkan status ekonomi barangkali menurut
mereka itu adalah rumah yang terjangkau dan aman. Bagi sebagian besar penduduk dengan
berpenghasilan rendah, memiliki rumah meskipun sangat sederhana sudah menjadi
sumber kepuasan tersendiri dan dianggap sebagai bagian penting dari rencana dan
kualitas hidup mereka (Zebardast & Nooraie, 2018; Galiani dkk., 2018). Bisa
jadi mereka memilih tinggal di sana karena memang lahir, kecil dan tumbuh
berada disana dan sudah memiliki ikatan emosional dengan masyarakatnya. Kemudian
yang kedua ada faktor sosial dan budaya. Masyarakat memilih tinggal kemungkinan
besar berfikir solidaritas dan budaya gotong royong lebih penting daripada
bentuk fisik rumah. Mungkin menurut orang lain rumah kumuh terlihat tidak
menarik tetapi bagi sebagian orang, mereka lebih mementingkan bagaimana mereka
di terima dan tidak merasa hidup sendiri. Dalam Psikologi Lingkungan,
keterikatan terhadap tempat berarti seseorang memiliki hubungan emosional
dengan lingkungannya. Ikatan ini membuat seseorang tetap merasa betah dan
nyaman, meskipun kondisi tempat tinggalnya sebenarnya kurang baik. Penelitian
yang dilakukan oleh Oktarini dan rekan-rekan (2022) di Palembang menemukan
bahwa walaupun kondisi fisik lingkungan tergolong kumuh, banyak warga tetap
merasa nyaman karena adanya hubungan sosial yang erat. Setelah melalui proses
persepsi, masyarakat akan menunjukkan perilaku. Perilaku yang di tunjukkan oleh
masyarakat yang memilih untuk tetap tinggal di perumahan kumuh bukan tanpa
sebab, mereka bukan tidak mementingkan kebersihan dan kenyamanan hanya saja
cara memaknai lingkungan berbeda dengan sebagian masyarakat yang lain. Mereka menilai
bahwa lebih banyak keuntungan secara emosional dan sosial yang dianggap lebih
berharga di banding kekurangan yang di dapat (kumuh). Keputusan untuk tetap
menetap dan beradaptasi di sana dengan mereka juga menunjukkan sikap positif
seperti halnya memperbaiki rumah dan tetap menjaga kebersihan minimal di dalam
rumahnya sendiri. Berdasarkan skema persepsi dari paul A bell dan kawan -kawan tentang
persepsi terhadap lingkungan kita bisa memahami bahwa manusia tidak selalu
menilai melalui fisik, ada beberapa orang yang mementingkan makna dan
kenyamanan yang di dapatkan untuk mengambil sebuah keputusan.
Daftar Pustaka :
Sarwono, S. W. (1995). Psikologi lingkungan. Jakarta: Grasindo & Program Pascasarjana Prodi Psikologi UI.
Oktarini, Maya Fitri, Tutur Lussetyowati, Ahmad Siroj, Alif Sirajuddin Bahri, dan Tiara Effendi. 2022. “Modifikasi Desain Bangunan untuk Penanggulangan Sampah di Permukiman Lahan Basah Tepian Sungai.” Jurnal Arsitektur ARCADE6 (1): 82–89.
Bell, P. A., Greene, T. C., Fisher, J. D., & Baum, A. (1996). Environmental Psychology. Harcourt Brace College Publishers.


0 komentar:
Posting Komentar