Resiliensi dan Ketangguhan Mental sebagai Dasar Menjadi Suri Tauladan
Psikologi Inovasi
24310420059
11 November 2025
Menjadi suri tauladan bukan berarti harus tampil sebagai sosok yang sempurna. Menjadi teladan adalah proses untuk berani memperbaiki diri, bertumbuhm dan menunjukkan bahwa tantangan dapat dihadapi dengan sikap yang matang dan bertanggung jawab. Dalam proses tersebut, dua kualitas penting yang sangat mempengaruhi perjalanan seseorang adalah resiliensi dan ketangguhan mental. Resiliensi merupakan kemampuan untuk bangkit setelah mengalami tekanan atau kesulitan (Reivich & Shatté, 2002), sedangkan ketangguhan mental adalah kekuatan psikologis untuk tetap berkomitmen pada tujuan dan tidak mudah menyerah meskipun berada dalam situasi penuh hambatan (Clough, Earle, & Sewell, 2002).
Dalam Pengalaman pribadi, saya pernah berada pada fase yang menguji kedua kemampuan tersebut. Saya menjalani masa dimana saya harus berkuliah dan bekerja dalam waktu yang bersamaan. Rutinitas harian terasa padat dan terkadang membuat saya keawlahan. Tugas kuliah menumpuk sementara tanggung jawab pekerjaan juga menuntut fokus dan performa yang konsisten. Kondisi ini sempat membuat saya merasakan stress dan kelelahan, baik fisik maupun mental.
Namun, situasi itu menjadi titik awal dalam membangun resiliensi. Saya mulai memperbaiki cara saya mengatur waktu dengan lebih sistematis, memilah prioritas, serta memastikan waktu istirahat tidak diabaikan. Saat memiliki waktu luang, saya memilih hal sederhana untuk menyegarkan pikiran, seperti berjalan santai di Malioboro. Mungkin terlihat kecil, tetapi aktivitas tersebut membantu saya untuk menjaga keseimbangan emosi dan mengembalikan energi. Hal ini sesuai dengan Luthans (2002) yang menjelaskan bahwa resiliensi adalah bagian dari modal psikologis positif yang dapat dilatih melalui pengalaman dan refleksi diri.
Seiring berjalannya waktu, pengalaman tersebut membentuk ketangguhan mental dalam diri saya. Menurut Duckworth et al. (2007), ketangguhan mental atau grit adalah kemampuan untuk tetap berusaha secara konsisten dalam jangka panjang, bahkan ketika proses terasa berat. Saya menyadari bahwa saya menjadi lebih sabar, lebih tenang, dan tidak mudah panik saat menghadapi tekanan. Jika dulu saya mudah khawatir, kini saya lebih mampu menata langkah dengan realistis.
Dalam konteks Psikologi Inovasi, resiliensi dan ketangguhan mental menjadi pondasi dalam membangun perubahan diri. Inovasi tidak terjadi dalam situasi nyaman; inovasi muncul ketika seseorang berani berproses, mencoba strategi baru, dan bertahan meski jalannya tidak mudah. Individu yang mampu bertahan dalam tekanan cenderung lebih siap menghadapi perubahan, dan karena itu, memiliki potensi untuk mengilhami orang lain. Dengan sikap sabar, stabil, dan mampu mengelola stres, seseorang dapat menjadi teladan yang nyata—bukan melalui kata-kata, tetapi melalui tindakan yang konsisten.
Dari pengalaman ini saya memahami bahwa menjadi suri tauladan bukan tentang menunjukkan bahwa kita lebih baik dari orang lain, melainkan tentang keberanian untuk berproses. Perubahan kecil yang dilakukan secara berulang akan membentuk karakter yang kuat, dan karakter yang kuat adalah hal yang akan menginspirasi.
Daftar Pustaka:
Clough, P., Earle, K., & Sewell, D. (2002). Mental Toughness: The Concept and Its Measurement. In I. Cockerill (Ed.), Solutions in Sport Psychology. Thomson Learning.
Connor, K. M., & Davidson, J. R. T. (2003). Development of a new resilience scale: The Connor-Davidson Resilience Scale (CD-RISC). Depression and Anxiety, 18(2), 76–82.
Duckworth, A. L., Peterson, C., Matthews, M. D., & Kelly, D. R. (2007). Grit: Perseverance and passion for long-term goals. Journal of Personality and Social Psychology, 92(6), 1087–1101.
Luthans, F. (2002). Positive organizational behavior: Developing and managing psychological strengths. Academy of Management Executive, 16(1), 57–72.
Reivich, K., & Shatté, A. (2002). The Resilience Factor. Broadway Books.

0 komentar:
Posting Komentar