“DISONANSI KOGNITIF PADA INDIVIDU PEROKOK YANG MENJALANI GAYA HIDUP AKTIF BEROLAHRAGA”
Psikologi Inovasi_Tugas 2
Naufal Abyansah_23310410019
Novermber, 2025
BAB 1
LATAR BELAKANG
A. Pendahuluan
Disonansi kognitif merupakan kondisi ketika seseorang mengalami ketegangan batin karena adanya ketidaksesuaian antara keyakinan, pengetahuan, dan perilaku yang ia lakukan. Teori ini pertama kali dikemukakan oleh Leon Festinger (1957), yang menjelaskan bahwa ketika seseorang menyadari perbedaan antara apa yang ia ketahui dengan apa yang ia lakukan, maka muncul perasaan tidak nyaman. Untuk mengurangi ketegangan tersebut, individu biasanya mencari pembenaran atau alasan tertentu agar tetap merasa tenang dan perilakunya tampak rasional.
Fenomena ini sering dijumpai dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya, seseorang mengetahui bahwa konsumsi makanan cepat saji dapat menimbulkan risiko kesehatan, namun tetap melakukannya karena merasa praktis atau enak. Contoh lain yang menarik adalah pada individu yang mengetahui bahaya rokok, tetapi tetap merokok bahkan setelah rutin berolahraga di gym. Kondisi ini menggambarkan konflik antara pengetahuan tentang bahaya rokok dengan tindakan merokok yang justru dilakukan dalam konteks menjaga kesehatan.
Tujuan dari wawancara ini adalah untuk memahami bagaimana bentuk disonansi kognitif yang muncul pada individu yang masih merokok meskipun memiliki kesadaran akan pentingnya kesehatan dan kebugaran fisik. Penulis ingin menggali lebih jauh bagaimana subjek memaknai perilakunya, serta mekanisme pertahanan diri apa yang digunakan untuk mengurangi rasa tidak nyaman akibat kontradiksi antara pengetahuan dan tindakan tersebut.
BAB 2
PEMBAHASAN
A. Hasil Wawancara
Subjek A adalah seorang laki-laki berusia 53 tahun dengan pekerjaan sebagai wiraswasta yang aktif berolahraga, seperti jogging hampir setiap pagi dan bulu tangkis bersama teman-temannya hampir setiap akhir pekan. Beliau mengaku cukup peduli dengan kesehatan fisik dan stamina tubuh, terutama karena kegiatan olahraganya membutuhkan daya tahan yang kuat. Namun, di sisi lain, Subjek A juga merupakan perokok aktif sejak usia 20 tahun dan hingga kini belum berhasil berhenti sepenuhnya.
Dalam wawancara, Subjek A menyampaikan bahwa dirinya sadar betul mengenai bahaya merokok terhadap kesehatan, terutama pada paru-paru dan daya tahan tubuh. Ia juga mengakui sering merasa lebih cepat lelah ketika berolahraga teman-temannya yang tidak merokok. Meskipun begitu, ia tetap melanjutkan kebiasaannya dengan alasan bahwa merokok membuatnya lebih rileks setelah beraktivitas atau nongkrong bersama teman.
Subjek A mengatakan, “Saya tahu rokok bikin napas jadi pendek, apalagi kalau lagi badminton bisa ngos-ngosan. Tapi kalau habis main terus ngerokok bareng teman-teman, rasanya kayak lega aja, udah kebiasaan”. Pernyataan tersebut menggambarkan adanya ketidaksesuaian antara kesadaran akan bahaya merokok dengan perilaku yang tetap dilakukan, sehingga menimbulkan disonansi kognitif.
Untuk mengurangi rasa tidak nyaman akibat kontradiksi tersebut, Subjek A mencoba merasionalisasi tindakannya dengan berpikir bahwa olahraga rutin bisa membantu “mengimbangi” dampak negatif dari rokok. Ia beranggapan bahwa selama tubuhnya masih terasa bugar, maka kebiasaan merokok tidak terlalu berbahaya. Sikap ini menunjukkan adanya upaya pembenaran diri sebagai bentuk mekanisme psikologis untuk mengurangi ketegangan dalam dirinya.
B. Analisis Psikologis
Berdasarkan hasil wawancara, Subjek A menunjukkan adanya disonansi kognitif antara pemahamannya mengenai bahaya merokok dan perilaku merokok yang tetap dilakukan. Ia menyadari bahwa merokok dapat merusak paru-paru serta menurunkan stamina saat berolahraga seperti jogging, futsal, atau basket. Namun, tindakan tersebut tetap dipertahankan karena ia berusaha menenangkan pikirannya dengan pembenaran tertentu.
Mekanisme pertahanan diri yang paling menonjol pada Subjek A adalah rasionalisasi. Ia meyakinkan dirinya bahwa olahraga rutin yang dilakukannya dapat “menetralkan” dampak negatif dari rokok. Dengan cara berpikir seperti ini, ia mengurangi rasa bersalah dan ketegangan batin akibat kontradiksi antara pengetahuan dan perilakunya. Selain itu, terdapat juga kecenderungan penyangkalan (denial), di mana Subjek A menolak sepenuhnya dampak jangka panjang rokok dengan alasan tubuhnya masih terasa bugar.
Kondisi ini sesuai dengan teori Leon Festinger (1957) yang menyatakan bahwa ketika seseorang mengalami ketidaksesuaian antara keyakinan dan perilaku, maka timbul perasaan tidak nyaman yang mendorong individu mencari justifikasi. Dalam kasus ini, Subjek A mengatasi ketegangan psikologisnya melalui pembenaran bahwa olahraga yang ia lakukan sudah cukup untuk menjaga kesehatannya, meskipun kenyataannya tidak menghilangkan efek berbahaya dari rokok.
C. Permasalahan dan Kaitannya dengan Inovasi Psikologi
Fenomena disonansi kognitif seperti yang dialami Subjek A dapat menjadi penghambat dalam perubahan perilaku sehat. Ketika seseorang sudah terbiasa memberikan pembenaran terhadap perilaku yang salah, maka motivasi untuk berhenti atau memperbaiki diri akan menurun. Dalam konteks ini, Subjek A meyakini bahwa olahraga yang rutin sudah cukup sebagai kompensasi terhadap kebiasaan merokok, sehingga upaya berhenti merokok menjadi tidak dianggap mendesak.
Dari perspektif psikologi inovasi, solusi yang dapat diterapkan adalah melalui pendekatan intervensi perilaku berbasis kesadaran diri (self-awareness training) dan komunikasi persuasif yang kontekstual. Misalnya, kampanye bertema “Napas Sehat Tanpa Asap” di komunitas bulu tangkis atau kegiatan olahraga dapat membantu individu seperti Subjek A menyadari bahwa kebiasaan merokok justru menurunkan performa yang selama ini ingin dijaga. Selain itu, inovasi psikologi seperti counseling support group berbasis komunitas olahraga juga bisa menjadi ruang aman bagi perokok muda untuk berbagi pengalaman dan memperkuat motivasi berhenti merokok.
Pendekatan inovatif yang menekankan keseimbangan antara edukasi, dukungan sosial, dan strategi coping sehat terbukti efektif dalam mengurangi perilaku berisiko yang disebabkan oleh disonansi kognitif (Suatan & Irwansyah, 2021).
BAB 3
PENUTUP
Dari hasil wawancara dan analisis di atas, dapat disimpulkan bahwa disonansi kognitif dapat membuat seseorang tetap mempertahankan perilaku yang bertentangan dengan pengetahuan yang dimilikinya. Subjek A menunjukkan bentuk disonansi melalui kebiasaan merokok meskipun sadar akan dampak negatifnya terhadap kesehatan dan performa olahraga. Mekanisme rasionalisasi dan penyangkalan yang digunakannya membantu mengurangi rasa bersalah, namun justru memperkuat kebiasaan yang tidak sehat.
Kesadaran diri dan konsistensi antara pengetahuan serta tindakan menjadi hal penting dalam mengatasi disonansi kognitif. Melalui pendekatan psikologi inovasi seperti edukasi berbasis komunitas olahraga dan program dukungan berhenti merokok, individu diharapkan mampu menumbuhkan perilaku yang lebih sejalan dengan nilai-nilai hidup sehat yang diyakini.
DAFTAR PUSTAKA
Handayani, S., & Nurchayati. (2024). Disonansi kognitif pada perempuan berhijab yang merokok. Jurnal Ilmiah Fakultas Psikologi Universitas Yudharta Pasuruan, 11(1), 69– 86. https://doi.org/10.35891/jip.v11i1.3728
Suatan, A. T., & Irwansyah, I. (2021). Studi review sistematis: Aplikasi teori disonansi kognitif dan upaya reduksinya pada perokok remaja. Jurnal Lensa Mutiara Komunikasi, 5(1), 72–82. https://doi.org/10.51544/jlmk.v5i1.1556
Fadholi, G. F. P., Ernungtyas, N. F., Irwansyah, & Hasna, S. (2020). Disonansi kognitif perokok aktif di Indonesia. Jurnal RAP (Riset Aktual Psikologi), 11(1), 1–14. https://doi.org/10.24036/rapun.v11i1.108039
Aqila, F. (2023). Analisis disonansi kognitif pada perokok perempuan di Jakarta. Ikraith Humaniora, 8(3), 345–353. https://doi.org/10.37817/ikraith-humaniora.v8i3.4196

0 komentar:
Posting Komentar