13.11.25

ESSAI 2 – WAWANCARA TENTANG DISONANSI KOGNITIF

 ESSAI  2 – WAWANCARA TENTANG DISONANSI KOGNITIF

 

Kania Ika Mudmainnah

23310410034

Psikologi Inovasi

Dosen Pengampu Dr., Dra. ARUNDATI SHINTA, MA

Fakultas Psikologi Universitas Proklamasi 45

Yogyakarta

Disonansi kognitif adalah kondisi ketidaknyamanan mental yang muncul ketika seseorang memiliki dua keyakinan, nilai, atau perilaku yang saling bertentangan. Teori yang dikemukakan oleh Leon Festinger (1957) ini menjelaskan bahwa individu akan berusaha mengurangi ketegangan tersebut dengan cara mengubah pikiran, menambah alasan pembenaran, atau menyesuaikan perilaku.

Pada perokok, disonansi muncul karena mereka sadar bahwa merokok berbahaya, tetapi tetap melakukannya. Bentuknya bisa berupa rasa bersalah, pembenaran diri (seperti “merokok mengurangi stres”), menghindari informasi tentang bahaya rokok, meremehkan risiko kesehatan, dan keinginan berhenti merokok tanpa tindakan nyata. Semua ini merupakan upaya untuk mengurangi konflik batin antara pengetahuan dan tindakan mereka.

Sementara itu, non-perokok juga dapat mengalami disonansi kognitif, terutama ketika harus berinteraksi dengan perokok di lingkungan sosial. Mereka bisa merasa tidak nyaman, cemas, atau marah karena mengetahui bahaya asap rokok, namun tetap memilih diam demi menjaga hubungan sosial. Kadang mereka juga menghindari situasi penuh asap rokok atau merasionalisasi ketidakmampuan mereka untuk mengubah perilaku perokok.

Secara keseluruhan, baik perokok maupun non-perokok berusaha menyeimbangkan antara keyakinan dan tindakan mereka agar terhindar dari ketegangan psikologis. Disonansi kognitif menjelaskan bagaimana manusia sering berkompromi antara apa yang mereka yakini benar dan apa yang mereka lakukan dalam kehidupan sehari-hari.

Terlepas dari semua penjelasan diatas yang notabene semuanya hampir berkonotasi negative, di dalam keluarga saya yang merokok hanya mbah kakung yang iniialnya yaitu Mbah S****t, beliau berusia kurang lebih 75 tahun yang sudah memiliki anak 5 dan cucu 10. Sepengamatan saya mbah kakung ini dari mulai kegiatan bangun tidur sampai mau beristirahat pun sering merokok dimanapun dan kapanpun itu. Dan di hari Rabu, 5 November 2025 saya melakukan wawancara sebentar dengan mbah kakung pada jam 15.00 wib. Dan wawancara tersebut berada di rumahnya Mbah Kakung sendiri dalam kondisi mbah kakung sedang melakukan aktivitas kegiatan merokok di luar rumah. Adapun hasil wawancara berada dibawah ini :

1.      Pewawancara : Sejak kapan kakung sudah mulai merokok?

Narasumber : Saya mulai merokok setelah lulus sekolah SMA, awalnya karena ikut-ikutan teman saat berkerja di proyekkan.

2.      Pewawancara : Berapa banyak batang rokok yang kakung habiskan dalam waktu 1 hari?

Narasumber : Dalam sehari saya bisa menghabiskan 12-20 batang rokok, tergntung aktivitas dan suasana hati saya.

3.      Pewawancara  : Apakah mbah kakung sudah pernah mencoba berhenti merokok? Jika iya, apa yang membuatnya sulit?

Narasumber : Pernah mencoba waktu saya masuk ke rumah sakit, tetapi pas waktu pulang kerumah dan kondisinya sudah membaik saya Kembali lagi ke aktivitas yang biasanya.

4.      Pewawancara : Bagaimana tanggapan orang disekitar mbah kakung terhadap kebiasaan merokok?

Narasumber : keluarga yang mulai dari istri, anak- menantu sampai cucu seringkali mengngatkan untuk berhenti merokok. Tetapi jika berhenti merokok itu saya merasa gelisah, saya lebih baik tidak makan nasi yang penting saya merokok.

Berdasarkan hasil wawancara yang saya lakukan ini dapat disimpulkan bahwa perilaku merokok yang beliau lakukan merupakan contoh nyata terjadinya disonansi kognitif. Menurut teori Leon Festinger (1957), disonansi kognitif adalah keadaan tidak nyaman secara psikologis yang muncul ketika seseorang memiliki dua atau lebih keyakinan, sikap, atau perilaku yang bertentangan. Dalam konteks ini, Mbah S****t menyadari bahwa merokok adalah kebiasaan yang berbahaya bagi kesehatan, namun tetap melakukannya karena merasa mendapatkan ketenangan dan kenikmatan dari aktivitas tersebut. Konflik antara pengetahuan dan tindakan inilah yang menimbulkan ketidaksesuaian kognitif.

Mbah S****t menunjukkan beberapa tanda disonansi kognitif sebagaimana dijelaskan dalam teori. Pertama, rasionalisasi perilaku terlihat ketika beliau mengatakan bahwa merokok membuatnya merasa lebih tenang dan nyaman. Pernyataan ini merupakan bentuk pembenaran diri untuk mengurangi ketegangan batin akibat kesadaran bahwa merokok berisiko bagi kesehatan. Kedua, terdapat penghindaran informasi, di mana beliau tampak tidak terlalu peduli dengan nasihat keluarga atau informasi medis tentang bahaya merokok. Hal ini merupakan cara untuk menjaga keseimbangan mental agar tidak terus-menerus merasa bersalah.

Selain itu, kebutuhan psikologis terhadap rokok juga memperkuat disonansi tersebut. Mbah S****t mengungkapkan bahwa ia lebih memilih tidak makan nasi daripada tidak merokok. Hal ini menunjukkan bahwa merokok telah menjadi bagian dari identitas dan rutinitasnya yang sulit dipisahkan. Kondisi ini memperlihatkan bahwa upaya berhenti merokok akan memunculkan tekanan psikologis baru berupa rasa gelisah dan kehilangan kenyamanan, sehingga perilaku merokok terus berlanjut sebagai bentuk penyesuaian diri terhadap disonansi.

Dari perspektif psikologi sosial, disonansi kognitif ini berakar pada proses internalisasi nilai dan kebiasaan sosial. Pada masa mudanya, Mbah S****t mulai merokok karena pengaruh lingkungan dan teman kerja, yang memperlihatkan bagaimana faktor sosial turut memperkuat perilaku tersebut. Dengan bertambahnya usia, kebiasaan ini semakin terikat secara emosional, sehingga meskipun tekanan sosial dari keluarga muncul, kebutuhan untuk mempertahankan keseimbangan psikologis membuat beliau tetap melanjutkan perilaku merokok.

Kesimpulannya, perilaku Mbah S****t menggambarkan mekanisme disonansi kognitif yang kompleks. Walaupun secara kognitif ia memahami bahaya merokok, secara emosional dan sosial ia merasionalisasi tindakannya agar tetap konsisten dengan identitas dan kebiasaannya. Dengan demikian, teori disonansi kognitif membantu menjelaskan mengapa seseorang dapat mempertahankan perilaku yang bertentangan dengan keyakinannya, sekaligus menunjukkan bahwa perubahan perilaku memerlukan proses kesadaran, dukungan sosial, dan motivasi internal yang kuat untuk mengurangi konflik psikologis yang terjadi.

HelloSehat. (n.d.). Disonansi kognitif, saat perilaku dan keyakinan tak selaras.

Pascawati, J. (2024, Juli 10). Apa itu teori disonansi kognitif? FISIP UPRI.

 

LAMPIRAN FOTO DENGAN NARASUMBER


0 komentar:

Posting Komentar