ESSAI 2 – WAWANCARA TENTANG DISONANSI KOGNITIF
Kania
Ika Mudmainnah
23310410034
Psikologi
Inovasi
Dosen
Pengampu Dr., Dra. ARUNDATI SHINTA, MA
Fakultas
Psikologi Universitas Proklamasi 45
Yogyakarta
Disonansi
kognitif adalah kondisi ketidaknyamanan mental yang muncul ketika seseorang
memiliki dua keyakinan, nilai, atau perilaku yang saling bertentangan. Teori
yang dikemukakan oleh Leon Festinger (1957) ini menjelaskan bahwa individu akan
berusaha mengurangi ketegangan tersebut dengan cara mengubah pikiran, menambah
alasan pembenaran, atau menyesuaikan perilaku.
Pada
perokok, disonansi muncul karena mereka sadar bahwa merokok berbahaya, tetapi
tetap melakukannya. Bentuknya bisa berupa rasa bersalah, pembenaran diri
(seperti “merokok mengurangi stres”), menghindari informasi tentang bahaya
rokok, meremehkan risiko kesehatan, dan keinginan berhenti merokok tanpa
tindakan nyata. Semua ini merupakan upaya untuk mengurangi konflik batin antara
pengetahuan dan tindakan mereka.
Sementara
itu, non-perokok juga dapat mengalami disonansi kognitif, terutama ketika harus
berinteraksi dengan perokok di lingkungan sosial. Mereka bisa merasa tidak
nyaman, cemas, atau marah karena mengetahui bahaya asap rokok, namun tetap
memilih diam demi menjaga hubungan sosial. Kadang mereka juga menghindari
situasi penuh asap rokok atau merasionalisasi ketidakmampuan mereka untuk
mengubah perilaku perokok.
Secara
keseluruhan, baik perokok maupun non-perokok berusaha menyeimbangkan antara
keyakinan dan tindakan mereka agar terhindar dari ketegangan psikologis.
Disonansi kognitif menjelaskan bagaimana manusia sering berkompromi antara apa
yang mereka yakini benar dan apa yang mereka lakukan dalam kehidupan
sehari-hari.
Terlepas
dari semua penjelasan diatas yang notabene semuanya hampir berkonotasi
negative, di dalam keluarga saya yang merokok hanya mbah kakung yang iniialnya
yaitu Mbah S****t, beliau berusia kurang lebih 75 tahun yang sudah memiliki
anak 5 dan cucu 10. Sepengamatan saya mbah kakung ini dari mulai kegiatan
bangun tidur sampai mau beristirahat pun sering merokok dimanapun dan kapanpun
itu. Dan di hari Rabu, 5 November 2025 saya melakukan wawancara sebentar dengan
mbah kakung pada jam 15.00 wib. Dan wawancara tersebut berada di rumahnya Mbah
Kakung sendiri dalam kondisi mbah kakung sedang melakukan aktivitas kegiatan
merokok di luar rumah. Adapun hasil wawancara berada dibawah ini :
1. Pewawancara
: Sejak kapan kakung sudah mulai merokok?
Narasumber : Saya mulai merokok setelah lulus sekolah SMA, awalnya karena ikut-ikutan teman saat berkerja di proyekkan.
2. Pewawancara
: Berapa banyak batang rokok yang kakung habiskan dalam waktu 1 hari?
Narasumber : Dalam sehari saya bisa menghabiskan 12-20 batang rokok, tergntung aktivitas dan suasana hati saya.
3. Pewawancara : Apakah mbah kakung sudah pernah mencoba
berhenti merokok? Jika iya, apa yang membuatnya sulit?
Narasumber : Pernah mencoba waktu saya masuk ke rumah sakit, tetapi pas waktu pulang kerumah dan kondisinya sudah membaik saya Kembali lagi ke aktivitas yang biasanya.
4. Pewawancara
: Bagaimana tanggapan orang disekitar mbah kakung terhadap kebiasaan merokok?
Narasumber : keluarga yang mulai dari
istri, anak- menantu sampai cucu seringkali mengngatkan untuk berhenti merokok.
Tetapi jika berhenti merokok itu saya merasa gelisah, saya lebih baik tidak
makan nasi yang penting saya merokok.
Berdasarkan
hasil wawancara yang saya lakukan ini dapat disimpulkan bahwa perilaku merokok
yang beliau lakukan merupakan contoh nyata terjadinya disonansi kognitif.
Menurut teori Leon Festinger (1957), disonansi kognitif adalah keadaan tidak
nyaman secara psikologis yang muncul ketika seseorang memiliki dua atau lebih
keyakinan, sikap, atau perilaku yang bertentangan. Dalam konteks ini, Mbah S****t
menyadari bahwa merokok adalah kebiasaan yang berbahaya bagi kesehatan, namun
tetap melakukannya karena merasa mendapatkan ketenangan dan kenikmatan dari
aktivitas tersebut. Konflik antara pengetahuan dan tindakan inilah yang
menimbulkan ketidaksesuaian kognitif.
Mbah
S****t menunjukkan beberapa tanda disonansi kognitif sebagaimana dijelaskan
dalam teori. Pertama, rasionalisasi perilaku terlihat ketika beliau mengatakan
bahwa merokok membuatnya merasa lebih tenang dan nyaman. Pernyataan ini
merupakan bentuk pembenaran diri untuk mengurangi ketegangan batin akibat
kesadaran bahwa merokok berisiko bagi kesehatan. Kedua, terdapat penghindaran
informasi, di mana beliau tampak tidak terlalu peduli dengan nasihat keluarga
atau informasi medis tentang bahaya merokok. Hal ini merupakan cara untuk
menjaga keseimbangan mental agar tidak terus-menerus merasa bersalah.
Selain
itu, kebutuhan psikologis terhadap rokok juga memperkuat disonansi tersebut.
Mbah S****t mengungkapkan bahwa ia lebih memilih tidak makan nasi daripada
tidak merokok. Hal ini menunjukkan bahwa merokok telah menjadi bagian dari
identitas dan rutinitasnya yang sulit dipisahkan. Kondisi ini memperlihatkan
bahwa upaya berhenti merokok akan memunculkan tekanan psikologis baru berupa
rasa gelisah dan kehilangan kenyamanan, sehingga perilaku merokok terus
berlanjut sebagai bentuk penyesuaian diri terhadap disonansi.
Dari
perspektif psikologi sosial, disonansi kognitif ini berakar pada proses
internalisasi nilai dan kebiasaan sosial. Pada masa mudanya, Mbah S****t mulai
merokok karena pengaruh lingkungan dan teman kerja, yang memperlihatkan
bagaimana faktor sosial turut memperkuat perilaku tersebut. Dengan bertambahnya
usia, kebiasaan ini semakin terikat secara emosional, sehingga meskipun tekanan
sosial dari keluarga muncul, kebutuhan untuk mempertahankan keseimbangan
psikologis membuat beliau tetap melanjutkan perilaku merokok.
Kesimpulannya, perilaku Mbah S****t menggambarkan mekanisme disonansi kognitif yang kompleks. Walaupun secara kognitif ia memahami bahaya merokok, secara emosional dan sosial ia merasionalisasi tindakannya agar tetap konsisten dengan identitas dan kebiasaannya. Dengan demikian, teori disonansi kognitif membantu menjelaskan mengapa seseorang dapat mempertahankan perilaku yang bertentangan dengan keyakinannya, sekaligus menunjukkan bahwa perubahan perilaku memerlukan proses kesadaran, dukungan sosial, dan motivasi internal yang kuat untuk mengurangi konflik psikologis yang terjadi.
HelloSehat. (n.d.).
Disonansi kognitif, saat perilaku dan keyakinan tak selaras.
Pascawati, J. (2024, Juli
10). Apa itu teori disonansi kognitif? FISIP UPRI.
LAMPIRAN FOTO DENGAN NARASUMBER


0 komentar:
Posting Komentar