7.11.25

ESAI 8 UTS PSIKOLOGI INOVASI


 Studi Kasus Pembinaan Barak oleh Kang Dedi Mulyadi



Psikologi Inovasi

Dosen Pengampu Dr., Dra. ARUNDATI SHINTA, MA

Azizah Nur'aeni 
23310410030


Dalam beberapa tahun terakhir, nama Kang Dedi Mulyadi (KDM) menjadi sering dibicarakan di berbagai platform media sosial. Bukan hanya karena perannya sebagai tokoh publik, tetapi karena pendekatan KDM dalam menangani remaja yang menunjukkan perilaku ‘unik’, seperti nakal, merokok, membolos, berkelahi, hingga kesulitan mengatur emosi. Alih-alih mengambil pendekatan yang umum seperti sekadar menasihati, memasukkan ke pesantren atau menyerahkan ke lembaga rehabilitatif, KDM justru memilih strategi pembinaan berbasis disiplin melalui pelatihan ala barak militer.

Dalam konteks teori persepsi Paul A. Bell dan kawan-kawan (dalam Patimah et al., 2024; Sarwono, 1995), proses persepsi melibatkan beberapa tahap, yaitu penerimaan stimulus, seleksi informasi, interpretasi, dan terbentuknya respon. Persepsi yang kemudian diulang dalam bentuk perilaku akan membentuk kebiasaan, dan pada akhirnya menghasilkan perubahan diri yang relatif permanen.

Proses terbentuknya persepsi Paul A. Bell dapat terlihat dari bagaimana KDM menerima stimulus berupa kondisi sosial masyarakat, khususnya keluhan orangtua dan lingkungan mengenai perilaku remaja yang sering merokok, bolos sekolah, berkelahi, dan tidak memiliki arah hidup. KDM tidak memandang remaja tersebut sebagai “nakal” atau “rusak”, tetapi KDM memilih untuk melihat mereka sebagai individu yang sedang mengalami kekosongan struktur nilai dan kebiasaan positif. Di tahap inilah terjadi seleksi persepsi: KDM tidak memusatkan perhatian pada perilaku negatifnya, melainkan pada potensi remaja untuk berubah apabila diberi lingkungan yang tepat.

Selanjutnya, pada tahap interpretasi, KDM memahami bahwa perilaku ‘unik’ remaja bukan semata-mata karena karakter bawaan, tetapi karena lemahnya sistem pembiasaan di rumah dan sekolah. Interpretasi ini membuat KDM meyakini bahwa solusi yang tepat bukan hanya menasihati atau menghukum, tetapi menyediakan lingkungan baru yang dapat menginternalisasi disiplin dan nilai diri. Dari sinilah muncul gagasan barak militer sebagai tempat pembentukan karakter melalui rutinitas, struktur, kedisiplinan, keteraturan, dan komunitas yang mendukung.

Persepsi yang telah terbentuk kemudian diterjemahkan menjadi respon perilaku, yaitu memaksa remaja masuk ke barak militer. Pendekatan ala barak militer ini mungkin tampak keras. Namun, banyak orang tua yang ternyata menyetujui tindakan tersebut secara sukarela, bahkan menandatangani surat bermaterai sebagai bentuk persetujuan. Bagi sebagian orang, dukungan ini mungkin terlihat mengejutkan, tetapi jika melihat lebih dalam, dukungan tersebut bisa jadi berakar dari harapan orang tua untuk adanya perubahan nyata. Banyak orang tua yang berada pada titik lelah, kewalahan, dan merasa telah mencoba berbagai cara tanpa hasil. Dalam kondisi tersebut, tawaran KDM bukan dipahami sebagai paksaan, melainkan kesempatan untuk menyelamatkan masa depan anak mereka.

“Remaja tidak berubah hanya dengan dinasehati. Mereka berubah ketika mereka merasakan ritme hidup yang berbeda.” (KDM, Wawancara Kompas TV, 2022)

Oleh karena itu, KDM memilih pendekatan lingkungan yang mengubah ritme hidup anak, bukan pendekatan yang hanya bersifat verbal. Pendekatan ini sejalan dengan teori pembentukan kebiasaan: perilaku yang diulang secara konsisten dalam lingkungan yang mendukung akan menjadi kebiasaan, dan kebiasaan yang stabil membentuk karakter.

Barak militer memberikan ritme hidup yang stabil, mulai dari bangun pagi, olahraga, berdoa, makan tepat waktu, belajar, bekerja, beristirahat sesuai jadwal. Struktur seperti ini menciptakan stimulus baru yang berulang setiap hari, sehingga lambat laun membentuk kebiasaan baru yang lebih adaptif. Program barak bagi remaja KDM berlangsung rata-rata 1–3 bulan (Liputan6, 2023; CNN Indonesia Regional, 2022).

Selama periode tersebut, remaja mengalami proses yang dapat disebut “reparenting kolektif”, yaitu pengasuhan ulang dalam struktur yang stabil, di mana aturan dan kedisiplinan menjadi fondasi utama. Barak menggantikan fungsi pengasuhan orang tua sementara, dengan struktur konsisten, jadwal jelas, dan figur otoritatif yang stabil. Selama masa ini, perilaku anak berubah bukan hanya karena aturan, tetapi karena mereka mengalami langsung lingkungan dengan norma baru. Menurut teori perilaku, tindakan yang dilakukan berulang-ulang akan membentuk habit, dan habit yang terinternalisasi akan menjadi karakter. Inilah inti strategi KDM, yaitu bukan hanya memberi hukuman, tetapi memberi pola hidup baru.

Setelah “lulus” dari barak, beberapa desa melakukan pemantauan lanjutan, dan banyak remaja yang menunjukkan perubahan dalam orientasi hidup, antara lain mulai merencanakan masa depan, menghargai waktu, mengurangi perilaku impulsif, dan lebih menghormati orang tua.

Pendekatan KDM merupakan contoh nyata bagaimana persepsi memengaruhi perilaku, dan perilaku yang terstruktur membentuk kebiasaan serta perubahan diri yang positif. KDM melihat bahwa banyak remaja ‘unik’ yang sebenarnya berada dalam kondisi di mana mereka kehilangan struktur, arah, dan pengalaman positif yang mampu membentuk cara baru dalam memaknai diri. Maka, barak kedisiplinan yang diterapkan berfungsi sebagai lingkungan yang memberikan stimulus baru, yaitu keteraturan, kebersamaan, rasa tanggung jawab, dan tujuan hidup yang lebih jelas.

Dalam Psikologi Inovasi, perubahan perilaku yang berkelanjutan hanya dapat terjadi ketika tiga unsur saling mendukung, yaitu persepsi yang berubah, tindakan baru yang dipraktikkan, dan lingkungan yang konsisten menjaga perilaku tersebut. Dengan demikian, proses pendekatan yang dilakukan oleh KDM sejalan dengan psikologi inovasi, yaitu dengan melakukan rekonstruksi persepsi pada anak, membentuk pembiasaan perilaku melalui kegiatan di barak, dan memberikan lingkungan yang mendukung terjadinya perubahan.


Daftar Pustaka

Patimah, S., et al. (2024). Persepsi dan Pembentukan Perilaku dalam Konteks Sosial. Jurnal Psikologi Perilaku Sosial, 12(2), 45–59.

Dewi, S., & Rahman, A. (2022). Disiplin sebagai Strategi Pembentukan Karakter Remaja. Jurnal Pendidikan Karakter, 14(2), 115–127.

Sarwono, S. W. (1995). Psikologi sosial: Individu dan teori dalam psikologi sosial. PT Rajagrafindo Persada.

Media Indonesia. (2023). Program Pembinaan Remaja oleh Kang Dedi Mulyadi Mendapat Dukungan Keluarga.

Kompas Regional. (2022–2024). Dokumentasi perubahan perilaku remaja peserta pelatihan kedisiplinan.


0 komentar:

Posting Komentar