TUGAS ESAI 8
UJIAN TENGAH SEMESTER
MATA KULIAH PSIKOLOGI INOVASI
Nama : Gladys Melisande Renata
Nim : 23310410015
Kelas : Reguler 23
Dosen Pengampu : Dr. Arundati Shinta, MA
Bulan dan Tahun Terbit : November 2025
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS PROKLAMASI 45
TAHUN 2025
Kang Dedi Mulyadi (KDM) dikenal sebagai sosok pemimpin yang berpikir kreatif dan berani dalam menghadapi masalah sosial, terutama perilaku remaja yang dianggap “unik” seperti membolos, merokok, dan berkelahi. Ia menggunakan pendekatan yang tidak biasa, yakni menempatkan para remaja tersebut dalam lingkungan barak militer. Langkah ini berbeda dari kebiasaan umum yang biasanya menggunakan cara religius seperti mengirim anak ke pesantren, atau pendekatan hukum seperti memasukkan mereka ke lembaga pemasyarakatan. Untuk memahami cara berpikir KDM, pendekatan ini dapat dijelaskan menggunakan teori persepsi Paul A. Bell dan rekan-rekannya (dalam Patimah et al., 2024; Sarwono, 1995), yang menekankan bahwa cara seseorang memandang lingkungannya sangat berpengaruh terhadap perilaku yang dihasilkannya.
Menurut Bell, persepsi muncul ketika seseorang berinteraksi dengan stimulus dari lingkungannya. Cara individu menafsirkan situasi akan menentukan bagaimana ia bereaksi terhadapnya. Jika kondisi yang dihadapi masih dalam batas yang wajar atau “optimal”, individu akan merasa tenang dan stabil (homeostasis). Namun, bila situasi yang dihadapi berada di luar batas kenyamanan, individu akan merasa stres dan berusaha mencari cara untuk menyesuaikan diri (coping). Bila usaha ini berhasil, maka individu akan melakukan adaptasi; sebaliknya, bila gagal, individu dapat mengalami learned helplessness atau perasaan tidak berdaya. Ketika upaya coping yang dilakukan berhasil dan terus diulang, maka perilaku yang muncul akan terbentuk menjadi kebiasaan baru (Patimah et al., 2024).
Dalam konteks tersebut, KDM berhadapan dengan realitas sosial yang tidak seimbang, di mana banyak remaja di Jawa Barat memperlihatkan perilaku yang menyimpang dan kehilangan arah hidup. Ia mempersepsikan situasi ini sebagai ancaman bagi masa depan generasi muda, sehingga perlu diatasi dengan cara yang lebih mendasar. KDM menilai bahwa akar masalah bukan terletak pada kenakalan itu sendiri, melainkan pada lemahnya karakter, kedisiplinan, dan rasa tanggung jawab. Dengan pandangan ini, ia memilih cara yang lebih bersifat shock therapy, yaitu menciptakan lingkungan yang ketat, penuh aturan, dan mendorong pembentukan perilaku disiplin.
Barak militer yang dibentuk KDM berfungsi sebagai bentuk coping behavior, yakni usaha untuk menyesuaikan kondisi lingkungan agar selaras dengan tujuan perubahan perilaku. Di dalam barak tersebut, para remaja menjalani rutinitas seperti berdoa, berolahraga, belajar, serta menaati jadwal istirahat dan kegiatan harian. Melalui lingkungan yang disiplin ini, KDM membantu remaja untuk belajar mengatur diri, menghargai waktu, dan mengembangkan tanggung jawab pribadi. Langkah ini sejalan dengan konsep adjustment dalam teori Bell, yaitu mengubah lingkungan agar mendukung individu dalam menghadapi situasi yang menimbulkan stres.
Proses pelatihan di barak menumbuhkan kemampuan adaptasi para remaja. Pada awalnya mereka mungkin merasa tertekan, namun lama-kelamaan mulai terbiasa dan menyesuaikan diri dengan sistem yang baru. Ketika mereka berhasil melewati proses ini, muncul perubahan perilaku yang signifikan dari perilaku negatif menjadi lebih terarah, bertanggung jawab, dan produktif. Dalam kerangka teori Bell, hal ini menandakan bahwa individu telah mencapai kondisi homeostatis baru, yaitu keseimbangan psikologis dan sosial yang lebih positif.
Pendekatan yang dilakukan KDM menunjukkan pemahamannya terhadap peran persepsi dalam pembentukan perilaku. Ia menyadari bahwa untuk mengubah perilaku seseorang, terlebih dahulu harus diubah cara orang tersebut memandang lingkungannya. Dengan menciptakan lingkungan yang tegas namun mendidik, KDM membantu para remaja membangun persepsi baru tentang kedisiplinan, tanggung jawab, dan masa depan mereka. Melalui pengulangan perilaku positif setiap hari, kebiasaan baru pun terbentuk dan mengakar kuat.
Secara lebih luas, langkah KDM juga dapat dipahami sebagai penerapan prinsip psikologi lingkungan, dimana lingkungan fisik dan sosial menjadi faktor penting dalam pembentukan perilaku manusia. Ia tidak sekadar memberi nasihat atau hukuman, tetapi menciptakan suasana yang mendukung perubahan perilaku melalui keteraturan dan disiplin. Pendekatan ini membuat remaja belajar menghadapi tekanan dengan cara yang sehat dan produktif.
Secara keseluruhan, pemikiran KDM mencerminkan tahapan dalam skema persepsi Paul A. Bell: dimulai dari adanya stimulus berupa kenakalan remaja, muncul stres dan usaha coping melalui penciptaan lingkungan baru (barak militer), kemudian terjadi adaptasi dan pembentukan kebiasaan baru hingga akhirnya tercapai keseimbangan atau homeostatis baru. Dengan cara ini, KDM tidak hanya memperbaiki perilaku remaja yang bermasalah, tetapi juga menanamkan pola pikir dan karakter yang kuat. Pendekatan ini menunjukkan bahwa perubahan perilaku yang berkelanjutan berawal dari perubahan persepsi dan cara individu memaknai lingkungannya.
Daftar Pustaka
Patimah, A. S., Shinta, A., & Al-Adib, A. (2024). Persepsi terhadap lingkungan. Jurnal Psikologi, 20(1), 23–29.
Sarwono, S. W. (1995). Psikologi lingkungan. Jakarta: Grasindo & Program Pascasarjana Prodi Psikologi UI

0 komentar:
Posting Komentar