13.11.25

ESAI-3 MENJADI SURI TAULADAN

 ESAI-3  MENJADI SURI TAULADAN

Menjadi Suri Tauladan di Era Serba Instan dengan Pondasi Resiliensi dan Ketekunan


Mata Kuliah : Psikologi Inovasi

Dosen Pengampu  : Dr. Arundati Shinta, M.A


Azizah Nur’aeni 23310410030



Hidup di dunia yang dinamis dan penuh perubahan mulai dari teknologi, sosial, sampai ekonomi, membuat individu dituntut tidak hanya memiliki kompetensi teknis, tetapi juga kualitas psikologis seperti resiliensi, ketangguhan emosional, dan kepekaan terhadap perubahan.

Menurut Reivich dan Shatté (2002), resiliensi bukan sekadar kemampuan untuk bertahan, tetapi juga untuk tumbuh lebih kuat setelah menghadapi kesulitan. Individu yang resilien memiliki keseimbangan antara optimisme, kontrol diri, dan kemampuan berpikir fleksibel dalam menghadapi situasi sulit.

Di era digital dan serba instan seperti sekarang, resiliensi menjadi kualitas yang semakin krusial. Arus informasi yang cepat, tekanan sosial media untuk “selalu terlihat sukses”, serta pola hidup instan yang menawarkan hasil cepat tanpa proses panjang, sering kali menurunkan daya tahan mental individu. Banyak orang menjadi lebih mudah menyerah, stres, atau kehilangan arah ketika hasil tidak sesuai ekspektasi secepat yang diharapkan.

Di sinilah resiliensi berperan sebagai “otot mental” yang membantu seseorang untuk tetap teguh menghadapi ketidakpastian. Resiliensi menumbuhkan kemampuan untuk menunda kepuasan, menerima proses, dan menemukan makna di balik setiap tantangan. Dalam istilah psikologi inovasi, individu yang resilien tidak hanya bertahan, tetapi mampu “berselancar di atas gelombang perubahan”, bukan untuk melawan, melainkan menyesuaikan diri dan menemukan peluang baru di dalamnya.

Resiliensi juga bisa dipahami sebagai tanda bahwa seseorang sudah “beres dengan dirinya sendiri”. Bukan berarti hidupnya tanpa luka atau masalah, tetapi ia sudah berdamai dengan prosesnya. Individu yang beres dengan dirinya mampu mengelola emosi, menilai situasi dengan rasional, dan tetap bertindak meski keadaan tidak ideal. Ini membuatnya lebih siap menghadapi perubahan dan tekanan tanpa kehilangan arah.

Menjadi suri tauladan tidak cukup hanya dengan kemampuan untuk bangkit dari keterpurukan (resiliensi), tetapi juga membutuhkan ketekunan untuk terus melangkah di tengah dinamisnya kehidupan. 

Ketekunan adalah kemampuan individu untuk tetap berusaha mencapai tujuan meskipun menghadapi hambatan, kesulitan, atau kegagalan. Orang yang tekun tidak mudah menyerah, mereka menunjukkan komitmen jangka panjang terhadap apa yang diyakininya penting.

Menurut Duckworth et al. (2007), ketekunan merupakan bagian dari konsep grit, yaitu kombinasi antara passion (semangat dan cinta terhadap tujuan jangka panjang) dan perseverance (ketekunan dalam memperjuangkan tujuan tersebut). Individu dengan grit tinggi tetap gigih walau menghadapi kegagalan, kesulitan, atau kebosanan.

Di tengah derasnya arus perubahan teknologi, gaya hidup serba cepat, dan budaya instan, masyarakat atau khususnya generasi muda, semakin rentan untuk kehilangan arah nilai dan makna hidup. Apalagi dengan semakin overload-nya informasi dari media sosial, yang membuat bingung informasi atau tokoh mana yang perlu mereka ikuti, kehadiran suri tauladan bisa menjadi ‘kompas moral dan psikologis’ yang membantu individu tidak larut dalam arus perubahan, dan tetap tumbuh secara sehat.

Menjadi suri tauladan bukan tentang menjadi manusia yang sempurna, tetapi tentang menjadi manusia yang terus belajar, beradaptasi, dan menginspirasi lewat tindakan nyata. Menjadi suri tauladan berarti menunjukkan kepada orang lain bahwa gagal, jatuh, dan kecewa adalah bagian dari perjalanan hidup, di mana kita tetap bisa melanjutkan langkah untuk terus bertahan dan bertumbuh.

Suri tauladan yang berbekal resiliensi dan ketekunan, akan mengajarkan kita untuk memiliki kemampuan untuk bangkit dari kesulitan dan beradaptasi secara positif terhadap tekanan atau perubahan, serta memiliki kemauan untuk terus berusaha dalam jangka panjang demi mencapai tujuan, meskipun menghadapi hambatan atau kegagalan berulang. 

Resiliensi dan ketekunan saling melengkapi sebagai modal utama untuk menghadapi tantangan dunia dan dinamis kehidupan, di mana kemampuan untuk beradaptasi (adaptability) dan mempertahankan motivasi jangka panjang sangat menentukan keberhasilan seseorang untuk terus tumbuh dan berkembang.  Resiliensi membuat seseorang tidak mudah hancur ketika gagal, sementara ketekunan membuat seseorang tetap melangkah maju meski jalan panjang dan berat. 

Dalam perspektif psikologi inovasi, menjadi suri tauladan berarti menghadirkan nilai keteladanan yang tidak statis, tetapi dinamis dan adaptif terhadap perubahan. Sosok teladan yang memiliki resiliensi mampu bertahan dan belajar dari tekanan, sementara ketekunan memastikan mereka terus berproses untuk menciptakan dampak nyata. Suri tauladan bisa menjadi ‘agen inovasi’, yaitu seseorang yang tidak hanya menghadapi perubahan, tetapi juga mengubah cara orang lain melihat perubahan itu sendiri.

Daftar Pustaka

Wulandari, R., & Prasetyo, H. (2021). Ketekunan dan Resiliensi sebagai Prediktor Keberhasilan Individu di Era disrupsi. Jurnal Psikologi Positif Indonesia, 3(1), 45–56.

Suryani, N. (2020). Resiliensi dalam Menghadapi Tantangan Era Digital. Jurnal Psikologi dan Pengembangan Diri, 9(2), 101–110.

Duckworth, A. L., Peterson, C., Matthews, M. D., & Kelly, D. R. (2007). Ketekunan dan hasrat terhadap tujuan jangka panjang (Grit: Perseverance and passion for long-term goals). Jurnal Kepribadian dan Psikologi Sosial, 92(6), 1087–1101.


0 komentar:

Posting Komentar