Disonansi Kognitif pada Karyawan yang Merokok di Jam Istirahat
Mata Kuliah: Psikologi Inovasi
Dosen Pengampu: Dr. Dra. Arundati Shinta, M.A.
Nurul Faidah (23310410069)
Fakultas Psikologi
Universitas Proklamasi 45 Yogyakarta
Deskripsi narasumber — inisial A.A, 27 tahun, Team Leader
Disonansi kognitif terjadi ketika seseorang mengalami ketidaksesuaian antara pengetahuan dan perilakunya. Kondisi ini sering muncul dalam kehidupan sehari-hari, terutama pada kebiasaan yang sudah mengakar kuat. Untuk memahami fenomena ini, saya melakukan wawancara dengan seorang karyawan berinisial A.A., 27 tahun, bekerja di sebuah perusahaan swasta di Jakarta.
A.A.. sudah mengetahui bahaya merokok bagi kesehatan, terutama karena ia pernah mengikuti seminar kesehatan dari kantornya. Ia bahkan bisa menyebutkan risiko penyakit yang ditimbulkan, seperti gangguan paru-paru dan jantung. Namun, setiap jam istirahat, ia tetap keluar bersama rekan-rekannya untuk merokok di area parkir belakang kantor. “Kalau nggak ngerokok, rasanya kepala penuh,” ujarnya sambil tertawa kecil.
Dalam percakapan tersebut terlihat jelas adanya disonansi antara pengetahuan (merokok berbahaya) dan perilaku aktual (tetap merokok). Ketika saya tanyakan alasannya, A.A. mengatakan bahwa merokok membuatnya lebih santai dan membantu berinteraksi dengan teman-teman kantor. Ia menambahkan, “Sebenarnya mau berhenti, tapi kerjaan kadang bikin stres. Rokok itu pelarian.”
Secara psikologis, A.A. menggunakan mekanisme pertahanan diri berupa rasionalisasi. Ia mencoba menjustifikasi perilakunya dengan alasan sosial dan emosional. Rasionalisasi ini membuatnya merasa lebih nyaman walau tindakannya bertentangan dengan pengetahuan yang ia miliki. Selain itu, terdapat pula unsur konformitas sosial, karena kebiasaan merokok menjadi bagian dari rutinitas kelompok di tempat kerjanya.
Fenomena ini menunjukkan bahwa disonansi kognitif tidak selalu mendorong perubahan perilaku. Sebaliknya, individu dapat menyesuaikan pikirannya agar sesuai dengan tindakannya, demi mengurangi ketegangan batin. Dalam kasus A.A.., kenyamanan sosial dan kebutuhan relaksasi lebih dominan daripada kesadaran rasional tentang bahaya rokok.
Dari wawancara ini, saya menyimpulkan bahwa memahami disonansi kognitif penting untuk mendorong perubahan perilaku yang lebih sehat. Pengetahuan saja tidak cukup; diperlukan kesadaran emosional dan lingkungan yang mendukung agar seseorang mau benar-benar mengubah kebiasaannya.
0 komentar:
Posting Komentar