8.11.25

Esai 2 - Melakukan Wawancara Disonansi Kognitif

Mata Kuliah: Psikologi Inovasi

Tugas: Esai 2 - Melakukan Wawancara Disonansi Kognitif

Judul: Dinamika Disonansi Kognitif dan Mekanisme Pertahanan Diri dalam Pengelolaan Sampah di Lingkungan Tempat Olahraga

Dosen Pengampu: Dr. Dra. Arundati Shinta, M.A.


Yelsi Adel Quraini (24310420037)

Fakultas Psikologi

Universitas Proklamasi 45 Yogyakarta

November 2025 

    Setiap individu dalam kehidupannya seringkali menghadapi situasi di mana apa yang mereka yakini bertentangan dengan apa yang mereka lakukan. Ketidaksesuaian antara sikap, keyakinan, dan perilaku tersebut menimbulkan ketegangan psikologis yang disebut disonansi kognitif. Ketegangan tersebut tidak hanya membuat individu merasa tidak nyaman, tetapi juga memotivasi mereka untuk mencari cara agar konflik internal tersebut dapat dikurangi. Fenomena ini kerap muncul dalam konteks perilaku sehari-hari yang terkait dengan lingkungan, seperti kebiasaan membuang sampah. Stadion olahraga, sebagai salah satu tempat publik yang ramai dan menjadi pusat aktivitas sosial seperti olahraga, seringkali menjadi lokasi di mana ketidaksesuaian antara kesadaran akan pentingnya menjaga kebersihan dan terjadinya perilaku membuang sampah yang sembarangan. Disonansi kognitif dalam konteks tersebut memberikan gambaran tentang bagaimana individu mempertahankan diri dan menghadapi ketegangan psikologis tersebut. Disonansi kognitif muncul saat pengunjung menyadari bahaya dan dampak negatif sampah, tetapi perilaku membuang sampah sembarangan tetap dilakukan.

    Berdasarkan penelitian Pujiati, Retariandalas, & Rahmatulloh (2024) mengenai disonansi kognitif perilaku mahasiswa terhadap bahaya mikroplastik, ditemukan bahwa disonansi muncul karena adanya perbedaan antara pemahaman mahasiswa tentang bahaya mikroplastik dan perilaku konsumsi plastik sehari-hari. Artinya, meskipun seseorang memiliki pengetahuan dan kesadaran akan resiko mikroplastik dari sampah plastik, terdapat ketidaksesuaian di mana situasi sosial dan lingkungan sering mendorong seseorang untuk berperilaku tidak sesuai dengan kesadarannya sendiri. Saat seseorang merasa tidak nyaman karena ada perbedaan antara apa yang dia percaya dan yang dia lakukan, dia akan secara tidak sadar mencari alasan supaya perilakunya terasa wajar dan tidak membuatnya merasa bersalah. Dengan cara ini, dia mencoba membuat pikirannya tetap tenang dan nyaman walaupun sebenarnya ada hal yang bertolak belakang antara keyakinan dan tindakan yang dia lakukan (Pujiati dkk., 2024).

    Saya melakukan wawancara kepada salah satu pengunjung yang sebelumya terlihat meninggalkan sampah botol plastik di area tempat istirahat, di Stadion Mandala Krida. Subjek tersebut berinisial RA, yang merupakan mahasiswa pertanian, di dalam wawancara, subjek tersebut menjawab pertanyaan saya dengan mengatakan:

“ Ya, alasan saya terkadang masih membuang sampah sembarangan itu ya, karena pas mau membuang sampah ternyata di sekitar saya itu ngga ada tempat sampah jadi ya terpaksa saya buang sampah sembarangan atau  kalo ngga hm buang sampah di tempat yang ada tumpukan sampah walaupun itu bukan tempat sampah”.

“Perasaan saya itu kalo habis buang sampah sembarangan itu ya gelisah, karena kan kalau buang sampah sembarangan takut dilihatin orang terus di cap jadi tukang buang sampah sembarangan gitu.”

Pernyataan tersebut menunjukkan bahwa subjek menggunakan cara mempertahankan diri yang disebut rasionalisasi yang merupakan salah satu strategi yang sering digunakan individu dalam menghadapi disonansi kognitif. Dalam hal tersebut, subjek mencoba membenarkan tindakan membuang sampah sembarangan dengan alasan situasi, seperti tidak adanya tempat sampah di sekitar dan adanya tumpukan sampah di tempat lain. Dengan begitu, subjek merasa tindakannya lebih bisa diterima dan tidak merasa terlalu bersalah. Menurut Pujiati, Retariandalas, & Rahmatulloh (2024), mekanisme tersebut bertujuan untuk mengurangi ketegangan psikologis yang muncul akibat ketidaksesuaian antara kesadaran akan pentingnya menjaga kebersihan dan kenyataan perilaku yang dilakukan. Subjek secara tidak langsung menyiratkan bahwa kondisi lingkungan menjadi faktor utama yang membenarkan perilaku tersebut, sehingga rasa bersalah dapat diminimalisasi dan ketidaknyamanan internal dapat dikurangi.

    Dalam konteks psikologi inovasi, fenomena tersebut menunjukkan bahwa inovasi di tempat umum seperti stadion perlu memperhatikan aspek lingkungan fisik untuk mendukung perilaku positif. Misalnya, pengadaan tempat sampah yang cukup dan mudah dijangkau, serta kampanye yang mengedukasi bahwa situasi tidak selalu mendukung kesadaran individu. Hal ini sejalan dengan konsep bahwa inovasi sosial dan teknologi harus mampu mengurangi hambatan eksternal yang menyebabkan disonansi kognitif, sehingga memberikan ruang bagi perilaku yang sesuai dengan kesadaran dan nilai-nilai yang dianut. Stadion olahraga juga bisa dipandang sebagai tempat strategis untuk melakukan inovasi dalam pengelolaan sampah, untuk membangun budaya kebersihan yang lebih baik. Fenomena tersebut menggambarkan bagaimana aspek lingkungan dan faktor sosial mempengaruhi mekanisme pertahanan diri seseorang dalam menghadapi disonansi kognitif. Ketika individu merasa bahwa mereka tidak sepenuhnya bertanggung jawab atas perilaku mereka karena faktor eksternal, seperti kurangnya fasilitas, mereka cenderung mengurangi rasa bersalah melalui rasionalisasi, walaupun sebenarnya sampah tersebut dapat di simpan dahulu dan jika sudah menemukan tempat sampah, maka barulah sampah tersebut dibuang. Dengan demikian, inovasi yang mampu menciptakan lingkungan kondusif secara fisik dan sosial diharapkan mampu mengurangi disonansi kognitif tersebut, dan mendorong perilaku yang lebih sesuai dengan pengetahuan dan kesadaran akan bahaya sampah, termasuk mikroplastik.


Daftar Pustaka

Pujiati, A., Retariandalas, & Rahmatulloh. (2024). Disonansi Kognitif Perilaku Mahasiswa Terhadap Bahaya Mikroplastik. Jurnal Bionatural, 11(1).


Lampiran

 

0 komentar:

Posting Komentar