11.11.25

ADITYA PRATAMA (24310410045) - SPSJ - Psi Lingkungan - UTS - Dr A Shinta., MA - 11 November 2025

UJIAN TENGAH SEMESTER  – 11 November 2025

INSTITUSI                             : Fak. Psikologi Universitas Proklamasi 45 Yogyakarta

MATA KULIAH / DOSEN    : Psikologi Lingkungan / Arundati Shinta

HARI / TANGGAL                : Selasa 11 November 2025 pukul 1800 – 2300 WIB. 


Potret yang menggambarkan perumahan dengan dinding yang kusam, cat terkelupas, dan jendela rusak sering kali memunculkan persepsi bahwa tempat tersebut tidak layak huni. Sebagian besar orang, seperti saya, akan menganggap lingkungan tersebut sebagai kawasan kumuh dan tidak nyaman untuk ditempati. Namun pada kenyataannya, ada orang yang tetap bersedia tinggal di tempat seperti itu. Alasan di balik fenomena tersebut, dapat kita analisis menggunakan skema persepsi yang dikemukakan oleh Paul A. Bell dkk (2001), yang menjelaskan bahwa persepsi seseorang terhadap lingkungannya terbentuk dari interaksi antara faktor lingkungan, karakteristik individu, dan konteks sosial-budaya.

Menurut Bell et al. (2001), persepsi terhadap lingkungan bukan sekadar hasil dari pengamatan visual, melainkan hasil interpretasi kompleks yang dipengaruhi oleh pengalaman, kebutuhan, nilai, dan ekspektasi individu. Dalam kasus perumahan kumuh, faktor pertama yang memengaruhi persepsi adalah karakteristik stimulus lingkungan itu sendiri. Meskipun secara fisik bangunan tampak tidak terawat, individu mungkin menilai lingkungan tersebut dari aspek fungsionalnya, bukan estetika. Tempat tinggal seperti itu bisa dianggap memadai karena masih memenuhi kebutuhan dasar: melindungi dari panas, hujan, dan bahaya di luar rumah. Selain itu, lokasi perumahan yang dekat dengan pusat aktivitas, tempat kerja, atau fasilitas publik juga dapat memberikan nilai positif bagi penghuninya. Dengan demikian, meski tampak buruk secara visual, lingkungan tersebut tetap dipersepsi sebagai tempat yang “layak” secara fungsional.

Faktor kedua adalah karakteristik individu, yang meliputi latar belakang ekonomi, pengalaman hidup, nilai pribadi, serta kondisi psikologis seseorang. Menurut Sarwono (1995), persepsi lingkungan sangat dipengaruhi oleh pengalaman dan standar hidup individu. Bagi seseorang yang terbiasa hidup sederhana, kondisi fisik bangunan tidak menjadi prioritas utama. Mereka mungkin lebih menghargai rasa aman dan kebersamaan dibandingkan keindahan visual. Selain itu, faktor emosional seperti keterikatan terhadap tempat atau rasa memiliki terhadap komunitas dapat membentuk persepsi positif terhadap lingkungan yang secara objektif dianggap buruk. Misalnya, seseorang yang telah lama tinggal di kawasan tersebut mungkin merasa memiliki kenangan, hubungan sosial, dan rasa identitas yang kuat, sehingga sulit untuk pindah meski kondisi fisik tidak ideal.

Faktor ketiga adalah konteks sosial dan budaya. Menurut Patimah, Shinta, dan Amin Al-Adib (2024), persepsi terhadap lingkungan juga dibentuk oleh nilai sosial yang berlaku di masyarakat. Dalam budaya yang menjunjung tinggi kebersamaan dan solidaritas, aspek sosial sering kali lebih dominan daripada aspek fisik. Penghuni perumahan mungkin saling membantu, berbagi makanan, dan memiliki hubungan yang akrab satu sama lain. Rasa kebersamaan inilah yang membuat mereka merasa nyaman dan “betah”, meskipun lingkungan tampak kumuh bagi orang luar. Selain itu, keterbatasan ekonomi juga menjadi konteks penting. Bagi masyarakat berpenghasilan rendah, tinggal di perumahan sederhana mungkin merupakan satu-satunya pilihan realistis, dan persepsi positif terhadap lingkungan membantu mereka beradaptasi secara psikologis.

Berdasarkan sudut pandang psikologi lingkungan, persepsi menjadi dasar pembentukan keputusan dan perilaku manusia. Cara seseorang mempersepsi lingkungannya akan menentukan bagaimana ia bertindak terhadap lingkungan tersebut. Mereka yang memandang tempat tinggalnya dengan positif cenderung merasa puas dan berupaya memeliharanya, sedangkan mereka yang memiliki persepsi negatif akan mudah merasa tidak nyaman atau ingin pindah.

Dengan demikian, keberanian seseorang untuk tinggal di perumahan yang tampak kumuh bukanlah semata-mata karena keterpaksaan, tetapi merupakan hasil dari proses persepsi yang kompleks. Berdasarkan skema persepsi Bell et al. (2001), keputusan tersebut dipengaruhi oleh kombinasi antara fungsi lingkungan, karakter pribadi, serta konteks sosial-budaya yang melingkupinya. Dengan demikian, penilaian terhadap lingkungan bersifat subjektif; apa yang tampak buruk bagi sebagian orang bisa menjadi “rumah yang nyaman” bagi orang lain.

 

Daftar Pustaka:

 

Bell, A.P., Greene, T.C., Fisher, J.D. & Baum, A. (2001). Environmental psychology. 5th ed. Harcourt College Publishers.

Patimah, A.S., Shinta, A. & Amin Al-Adib, A. (2024). Persepsi terhadap lingkungan. Jurnal Psikologi. 20(1), Maret, 23-29.

https://ejournal.up45.ac.id/index.php/psikologi/article/view/1807

Sarwono, S. W. (1995). Psikologi lingkungan. Jakarta: Grasindo & Program Pascasarjana Prodi Psikologi UI.

 


0 komentar:

Posting Komentar