22.10.25

ESSAI 2 - WAWANCARA TENTANG DISONANSI KOGNITIF


ESSAI 2 - WAWANCARA DISONANSI KOGNITIF

(Antara kesadaran bahaya dan kebutuhan nikotin)

     
 Nama                     : Ranggi Yoga Soraya

  Nim                       : 23310410045

  Mata Kuliah          : Psikologi Inovasi

                                                    Tugas ke 2             : Essai 2 Wawancara Disonansi Kognitif

                                                    Dosen Pengampu  : Dr., Dra. Arundati Shinta. MA.

Progam Studi Psikologi

Fakultas Psikologi

Universitas Proklamasi 45 Yogyakarta

identitas informan :
Nama             : Farhan Kanugrahan
Usia               : 23 Tahun
Pendidikan    : S1 Ilmu Komunikasi

Tema yang saya angkat sebagai acuan dalam mencari informasi dari narasumber adalah “Antara Kesadaran Bahaya dan Kebutuhan Nikotin.” Tema ini saya pilih karena berangkat dari isu dan keresahan yang banyak dialami oleh orang dewasa, khususnya para perokok. Saya sering mendengar keluhan mereka yang ingin berhenti merokok karena menyadari dampak buruknya bagi kesehatan. Namun, di sisi lain, mereka masih kesulitan melepaskan diri dari nikotin yang sudah menjadi bagian dari kebiasaan sehari-hari dan menimbulkan ketergantungan.

Wawancara saya lakukan di pendopo rumah pada malam hari sekitar pukul delapan malam, ketika suasana sekitar sudah tenang dan sebagian besar orang berada di dalam rumah. Pemilihan waktu dan tempat ini saya lakukan untuk menciptakan suasana yang nyaman dan kondusif bagi narasumber, sehingga proses wawancara dapat berjalan lebih terbuka dan mendalam.

Hasil Wawancara(Sebagian/tidak keseluruhan) :

1. Pewawancara:
    Apakah Anda menyadari bahwa merokok memiliki dampak negatif bagi kesehatan?

    Narasumber:
    Iya, tentu saya sadar. Dari kecil saya sudah sering dengar bahwa merokok bisa menyebabkan                  penyakit paru-paru, jantung, dan lainnya. Bahkan di bungkus rokok pun sudah jelas tertulis                      peringatannya. Tapi entah kenapa, saya tetap susah berhenti.

2. Pewawancara:
    Kalau begitu, apa yang membuat Anda tetap merokok meskipun sudah tahu risikonya?

    Narasumber:
    Sebenarnya karena sudah jadi kebiasaan, ya. Setiap kali stres atau banyak pikiran, saya merasa lebih      tenang setelah merokok. Kalau nggak merokok, rasanya ada yang kurang, seperti ada yang hilang.          Kadang juga karena lingkungan, teman-teman di sekitar saya juga perokok, jadi susah lepas.

3. Pewawancara:
    Apakah Anda pernah mencoba berhenti merokok?

    Narasumber:
    Pernah, beberapa kali. Tapi paling kuat cuma bertahan seminggu. Setelah itu malah tambah pengin          lagi. Kalau lihat orang lain merokok, atau pas nongkrong bareng teman, godaannya besar banget.

4. Pewawancara:
    Apa yang Anda rasakan ketika mencoba berhenti merokok?

    Narasumber:
    Rasanya gelisah, gampang marah, susah fokus. Kadang malah jadi makan terus. Jadi, akhirnya saya        balik merokok lagi karena merasa lebih tenang kalau sudah ngerokok satu batang.

Berdasarkan hasil wawancara yang telah saya lakukan, diperoleh gambaran bahwa disonansi kognitif sangat jelas dialami oleh narasumber yang merupakan seorang perokok aktif. Narasumber menunjukkan adanya konflik antara kesadaran akan bahaya merokok dan kebutuhan terhadap nikotin yang sulit dikendalikan.

Narasumber mengungkapkan bahwa ia mengetahui secara jelas dampak negatif merokok, seperti gangguan pernapasan, risiko penyakit jantung, dan efek buruk bagi orang di sekitarnya. Kesadaran ini sering menimbulkan rasa bersalah dan keinginan untuk berhenti merokok. Namun, di sisi lain, muncul dorongan kuat untuk tetap merokok karena tubuh sudah terbiasa dengan nikotin dan merasa lebih tenang setelah merokok.

Selain itu, faktor sosial juga berperan penting. Narasumber merasa sulit menolak ajakan merokok dari teman-teman, terutama saat berkumpul atau bersantai. Situasi tersebut memperkuat kebiasaan merokok meskipun ada niat untuk berhenti. Dalam konteks ini, narasumber melakukan mekanisme pembenaran diri, misalnya dengan mengatakan bahwa “merokok membantu mengurangi stres” atau “semua orang punya kebiasaan buruk masing-masing.” Hal ini merupakan bentuk strategi psikologis untuk meredakan disonansi kognitif antara pengetahuan dan perilaku.

Kesimpulan

Berdasarkan hasil wawancara, dapat disimpulkan bahwa disonansi kognitif sangat jelas dialami oleh narasumber yang merupakan seorang perokok aktif. Narasumber menyadari sepenuhnya bahwa merokok berdampak buruk bagi kesehatan, baik bagi dirinya maupun orang di sekitarnya. Namun, kesadaran tersebut belum mampu mengubah perilaku karena adanya ketergantungan terhadap nikotin yang menimbulkan rasa nyaman dan menenangkan. Selain faktor fisiologis, lingkungan sosial juga turut memengaruhi perilaku merokok. Dorongan dari teman sebaya dan kebiasaan dalam situasi sosial membuat narasumber sulit untuk berhenti. Hal ini menunjukkan bahwa kesadaran saja tidak cukup untuk mengatasi kebiasaan merokok; dibutuhkan komitmen, dukungan sosial, serta strategi pengendalian diri yang berkelanjutan agar perubahan perilaku dapat terjadi.

Saran

  1. Bagi individu perokok, penting untuk mulai mengurangi ketergantungan nikotin secara bertahap dan mencari alternatif pengalihan, seperti olahraga, aktivitas produktif, atau teknik relaksasi.

  2. Bagi lingkungan sosial, terutama teman dan keluarga, diperlukan dukungan dan pemahaman agar proses berhenti merokok dapat berjalan lebih mudah tanpa tekanan atau ejekan.

  3. Bagi pihak pemerintah atau lembaga kesehatan, sebaiknya terus meningkatkan edukasi dan menyediakan layanan konseling berhenti merokok agar masyarakat lebih mudah mendapatkan pendampingan.

  4. Bagi peneliti atau mahasiswa psikologi, tema disonansi kognitif pada perokok dapat dijadikan bahan kajian lanjutan untuk memahami lebih dalam hubungan antara kesadaran, kebiasaan, dan perubahan perilaku.



 Lampiran

(Foto bersama narasumber)




0 komentar:

Posting Komentar