30.10.25

ESAI 2 - WAWANCARA TENTANG DISONSASI KOGNITIF

 MATA KULIAH : PSIKOLOGI INOVASI 

TUGAS 2 : WAWANCARA TENTANG DISONANSI KOGNITIF PADA PEROKOK

DOSEN PENGAMPU : Dr. ARUNDATI SHINTA, M.A.



RIDHO PUTRA ARMANDO / 23310410024

FAKULTAS PSIKOLOGI 

UNIVERSITAS PROKLAMASI 45 YOGYAKARTA

OKTOBER 2025


IDENTITAS INFORMAN: 
NAMA : WISNU DWI NUGRAHA 
USIA    :  24 TAHUN 
HOBI    : MANCING 


Perilaku merokok merupakan fenomena psikologis yang menarik karena sering kali terjadi pertentangan antara pengetahuan dan tindakan. Banyak individu mengetahui bahaya rokok, namun tetap melakukannya. Hal ini mencerminkan adanya disonansi kognitif, yaitu ketidaksesuaian antara keyakinan dan perilaku seseorang. Untuk memahami hal tersebut, dilakukan wawancara dengan seorang perokok aktif berinisial W (24 tahun), seorang Pegawai Negri yang telah merokok sejak SMP. Wawancara dilakukan di Halaman Tempat Kerjanya di Jl. Magelang KM.12,5 Krapyak, Triharjo, Sleman..

Pewawancara: “Mas tahu kan kalau rokok berbahaya bagi kesehatan? Kenapa masih merokok?”

Narasumber: “Tahu, tapi kalau nggak ngerokok kepala rasanya berat. Rokok itu kayak teman pas lagi stres.”

Pewawancara: “Apakah pernah mencoba berhenti merokok?”

Narasumber: “Pernah, tapi cuma tahan dua hari. Setelah itu malah gampang marah dan susah fokus.”

Pewawancara: “Kalau tahu berbahaya, apa Mas nggak takut kena penyakit paru atau jantung?”

Narasumber: “Takut sih, tapi ya semua orang pasti mati. Jadi, nikmatin aja selagi bisa.”

Sepenggal wawancara tersebut memperlihatkan konflik batin yang dialami W. Ia sadar bahwa merokok berbahaya, tetapi tetap melakukannya karena merasa rokok membantu menenangkan diri. Inilah bentuk disonansi kognitif yang dijelaskan oleh Leon Festinger (1957), yaitu ketegangan psikologis akibat ketidaksesuaian antara pikiran dan perilaku. Untuk mengurangi ketegangan itu, W menggunakan beberapa mekanisme pertahanan diri, antara lain:

- Rasionalisasi, dengan berpikir bahwa rokok membantu fokus dan mengurangi stres kerja.

- Denial (penyangkalan), dengan menolak kenyataan bahwa dampak rokok dapat terjadi pada dirinya.

- Proyeksi, dengan menyalahkan tekanan pekerjaan sebagai alasan utama sulit berhenti merokok.

Tujuan penggunaan mekanisme ini adalah agar W tetap merasa nyaman dan bebas dari rasa bersalah. Ia mempertahankan perilaku yang bertentangan dengan nilai kesehatannya demi mengurangi kecemasannya.

Permasalahan ini berkaitan dengan psikologi inovasi, terutama dalam hal bagaimana pendekatan inovatif dapat membantu mengubah perilaku berisiko. Inovasi dalam bidang psikologi kesehatan, seperti aplikasi pendamping berhenti merokok, konseling berbasis digital, atau komunitas pendukung online, dapat menjadi cara baru untuk mengatasi disonansi kognitif. Inovasi tersebut perlu menekankan aspek motivasi internal dan dukungan sosial agar individu lebih siap menghadapi perubahan.

Kesimpulan:

Disonansi kognitif pada perokok menunjukkan adanya ketegangan antara kesadaran dan tindakan. Melalui mekanisme pertahanan diri, individu berusaha menenangkan diri dari rasa bersalah. Namun, tanpa dukungan inovasi psikologis yang menyentuh aspek emosional dan sosial, perubahan perilaku sulit tercapai. Oleh karena itu, intervensi berbasis inovasi perlu diarahkan pada peningkatan kesadaran diri dan motivasi untuk berhenti merokok.

Daftar Pustaka

Festinger, L. (1957). A Theory of Cognitive Dissonance. Stanford University Press.

Azwar, S. (2015). Sikap Manusia: Teori dan Pengukurannya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Sarwono, S. W. (2012). Psikologi Sosial: Individu dan Teori-Teori Psikologi Sosial. Jakarta: Rajawali Pers.

Komalasari, D., & Helmi, A. F. (2008). Hubungan antara Dukungan Sosial dengan Motivasi Berhenti Merokok pada Perokok Dewasa. Jurnal Psikologi Universitas Gadjah Mada, 35(1), 54–67.

Notoatmodjo, S. (2014). Ilmu Perilaku Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta.


LAMPIRAN 

(FOTO BERSAMA NARASUMBER)




0 komentar:

Posting Komentar