TUGAS
ESAI 2 WAWANCARA TENTANG DISONANSI KOGNITIF
DISONANSI KOGNITIF PADA MAHASISWA PEROKOK DI COFFEE SHOP
Olivia
Yunita Trestiawati (23310410023)
Mata
Kuliah Psikologi Inovasi
Dosen
Pengampu: Dr. Dra. Arundati Shinta, M.A.
PROGRAM
STUDI PSIKOLOGI
FAKULTAS
PSIKOLOGI
UNIVERSITAS
PROKLAMASI 45
OKTOBER
2025
Coffee
shop sering menjadi tempat favorit mahasiswa untuk mengerjakan tugas atau
sekadar beristirahat setelah menghadiri kelas. Aktivitas ini sering kali
diiringi dengan kebiasaan merokok, yang bagi sebagian orang dianggap bisa
mengurangi stres atau meningkatkan fokus. Namun, kebiasaan merokok ini menarik
untuk diteliti dari segi psikologi, karena menunjukkan adanya ketidaksesuaian
antara pemahaman tentang bahaya rokok dan tindakan yang tetap dilakukan.
Saya
melakukan wawancara dengan seorang mahasiswa yang merupakan perokok aktif dan
sering menghabiskan waktu di coffee shop. Tujuan wawancara ini adalah untuk
memahami bentuk disonansi kognitif yang muncul ketika seseorang menyadari
dampak negatif dari merokok, tetapi tetap mempertahankan kebiasaan tersebut.
Narasumber yang berinisial H adalah mahasiswa semester delapan. Ia terlihat
santai dan terbuka dalam menjawab pertanyaan yang diajukan.
Berikut cuplikan hasil
wawancara:
A: Kapan pertama kali
Anda mulai merokok?
H: Sejak duduk di bangku
SMA. Awalnya hanya mengikuti teman-teman, tetapi lama-kelamaan menjadi
kebiasaan yang sulit dihentikan.
A: Apakah Anda mengetahui
bahwa merokok memiliki dampak negatif bagi kesehatan?
H: Tentu saja saya tahu.
Saya sering membaca informasi tentang bahaya rokok, terutama bagi paru-paru.
Namun, ketika merasa stres atau lelah mengerjakan tugas kuliah, merokok membuat
saya lebih tenang.
A: Apakah Anda pernah
mencoba berhenti merokok?
H: Sudah beberapa kali.
Namun, biasanya hanya bertahan beberapa hari. Lingkungan sekitar saya juga
banyak yang merokok, sehingga ketika saya berhenti justru merasa tidak nyaman.
A: Menurut Anda, apakah
merokok memiliki manfaat tertentu?
H: Mungkin bukan manfaat
secara kesehatan, tetapi saya merasa lebih fokus ketika menulis tugas sambil merokok.
Selama tidak berlebihan, saya rasa tidak masalah.
Hasil
wawancara menunjukkan bahwa H mengalami disonansi kognitif, yaitu
ketidakcocokan antara apa yang ia ketahui dan apa yang ia lakukan. Ia tahu
bahwa merokok berbahaya, tetapi tetap merokok karena merasa nyaman secara
emosional. Pernyataannya bahwa “merokok tidak berlebihan” merupakan bentuk
mekanisme pertahanan diri, yakni rasionalisasi, yaitu cara untuk menenangkan
rasa bersalah.
Selain
itu, faktor sosial juga memperkuat kondisi ini. Banyak temannya yang merokok
membuat tindakan tersebut terlihat alami. Norma dalam kelompok yang
memperbolehkan membuatnya kurang termotivasi mengubah perilaku. Hal ini
menunjukkan bahwa disonansi tidak hanya dipengaruhi oleh faktor dari dalam
diri, tetapi juga oleh lingkungan sosial yang mendukung kebiasaan lama.
Menurut
Leon Festinger (1957), seseorang bisa mengurangi disonansi dengan cara mengubah
perilaku, mengubah keyakinan, atau menambah keyakinan baru. H memilih menambah
keyakinan dengan berpikir bahwa merokok “tidak masalah selama tidak
berlebihan.” Cara ini memberi rasa tenang secara psikologis, tetapi justru
menghalangi kemajuan pribadinya.
Dari
sudut pandang psikologi inovasi, seseorang yang masih mempertahankan disonansi
akan mengalami kesulitan berubah karena energi psikologisnya digunakan untuk
membenarkan tindakan yang tidak benar. Kesadaran sendiri tidak cukup tanpa
keberanian mengubah kebiasaan. Disonansi kognitif akhirnya menjadi hambatan
bagi kemajuan pribadi dan keseimbangan diri.
LAMPIRAN
DAFTAR PUSTAKA:
Festiger, L. (1957). A theory of cognitive
dissonance. Row, Peterson, New York.
Miller, M. K., Clark, J. D., & Jehle,
A. (2015). Cognitive dissonance theory (Festinger). The Blackwell
encyclopedia of sociology, 1, 543-549.
Fadholi, F., Prisanto, G. F., Ernungtyas,
N. F., Irwansyah, I., & Hasna, S. (2020). Disonansi Kognitif Perokok Aktif
di Indonesia. Jurnal RAP (Riset Aktual Psikologi Universitas Negeri
Padang), 11(1), 1.


0 komentar:
Posting Komentar