UAS PSIKOLOGI INOVASI
S. Febryan Nugroho / 22310410155
Kelas : SJ
Fakultas Psikologi Universitas Proklamasi 45
Yogyakarta
24 Juli 2025
Dosen Pengampu :
Dr., Dra. Arundati Shinta MA
Setiap individu memiliki kemampuan dan potensi untuk berubah menjadi lebih baik tergantung dari cara pandang ia terhadap stimulus perubahan yang terjadi di sekelilingnya. Akan tetapi, cara orang memandang dan merasakan perubahan itu bisa berbeda-beda. Ada yang merasa nyaman dan bisa beradaptasi, tapi ada juga yang merasa tertekan dan akhirnya menolak perubahan itu. Cara pandang atau persepsi seseorang terhadap lingkungan sekitarnya inilah yang sangat menentukan apakah dia bisa berubah atau tidak.
Menurut skema persepsi dari Paul A. Bell dkk. (dalam Patimah et al., 2024) di atas, perubahan dimulai dari hubungan antara diri individu dengan lingkungan (objek fisik) atau individu lain. Menurut Bell, ada 3 respon manusia terhadap perubahan. Pertama, ketika lingkungan dipersepsikan sebagai sesuatu yang masih bisa ditoleransi atau masih "wajar", misal ketika pindah kerja, ternyata budaya kerja hampir sama dengan tempat kerja lama (dalam batas optimal), maka orang itu akan berusaha mempertahankan kondisi seimbang dan nyaman (homeostatis) tersebut. Kedua, ketika stimulus perubahan dirasa terlalu berat, asing, atau tidak sesuai dengan harapan individu (di luar batas optimal), maka akan muncul stres. Apabila individu mampu menghadapi stres (coping) tersebut dengan baik, maka akan muncul perilaku yang adaptif dan perubahan positif. Ketiga, di lain sisi, ketika individu mengalami stres akibat perubahan yang di luar batas optimal, namun gagal untuk menciptakan coping yang baik, stres yang muncul akan berlanjut dan perubahan akan menuju hal yang negatif.
Skema ini bisa membantu kita memahami kenapa Ayu Aryanti tidak banyak berubah walaupun sudah tinggal bersama Kang Dedi Mulyadi, sementara remaja-remaja ‘unik’ lainnya justru bisa berubah dan memperbaiki hidup mereka setelah mengikuti program KDM
1. Ayu Aryanti: Persepsi Tertutup dan Resistensi terhadap Perubahan
Ayu Aryanti adalah gadis SMK dari keluarga sederhana yang mendapat kesempatan langka tinggal bersama Kang Dedi Mulyadi (KDM). Ia tidak perlu memikirkan biaya sekolah, makan, bahkan tempat tinggal. Semua sudah ditanggung. Lingkungan ini sebenarnya sangat mendukung untuk membuat hidup Ayu jadi lebih baik. Tapi ternyata, Ayu tidak banyak berubah.
Kalau kita lihat dari skema Paul A. Bell dkk., pada awalnya Ayu berada pada kondisi ketiga, yaitu saat seseorang merasa lingkungan barunya terlalu berat atau asing, lalu mengalami stres, tapi tidak bisa mengatasinya dengan cara yang baik. Stres ini diakibatkan oleh kondisi di luar batas optimal, misalnya perasaan tertekan karena harus hidup teratur, jauh dari keluarga, atau merasa tidak cocok dengan gaya hidup baru yang diberikan. Atau bisa jadi akibat ia tidak mampu menghadapi tuntutan atau ekspektasi dari lingkungan KDM dan masyarakat, serta bayangan akan ketidakpastian masa depan yang membuat ia takut. Sayangnya Ayu tidak mampu menghadapi stres ini dengan baik.
Karena tidak punya cara yang tepat untuk menghadapi tekanan itu, Ayu justru kembali ke kehidupan lamanya: jualan makaroni dengan penghasilan kecil. Lucunya di kehidupan lama ini, Ayu justru merasa kondisinya masih dalam batas optimal. Ia merasakan kenyamanan dan keseimbangan karena tidak dituntut macam-macam. Dan Ayu memutuskan untuk mempertahankan kondisi nyaman ini. Inilah yang disebut dengan homeostatis versi Ayu. Ia merasa sudah cukup dan nyaman dengan hidup yang sederhana, walaupun sebenarnya peluang untuk berkembang jauh lebih besar di lingkungan KDM.
Jadi, Ayu memang berada dalam kondisi stres yang tidak bisa diatasi, lalu kembali ke zona nyaman. Akibatnya, perubahan positif tidak terjadi.
2. Remaja “Unik”: Transformasi Melalui Persepsi yang Terbentuk Secara Bertahap
Berbeda dengan Ayu, para remaja “unik” yang ikut program barak militer KDM justru bisa berubah ke arah yang lebih baik. Padahal, mereka awalnya punya banyak masalah: suka bolos, melawan orangtua, bahkan ada yang kecanduan minuman keras. Keluarga mereka akhirnya menyerahkan mereka ke KDM untuk dibina secara ketat di barak
Dalam pandangan Bell, para remaja ini masuk ke dalam kondisi kedua. Artinya, mereka ditempatkan di lingkungan yang sangat berbeda dari biasanya, misalnya penuh aturan, ketat, dan tidak bebas (di luar batas optimal). Situasi seperti ini tentu membuat mereka merasa stres juga, sama seperti Ayu. Tapi bedanya, para remaja ini bisa menghadapi (coping) stres tersebut dengan cara yang lebih sehat.
Di barak militer, mereka harus bangun pagi, olahraga, berdoa, belajar, dan hidup teratur. Awalnya mungkin mereka keberatan atau merasa tertekan. Tapi karena ada dukungan dari orang-orang sekitar, contoh baik dari KDM, serta rasa kebersamaan dengan teman-teman lainnya, mereka perlahan mulai mengubah cara pandangnya. Ini yang membedakan dari Ayu bahwa remaja-remaja memiliki persepsi bahwa diri mereka bisa berubah, dan bahwa hidup mereka masih bisa diperbaiki.
3. Penutup : Kenapa Hasilnya Berbeda?
Pertanyaan pentingnya adalah: kenapa hasil perubahan Ayu dan para remaja binaan KDM bisa berbeda, padahal sama-sama mengalami stres dan berada di lingkungan baru? Jawabannya tidak sesederhana “siapa yang lebih pintar” atau “siapa yang lebih rajin”. Tapi karena banyak faktor yang berbeda di sekitar mereka, seperti cara pendampingan, rutinitas kegiatan sehari-hari, siapa yang mendampingi, dan dukungan dari orang lain dan sebaya. Kemungkinan besar Ayu tidak memiliki dukungan-dukungan ini, sedangkan program remaja-remaja di barak militer memiliki keunggulan dari segi fasilitas, fasilitator, program, dan dukungan teman sebayanya.
Daftar Pustaka:
Patimah, A., Shinta, A., & Al Adib, A. (2024). Persepsi terhadap lingkungan. Jurnal Psikologi, 20(1), 23–29.


0 komentar:
Posting Komentar