ESSAY 9 : Kisah Perubahan Diri: Ayu Aryanti dan Remaja
'Unik' Kang Dedi Mulyadi dalam Kacamata Persepsi
Ayu Windi Astuti - 23310420073
Dosen Pengampu Dra. Arundati Shinta,
M.A
Mata Kuliah: Psikologi Inovasi
Tanggal Publikasi: 24 Juli 2025
Program Studi Psikologi
Fakultas Psikologi Universitas
Proklamasi 45
Tahun 2025
Kang Dedi
Mulyadi (KDM), Gubernur Jawa Barat, kini menjadi figur sentral dalam berbagai
diskusi media sosial berkat upayanya mendorong perubahan positif di masyarakat.
Ia dikenal mampu "memaksa" individu untuk bergerak menuju arah yang
lebih baik. Namun, setiap upaya perubahan selalu diwarnai dengan penolakan
sekaligus penerimaan. Ada yang gigih menolak, ada pula yang menyambutnya dengan
antusias. Esai ini akan menganalisis dua kasus berbeda yang melibatkan
intervensi KDM: Ayu Aryanti, seorang gadis muda yang menolak kesempatan
perubahan, dan sekelompok remaja "unik" yang berhasil
bertransformasi. Dengan menggunakan kerangka persepsi Paul A. Bell dan
kawan-kawan, kita akan menguraikan bagaimana perbedaan dalam persepsi mendasari
perilaku dan kebiasaan yang terbentuk, serta menjelaskan mengapa hasil
perubahan pada kedua kelompok ini sangat kontras.
Dalam
studi psikologi, persepsi adalah elemen kunci untuk memahami perilaku manusia.
Paul A. Bell dan timnya menekankan bahwa persepsi adalah proses aktif di mana
individu memilih, mengorganisir, dan menafsirkan informasi dari lingkungannya
menjadi gambaran yang bermakna. Proses ini tidak pasif; individu secara aktif
membangun realitas mereka sendiri berdasarkan apa yang mereka terima. Secara
sederhana, Bell menjelaskan alur yang menghubungkan persepsi dengan tindakan:
Stimulus → Persepsi → Perilaku → Kebiasaan.
Stimulus
merujuk pada segala sesuatu, baik dari lingkungan luar maupun dalam diri, yang
memicu sebuah respons. Ini bisa berupa informasi baru, tawaran kesempatan, atau
kondisi lingkungan yang berubah. Setelah stimulus diterima, individu masuk ke
tahap persepsi, sebuah proses internal yang sangat personal. Di sini, individu
menyaring dan menafsirkan stimulus tersebut. Penafsiran ini sangat dipengaruhi
oleh pengalaman masa lalu, nilai-nilai pribadi, keyakinan yang dianut, dan
harapan yang sudah ada. Persepsi berfungsi sebagai "filter" pribadi
yang menentukan bagaimana stimulus diterima dan dipahami oleh setiap individu.
Dari persepsi inilah kemudian muncul perilaku, yaitu
tindakan atau respons yang nyata sebagai konsekuensi dari bagaimana stimulus
dipersepsikan. Perilaku adalah ekspresi eksternal dari interpretasi internal
seseorang. Ketika perilaku ini diulang secara konsisten dari waktu ke waktu, ia
akan menjadi otomatis dan tertanam kuat, membentuk sebuah kebiasaan. Kebiasaan
terbentuk dari perilaku yang terus-menerus diperkuat oleh persepsi yang
konsisten terhadap stimulus tertentu. Dengan demikian, persepsi adalah fondasi
yang menentukan arah dan konsistensi perilaku kita.
Ayu Aryanti,
seorang siswi SMK Akuntansi yang pintar namun hidup dalam keterbatasan ekonomi,
menerima sebuah stimulus besar: kesempatan emas untuk hidup lebih baik,
pendidikan terjamin hingga lulus SMK dan bahkan perguruan tinggi, tanpa beban
biaya. Ia diangkat sebagai anak asuh KDM. Namun, setelah dua tahun berada dalam
lingkungan KDM, Ayu memilih kembali ke rumah dan melanjutkan profesi orang
tuanya sebagai penjual makaroni, dengan penghasilan yang sangat minim.
Dalam
kerangka penjelasan Bell, penolakan Ayu terhadap perubahan dapat dijelaskan
melalui persepsinya. Meskipun dihadapkan pada stimulus yang menjanjikan masa
depan cerah, Ayu kemungkinan besar mempersepsikan kesempatan tersebut sebagai
ancaman terhadap identitasnya yang telah terbentuk. Ia mungkin merasa nyaman
dengan status quo, atau nilai-nilai keluarga yang menekankan kesederhanaan dan
kemandirian sejak dini memiliki pengaruh yang sangat kuat. Pendidikan tinggi
dan kehidupan yang "berbeda" mungkin dipersepsikan sebagai sesuatu
yang asing atau bahkan memisahkan dirinya dari akarnya. Persepsi ini, yang
kemungkinan besar berakar pada pengalaman masa lalu dan sistem nilainya, memicu
perilaku penolakan terhadap pendidikan lanjutan dan kembali ke zona nyamannya.
Perilaku ini, yang konsisten dengan persepsinya, pada akhirnya mengukuhkan
kebiasaan lamanya sebagai penjual makaroni. Dua tahun, meski waktu yang cukup
lama, tidak cukup untuk mengubah persepsi inti Ayu tentang apa yang ia anggap
"baik" atau "pantas" bagi masa depannya.
Berbeda
dengan Ayu, sekelompok remaja "unik"—yang memiliki riwayat kenakalan,
tawuran, atau penyalahgunaan minuman keras—menunjukkan perubahan perilaku yang
signifikan. Mereka "dipaksa" atau diserahkan orang tua untuk masuk
barak militer di bawah pengawasan KDM. Stimulus yang mereka terima adalah
lingkungan yang sangat terstruktur, disiplin ketat, dan program pembinaan
intensif yang meliputi kedisiplinan, doa, olahraga, dan belajar. Bagi yang
tidak memiliki orang tua, KDM bahkan menjadi ayah angkat dan menjamin
pendidikan mereka.
Pada
awalnya, persepsi remaja-remaja ini terhadap disiplin dan perubahan mungkin
negatif, bahkan ada penolakan. Namun, lingkungan barak militer yang bersifat
imersif dan tanpa kompromi, secara konsisten memberikan stimulus yang sama
setiap hari. Melalui "pemaksaan" dan pengulangan aktivitas positif,
persepsi mereka mulai bergeser secara drastis. Mereka mulai mempersepsikan
nilai dari disiplin, pentingnya tujuan hidup, dan potensi diri yang sebelumnya
tidak mereka sadari. Lingkungan yang sangat terkontrol membatasi stimulus
negatif dan secara paksa memperkenalkan stimulus positif, yang pada gilirannya
membentuk persepsi baru. Persepsi positif ini kemudian menghasilkan perilaku
yang lebih baik: mereka menjadi lebih disiplin, bertanggung jawab, dan mulai
merencanakan masa depan. Perilaku-perilaku baru ini, yang terus-menerus diulang
dalam lingkungan yang mendukung, akhirnya membentuk kebiasaan positif yang mengarah
pada transformasi diri yang nyata dan berkelanjutan.
Perbedaan
mendasar antara kasus Ayu dan remaja "unik" terletak pada tingkat dan
cara persepsi mereka diintervensi dan diubah. Pada Ayu, meskipun stimulus
eksternal (kesempatan hidup lebih baik) sangat kuat dan positif, persepsi
internalnya terhadap stimulus tersebut tidak berubah. Ia mungkin melihatnya
sebagai ancaman terhadap identitas atau kenyamanannya. Intervensi KDM, meskipun
dilandasi niat baik, tidak cukup "memaksa" atau merombak kerangka persepsi
Ayu yang sudah mapan. Ayu memiliki otonomi untuk memilih, dan pilihannya
didasarkan pada persepsi yang tidak bergeser dari akar lamanya.
Sebaliknya,
pada remaja "unik", intervensi melalui barak militer bersifat total
dan "memaksa". Lingkungan yang terkontrol secara ketat meminimalkan
stimulus negatif dari luar dan secara konsisten memberikan stimulus positif.
Kondisi ini secara efektif "memaksa" perubahan persepsi. Ketika
stimulus yang diterima sangat konsisten dan pilihan alternatif terbatas, individu
cenderung menyesuaikan persepsinya untuk beradaptasi dan bertahan. Persepsi
baru tentang diri dan masa depan inilah yang kemudian mendorong pembentukan
perilaku dan kebiasaan baru yang positif. Singkatnya, Ayu memiliki kebebasan
yang lebih besar dalam mempertahankan persepsinya, sementara remaja
"unik" dihadapkan pada lingkungan yang secara fundamental membentuk
ulang persepsi mereka.
Kasus Ayu
Aryanti dan remaja "unik" yang dibimbing Kang Dedi Mulyadi memberikan
pelajaran penting mengenai kompleksitas perubahan diri. Melalui penjelasan
persepsi Paul A. Bell, kita memahami bahwa perubahan perilaku dan kebiasaan
sangat bergantung pada bagaimana individu mempersepsikan stimulus dari
lingkungannya. Ayu, dengan persepsi yang mungkin terikat pada identitas lama,
menolak perubahan meskipun dihadapkan pada peluang besar. Sementara itu, remaja
"unik" berhasil bertransformasi karena lingkungan yang terstruktur
dan "memaksa" berhasil mengubah persepsi inti mereka terhadap diri
dan masa depan. Hal ini menggarisbawahi bahwa intervensi perubahan yang efektif
harus mampu menembus dan membentuk ulang persepsi individu, karena persepsi
inilah yang pada akhirnya menjadi fondasi bagi setiap perilaku dan kebiasaan
yang terbentuk.
0 komentar:
Posting Komentar