Di buat Kamis 24 juli 2025
Perbedaan
Perubahan Diri Antara Ayu Aryanti Dengan Para Remaja ’Unik’ Melalui Skema Persepsi Dari Paul A. Bell Dan
Kawan-Kawan
Perubahan diri merupakan proses psikologis yang sangat kompleks dan bergantung pada bagaimana individu memaknai pengalaman atau rangsangan yang mereka terima. Dalam konteks perubahan yang diinisiasi oleh Gubernur Jawa Barat Kang Dedi Mulyadi (KDM), kita bisa melihat dua respons berbeda terhadap stimulus yang relatif sama: yaitu peluang untuk hidup lebih baik melalui pendidikan, pembinaan, dan pengasuhan langsung dari figur yang inspiratif. Dua kelompok yang bisa dibandingkan adalah Ayu Aryanti dan para remaja ‘unik’ yang pernah mengalami masa kelam seperti kenakalan remaja, tawuran, atau penyimpangan perilaku lainnya. Untuk memahami perbedaan pola perubahan diri antara Ayu Aryanti dan para remaja ‘unik’ tersebut, kita bisa menggunakan skema persepsi menurut Paul A. Bell dan kawan-kawan (dalam Patimah et al., 2024; Sarwono, 1995), yang terdiri atas tiga tahap utama: stimulus, seleksi, dan interpretasi, yang kemudian membentuk persepsi yang menentukan perilaku, dan akhirnya akan berujung pada pembentukan kebiasaan.
Ayu Aryanti adalah seorang remaja perempuan dari keluarga sederhana yang kemudian diangkat menjadi anak asuh oleh KDM. Ia mendapatkan fasilitas hidup yang layak, tidak perlu memikirkan biaya sekolah, dan bahkan diberi kesempatan untuk melanjutkan ke perguruan tinggi secara cuma-cuma. Secara objektif, Ayu menerima stimulus positif yang sangat besar. Namun, dari sudut pandang persepsi, stimulus yang diterima tidak selalu diolah dengan cara yang sama oleh setiap individu. Dalam tahap seleksi, Ayu tampaknya lebih menyoroti rasa tidak nyaman, tekanan, dan ketidaksesuaian nilai-nilai atau lingkungan baru dibandingkan dengan manfaat yang seharusnya ia rasakan. Ia mungkin merasa kehilangan kebebasan, kehilangan kedekatan dengan keluarga, atau justru merasa bahwa perubahan hidup yang ditawarkan terlalu sulit dijalani. Pada tahap interpretasi, Ayu memaknai pengalaman tersebut sebagai hal yang membatasi dan tidak sesuai dengan harapan pribadinya, bukan sebagai peluang untuk memperbaiki masa depan. Persepsinya pun terbentuk negatif: bahwa hidup bersama KDM bukanlah jalan terbaik baginya. Maka, tidak heran jika kemudian perilakunya tetap stagnan, bahkan setelah dua tahun diasuh oleh KDM. Ia memilih kembali ke rumah dan membantu orang tuanya menjual makaroni dengan penghasilan yang sangat minim. Karena tidak ada perubahan signifikan dalam perilaku, maka tidak terbentuk pula kebiasaan baru yang mendukung perubahan diri. Akhirnya, Ayu kembali ke pola hidup semula tanpa ada loncatan dalam kualitas hidup atau arah masa depan.
Sebaliknya, para remaja ‘unik’ yang sebelumnya terlibat dalam berbagai kenakalan justru menunjukkan perubahan diri yang cukup drastis setelah mengikuti program barak militer ala KDM. Mereka ditempatkan di lingkungan yang sangat disiplin, penuh aturan, dan terstruktur secara ketat. Secara stimulus, mereka menerima perlakuan keras, aturan disiplin, rutinitas doa, olahraga, dan belajar. Pada tahap seleksi, karena mereka sebelumnya berada dalam kondisi penuh konflik, banyak dari mereka justru menangkap stimulus ini sebagai satu-satunya jalan keluar dari kehidupan lama yang rusak. Dalam tahap interpretasi, mereka menilai bahwa aturan-aturan di barak, meskipun berat, memberikan rasa aman, harapan, dan arah yang jelas. Persepsi ini membentuk keyakinan bahwa mereka bisa berubah dan memiliki masa depan yang lebih baik. Maka, perilaku mereka pun mulai bergeser ke arah yang lebih positif: mulai belajar, menghargai waktu, dan menjalin hubungan yang lebih sehat. Perilaku baru ini, ketika dilakukan berulang-ulang dalam lingkungan yang mendukung, akhirnya membentuk kebiasaan positif. Kebiasaan ini kemudian menjadi dasar dari perubahan diri yang nyata dan berkelanjutan. Bahkan beberapa dari mereka yang tidak memiliki orang tua kemudian tinggal dengan KDM dan mendapatkan jaminan pendidikan, yang semakin memperkuat struktur positif dalam kehidupan mereka.
Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa perbedaan utama antara Ayu Aryanti dan para remaja ‘unik’ terletak pada bagaimana mereka memaknai stimulus yang sama-sama bersifat transformatif. Ayu gagal membentuk persepsi positif terhadap peluang perubahan, sedangkan remaja ‘unik’ justru menganggap tekanan sebagai jalan menuju perbaikan. Dengan demikian, skema persepsi Paul A. Bell menjelaskan bahwa perubahan diri tidak semata ditentukan oleh seberapa besar atau baik stimulus yang diberikan, tetapi oleh bagaimana individu menyeleksi dan menginterpretasikan stimulus tersebut dalam kerangka makna pribadinya.
Daftar Pustaka
Kadisdik. (2024). Laporan Tahunan Pembinaan Siswa Berprestasi dan Rentan Putus Sekolah di Jawa Barat. Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Barat.
KDM Channel. (2022a). Kisah Masa Kecil KDM dan Anak Asuhnya. YouTube. https://www.youtube.com/KDMchannel
KDM Channel. (2022b, 2022c, 2022d, 2022e, 2022f). Program Anak Asuh KDM dan Perjuangan Pendidikan Remaja Jawa Barat. YouTube. https://www.youtube.com/KDMchannel
KDM Channel. (2025a, 2025b). Barak Militer KDM untuk Remaja Nakal: Dari Kekacauan Menuju Perubahan. YouTube. https://www.youtube.com/KDMchannel
Patimah, S., Hidayat, D., & Widodo, R. (2024). Psikologi Perubahan dan Inovasi. Jakarta: Prenadamedia Group.
Sarwono, S. W. (1995). Psikologi Sosial. Jakarta: Balai Pustaka.

0 komentar:
Posting Komentar