NAMA : MARDIANTO TIRO
NIM : 22310410139
MATA KULIAH : PSIKOLOGI INOVASI
DOSEN PENGAMPU : DR. ARUNDATI SHINTA, M.A.
MEI 2025
Disonansi Kognitif pada Perokok: Studi
Kasus Seorang Teman
Dalam esai ini, saya mewawancarai teman saya
berinisial R.A.P, berusia 22 tahun, seorang mahasiswa di salah satu perguruan
tinggi negeri sekaligus bekerja secara part time sebagai barista di
sebuah coffee shop di Yogyakarta. R.A.P merupakan perokok aktif yang
juga memiliki kebiasaan membuang sampah sembarangan, termasuk puntung rokok
yang kerap ia biarkan berserakan di lantai kamar. Ketika saya tanyakan mengapa
ia melakukan hal tersebut, ia menjawab, “Saya tahu merokok dan buang sampah
sembarangan itu salah, tapi saya capek kerja. Males bersihin.”
Pernyataan ini menunjukkan adanya disonansi kognitif,
yaitu kondisi ketika seseorang mengalami ketidakselarasan antara nilai atau
pengetahuan yang dimilikinya dengan tindakan nyata yang dilakukannya. Dalam
konteks ini, R.A.P sadar bahwa kebiasaannya merokok dan membuang sampah
sembarangan tidak sesuai dengan nilai kebersihan dan kesehatan, namun tetap ia
lakukan karena merasa lelah atau malas. Menurut teori disonansi kognitif dari
Leon Festinger, ketegangan psikologis akibat konflik antara kognisi dan tindakan
ini akan mendorong individu untuk mencari cara meredakannya (Festinger dalam
Griffin, 2018).
Pada kasus ini, R.A.P menggunakan beberapa bentuk
mekanisme untuk mengurangi disonansi:
- Rasionalisasi:
“Capek kerja, wajar kalau males bersihin.”
- Minimisasi
dampak: “Puntung rokok kecil ini nggak bakal ngaruh besar.”
- Delegasi
tanggung jawab: “Nanti juga dibersihkan ibu kos.”
- Normalisasi
sosial: “Teman-teman kos juga gitu, bukan cuma aku.”
Temuan ini sejalan dengan penelitian Khrismasagung T.
dkk. (2024) dalam Jurnal Bengawan yang menjelaskan bahwa perokok aktif
cenderung menambahkan elemen konsonan untuk meredakan ketegangan batin,
misalnya dengan meyakini bahwa rokok belum tentu berdampak langsung atau bahwa
kebiasaan merokok adalah bagian dari gaya hidup. Bahkan dalam kegiatan
penyuluhan yang mereka lakukan, banyak peserta yang baru menyadari bahwa
konflik batin yang mereka rasakan selama ini termasuk dalam kategori disonansi
kognitif.
Lebih lanjut, penelitian oleh Negoro (2016) dalam Jurnal
Interaksi menyoroti respons remaja perokok terhadap gambar peringatan
bahaya pada bungkus rokok. Meskipun informasi tersebut menimbulkan ketegangan
kognitif, sebagian besar responden memilih mengabaikannya atau bahkan
menyembunyikan kemasan rokoknya—strategi ini disebut penghindaran disonansi.
Dalam perspektif psikologi inovasi, pemahaman tentang
disonansi kognitif menjadi penting untuk menyusun strategi perubahan perilaku
yang efektif. Inovasi tidak cukup hanya menyampaikan pesan rasional, tetapi
juga harus menyentuh dimensi emosional, identitas diri, dan tekanan sosial yang
dirasakan individu. Jika tidak, individu akan terus mencari pembenaran atas
perilakunya alih-alih berubah.
Wawancara ini memberikan pelajaran bahwa perubahan
gaya hidup sering kali terhambat bukan oleh kurangnya informasi, tetapi oleh
konflik internal yang belum terselesaikan. Maka dari itu, pendekatan
humanistik, empatik, dan berbasis dialog sangat penting untuk menjembatani
antara kesadaran dan tindakan nyata.
Daftar Pustaka :
- Khrismasagung,
S. T., & Wahyudi, D. (2024). Penyuluhan Tentang Bahaya Rokok dan
Sulitnya Berhenti Merokok dengan Pendekatan Teori Disonansi Kognitif.
Jurnal Bengawan, 4(2), 113–123.
- Negoro,
S. H. (2016). Pembentukan Sikap oleh Perokok Remaja melalui Peringatan
Bahaya Merokok pada Kemasan Rokok. Jurnal Interaksi, 5(2), 112–122.
- Griffin,
E., Ledbetter, A., & Sparks, G. G. (2018). A First Look at
Communication Theory. McGraw-Hill Education


0 komentar:
Posting Komentar