FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS PROKLAMASI 45
Dosen Pengampu : Dr. Arundati Shinta, MA
Penulis : Rifan Adi Nugraha
NIM : 23310410029
Memiliki dorongan berprestasi yang kuat tidak cukup hanya
dengan motivasi sesaat; dibutuhkan resiliensi agar seseorang mampu bertahan
dalam menghadapi kegagalan, kritik, atau tekanan. Salah satu fondasi dari
ketahanan ini adalah memiliki tujuan hidup yang jelas dan berarti. Ketika
seseorang mengetahui alasan mengapa ia ingin meraih suatu pencapaian, maka ia
lebih mampu mempertahankan semangat meskipun menghadapi hambatan (Locke &
Latham, 2002). Tujuan yang bersifat personal dan selaras dengan nilai diri dapat
menjadi kompas dalam menghadapi tantangan jangka panjang.
Selain itu, memiliki pola pikir berkembang atau growth
mindset sangat penting dalam membangun resiliensi. Pola pikir ini mendorong
keyakinan bahwa kemampuan bukanlah sesuatu yang tetap, melainkan dapat terus
ditingkatkan melalui usaha, pengalaman, dan kesalahan (Dweck, 2006). Dengan
cara pandang ini, seseorang tidak mudah menyerah saat gagal, melainkan melihat
kegagalan sebagai bagian dari proses belajar. Fokus pun tidak hanya pada
pencapaian akhir, melainkan juga pada bagaimana cara mencapainya secara
konsisten.
Ketekunan juga memainkan peran besar dalam mempertahankan
dorongan berprestasi. Angela Duckworth (2016) menjelaskan bahwa grit—kombinasi
antara ketekunan dan hasrat jangka panjang—merupakan prediktor penting
keberhasilan dalam berbagai bidang. Individu yang tekun mampu menjaga komitmen
terhadap tujuannya, bahkan ketika motivasi menurun. Ini bisa dibangun melalui
rutinitas harian, manajemen waktu yang baik, dan kemampuan untuk mengelola
stres agar tidak mudah goyah dalam tekanan.
Faktor eksternal pun tidak kalah penting. Dukungan sosial
dari lingkungan sekitar seperti keluarga, teman, mentor, atau komunitas
memberikan pengaruh signifikan dalam menjaga motivasi dan kepercayaan diri
(Ryan & Deci, 2000). Orang-orang di sekitar bisa menjadi sumber inspirasi,
penyemangat, atau bahkan mitra refleksi saat kita mengalami kebingungan atau
keraguan. Dalam suasana yang suportif, individu lebih mudah bangkit kembali
setelah mengalami kemunduran.
Akhirnya, resiliensi dalam berprestasi tidak hanya soal
ketahanan terhadap kegagalan, tetapi juga kemampuan untuk beradaptasi, belajar
terus-menerus, dan melakukan evaluasi diri secara berkala. Individu yang
reflektif akan lebih mudah memahami kekuatan dan kelemahan dirinya, serta
menyesuaikan strategi dalam meraih tujuan. Dalam konteks ini, resiliensi
bukanlah sifat bawaan, melainkan keterampilan hidup yang dapat dilatih dan
dikembangkan melalui kesadaran, pembelajaran, dan pengalaman.
Referensi:
- Dweck,
C. S. (2006). Mindset: The New Psychology of Success. Random House.
- Duckworth,
A. (2016). Grit: The Power of Passion and Perseverance. Scribner.
- Locke,
E. A., & Latham, G. P. (2002). Building a practically useful theory of
goal setting and task motivation. American Psychologist, 57(9),
705–717.
- Ryan,
R. M., & Deci, E. L. (2000). Self-determination theory and the
facilitation of intrinsic motivation. American Psychologist, 55(1),
68–78.

0 komentar:
Posting Komentar