8.5.25

ESSAI 6 PSIKOLOGI INOVASI DORONGAN BERPRESTASI

 FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS PROKLAMASI 45

 

Dosen Pengampu : Dr. Arundati Shinta, MA

Penulis : Rifan Adi Nugraha

NIM : 23310410029




Memiliki dorongan berprestasi yang kuat tidak cukup hanya dengan motivasi sesaat; dibutuhkan resiliensi agar seseorang mampu bertahan dalam menghadapi kegagalan, kritik, atau tekanan. Salah satu fondasi dari ketahanan ini adalah memiliki tujuan hidup yang jelas dan berarti. Ketika seseorang mengetahui alasan mengapa ia ingin meraih suatu pencapaian, maka ia lebih mampu mempertahankan semangat meskipun menghadapi hambatan (Locke & Latham, 2002). Tujuan yang bersifat personal dan selaras dengan nilai diri dapat menjadi kompas dalam menghadapi tantangan jangka panjang.

Selain itu, memiliki pola pikir berkembang atau growth mindset sangat penting dalam membangun resiliensi. Pola pikir ini mendorong keyakinan bahwa kemampuan bukanlah sesuatu yang tetap, melainkan dapat terus ditingkatkan melalui usaha, pengalaman, dan kesalahan (Dweck, 2006). Dengan cara pandang ini, seseorang tidak mudah menyerah saat gagal, melainkan melihat kegagalan sebagai bagian dari proses belajar. Fokus pun tidak hanya pada pencapaian akhir, melainkan juga pada bagaimana cara mencapainya secara konsisten.

Ketekunan juga memainkan peran besar dalam mempertahankan dorongan berprestasi. Angela Duckworth (2016) menjelaskan bahwa grit—kombinasi antara ketekunan dan hasrat jangka panjang—merupakan prediktor penting keberhasilan dalam berbagai bidang. Individu yang tekun mampu menjaga komitmen terhadap tujuannya, bahkan ketika motivasi menurun. Ini bisa dibangun melalui rutinitas harian, manajemen waktu yang baik, dan kemampuan untuk mengelola stres agar tidak mudah goyah dalam tekanan.

Faktor eksternal pun tidak kalah penting. Dukungan sosial dari lingkungan sekitar seperti keluarga, teman, mentor, atau komunitas memberikan pengaruh signifikan dalam menjaga motivasi dan kepercayaan diri (Ryan & Deci, 2000). Orang-orang di sekitar bisa menjadi sumber inspirasi, penyemangat, atau bahkan mitra refleksi saat kita mengalami kebingungan atau keraguan. Dalam suasana yang suportif, individu lebih mudah bangkit kembali setelah mengalami kemunduran.

Akhirnya, resiliensi dalam berprestasi tidak hanya soal ketahanan terhadap kegagalan, tetapi juga kemampuan untuk beradaptasi, belajar terus-menerus, dan melakukan evaluasi diri secara berkala. Individu yang reflektif akan lebih mudah memahami kekuatan dan kelemahan dirinya, serta menyesuaikan strategi dalam meraih tujuan. Dalam konteks ini, resiliensi bukanlah sifat bawaan, melainkan keterampilan hidup yang dapat dilatih dan dikembangkan melalui kesadaran, pembelajaran, dan pengalaman.

 

Referensi:

  • Dweck, C. S. (2006). Mindset: The New Psychology of Success. Random House.
  • Duckworth, A. (2016). Grit: The Power of Passion and Perseverance. Scribner.
  • Locke, E. A., & Latham, G. P. (2002). Building a practically useful theory of goal setting and task motivation. American Psychologist, 57(9), 705–717.
  • Ryan, R. M., & Deci, E. L. (2000). Self-determination theory and the facilitation of intrinsic motivation. American Psychologist, 55(1), 68–78.

0 komentar:

Posting Komentar